Part 23

3.5K 366 14
                                    

"Dokter........."

Sebuah pesan aku kirimkan di pagi hari saat aku baru bangun tidur, mataku belum sepenuhnya terbuka dan nanti siang aku harus pergi ke Cengkareng untuk flight. Libur dua hariku yang aku ambil untuk surprise Juna yang berakhir dengan plot twist yang tidak terduga sudah selesai.

Aku memiliki tanggungan sebuah dompet milik dokter Kaliandra yang sudah aku salah gunakan dengan cara memamerkannya dan mengarang cerita di hadapan Jelita dan aku harus mengembalikannya hari ini. Sungguh aku sedikit merasa bersalah karena sudah menjual nama dokter Kaliandra demi membungkam Jelita, namun yang membuatku heran adalah dokter Kaliandra sendiri yang tidak menanyakan sama sekali perihal dompetnya.

Jika aku yang kehilangan dompet sudah pasti aku akan mencak-mencak tidak karuan, panas dingin, dan pusing tujuh keliling. Orang kaya dan rakyat jelata memang beda, ya? Dokter Kaliandra cuma bawa ponsel bisa hidup sedangkan aku?

Jujur saja, sebenarnya aku agak malu menghubunginya terlebih dahulu karena kemarin aku secara tidak langsung sudah mengusirnya, tapi bagaimana lagi, lucu sekali jika aku datang ujug-ujug, kok kesannya kayak nggak tahu malu.

Dan entah berapa lama aku menunggu balasan dari nomor yang tidak aku namai tersebut, jawaban tidak kunjung aku dapatkan membuatku merengut dan membuang ponselku begitu saja ke atas ranjang sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mandi.

Di depan kaca wastafel aku melihat ke arah bayanganku, aku merasa aku tidak cantik namun aku  juga nggak jelek-jelek amat, semuanya tertolong dengan skill makeup dan juga filter Instagram. Puas memandang dan memuji diriku sendiri aku memutuskan untuk mandi dan bersiap untuk ke rumah sakit tempat dokter Kaliandra praktek. Bodo amatlah dia tidak membalas pesanku, yang penting niatku adalah mengembalikan dompetnya yang mungkin nilainya lebih dari biaya hidupku seumur hidupku bukan untuk bergenit ria.

Usai siap mengenakan skinny jeans warna baby blue dan juga kemeja putih oversize dengan heels warna silver dengan tali kecil simpel, tidak tampak mentereng namun cantik di kakiku, sepatu yang bagi sebagian orang tampak mengerikan namun bagiku membuat kepercayaan diriku naik.

"Mau ngapain lo dandan sok cantik kayak gitu, mau di apain juga kerjaan lo juga cuma jadi pelayan."

"Lit, bisa nggak sih nggak usah ganggu kakakmu."

Baru saja kakiku turun di dapur, sebuah celetukan yang tidak mengenakan terdengar dari Jelita yang sibuk di meja makan, dia tidak sendirian, satu rumah komplit kecuali Nenek, termasuk Mami dan juga Juna yang langsung melengos tidak mau melihat ke arahku. Ya udahlah ya, aku juga nggak mau mereka sapa, tapi yang membuatku keheranan adalah Papi yang berusaha melerai Jelita. Biasanya kan beliau juga pura-pura budek dan memilih menyuruhku untuk makan saja.

"Iya Pelayan, tapi pelayanan gue ada di pesawat. Sorry, pengangguran nggak akan pernah ngerti. Lo nggak diajak." Balasku santai sambil menenggak susu kunyit yang dibuatkan oleh Mbok Amin, terlihat Jelita meradang tidak terima namun Juna menahannya, tangan Juna mencengkeram erat tangan Jelita tidak mengizinkan istrinya yang Bader itu membuat masalah pagi-pagi. Ya, aku tahu dengan benar jika susu itu disiapkan untukku karena hanya aku satu-satunya di rumah ini yang minum susu kunyit untuk menjaga berat badanku. Tidak ada makan berat di pagi hari, hanya ada apel yang akan aku hap di jalan. Dan tujuanku pagi ini turun ke dapur bukan untuk sarapan bersama keluargaku melainkan untuk berpesan pada Mbok Amin. "Mbok, kalau ada masalah di dapur kayak kemarin minta tolong saja sama Mas Wira. Semalam saya sudah pesan sama Mas Wira, ke Mbak Isna juga." Tidak tega dengan segala permasalahan yang dialami Mbok Amin yang sudah mulai tua, aku memang sengaja meminta tolong pada salah satu satpam komplek untuk siaga membantu jika Mbak Isna, Nenek, dan juga Mbok Amin kesusahan. Terkesan egois, tapi mulai sekarang aku hanya akan peduli pada orang yang juga peduli padaku.

"Makasih ya, Mbak Juwita."

"Iya Mbok. Ya sudah, saya mau pamit sama Nenek mau berangkat kerja, Mbok." Aku memeluk ART yang dipekerjakan oleh Papi dari kecil tersebut sebagai salam. Berlanjut dari Mbok Amin, aku beralih berpamitan pada Papi, dan kemudian Mami, sayangnya uluran tanganku tidak diterima dan Mami lanjut makan berpura-pura tidak melihatku. Bagi beliau mungkin aku adalah makhluk tak kasat dimatanya. Perih dan sedih? Jangan ditanya lagi apalagi saat mendengar tawa mengejek, tapi aku tidak memiliki waktu untuk sakit hati lagi karena ini pun bukan pertama kalinya.

"Kasihan deh lo. Ngenes banget jadi manusia."

Aku sudah hendak pergi meninggalkan ruang makan yang penuh dengan kesuraman ini namun langkahku terhenti saat mendengar ejekan Jelita. Dengan anggun kukibaskan rambut panjangku sembari tertawa kecil, "nggak usah ngasihanin orang lain, kasihanin saja diri lo sendiri. Hamil sih hamil, tapi cara makan lo persis orang rakus yang nggak pernah ketemu makanan enak. Awas, ntar bengkak kek gajah. Udah jelek, makin jelek lagi."

Kata-kataku memang jahat, dan aku tahu dengan benar jika nafsu makan ibu hamil memang besar, perubahan berat badan secara pesat pun hal yang normal. Simpelnya gemuk wajar dan bukan masalah asalkan bayi dalam kandungan tumbuh dengan baik. Dan semua hal jahat ini hanya aku lakukan untuk Jelita, tidak untuk orang lain. Suruh siapa dia mengusikku.

Tidak peduli dengan umpatan Jelita dan teriakan Mami aku memilih berlalu untuk berpamitan dengan Nenek dan Mbak Isna, baru setelah itu aku melajukan kendaraanku menembus jalanan Ibukota yang padat merayap membuat pusing dan puyeng, jalan lima meter, macet, jalan lagi, macet lagi. Belum lagi dengan drama disenggol pengendara lain yang membuat body mobil baret atau bahkan kita dihadiahi umpatan. Pokoknya di jalan mah kita harus sabar-sabar dengan usus sepanjang harapan.

Mungkin ada kali satu jam lebih aku dijalanan sampai akhirnya aku tiba di rumah sakit tempat dokter Kaliandra bertugas. Darimana aku tahu dimana dia bekerja? Tentu saja dari dompet yang aku bawa, ada kartu nama yang berisikan alamat rumah sakit dan saat melihat nama rumah sakitnya aku sedikit terkejut karena rupanya rumah sakit tempat dokter Kaliandra bertugas ini rumah sakit ini benar-benar besar dan terlihat elite.

Terlihat jelas dari jajaran mobil mewah sejenis Alphard dan yang lainnya berjajar di parkiran rumah sakit. Brio Satya milikku diapit kanan kiri oleh Fortuner dan juga Alphard mendadak jadi terlihat menyedihkan di mataku. Pantas saja Jelita menyebut mobilku kaleng kerupuk, hahaha, dasar kembaran gelo.

Mengabaikan kesenja sosial yang terjadi pada kendaraan mungilku, aku berjalan masuk ke dalam rumah sakit, kembali aku melirik ponselku berharap ada balasan dari dokter Kaliandra untuk pesan yang aku kirimkan tapi nyatanya sama saja. Bahkan pesanku dari pagi buta sampai matahari seterang ini tidak dibuka. Sesibuk apa sih seorang dokter UGD? Penasaran jadinya, dan itu membuatku melangkahkan kakiku lebih cepat ke dalam. Tidak pernah bertandang ke rumah sakit untuk menemui dokter atau staf membuatku tidak memiliki gambaran bagaimana tata cara bertamu dengan baik. Biasanya datang ke rumah sakit ya karena sakit, bukan buat ketemu dokternya secara pribadi. Mau asal nitipin dompet dokter Kaliandra takut kalau malah raib.

Duh, ditengah kebingunganku akhirnya aku sampai di jurus terakhir yang menjadi andalan untuk semua makhluk yang kebingungan, yaitu bertanya pada security yang melintas. "Mas, kalau saya mau ketemu sama dokter Kaliandra gimana caranya, ya? Maksud saya, orangnya dimana gitu!"

JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang