Part 22

3.2K 332 13
                                    

"Halah apaan sih. Juna sehat. Gue sehat, mana mungkin anakku kenapa-kenapa! Nggak usah sok keren ngajarin orang. Ajarin saja diri lo sendiri biar nggak ngimpi ngegaet anak yang punya klinik. Sama Juna saja di lepeh apalagi sama yang lebih menter, kagak tahu diri lo."

Aku tersenyum kecil mendengar ejekan dari Jelita tersebut, yah namanya juga manusia dengan tingkah kenarsisan yang diluar batas, ada saja yang keluar dari mulut busuknya. Mungkin Jelita bisa kena sawan jika dia tidak mengusikku barang sejenak saja.

"Aelah Lit, nggak usah ngatain gue yang gimana-gimana, muka gue sama lo sama. Bedanya gue diem sementara lo demek kegatelan."

Mendengarku mengejek kembaranku hingga wajahnya merah padam, Mbok Amin yang tengah mengiris bumbu-bumbu langsung terkekeh pelan menertawakan ucapanku.

"Mbok Min berani ngetawain saya?" Tak terima Jelita kembali mencak-mencak, dia hampir saja menghampiri Mbok Min jika saja aku tidak menarik belakang blus Sabrinanya.

"Berani lo ngusik Mbok Min, abis lo gue usir dari rumah. Mau tinggal dimana lo sama laki lo yang mumet mikir cicilan rumah?" Geram karena tingkah menyebalkan Jelita membuatku tanpa segan untuk mengancamnya. Dan ya kalian bisa tebak sendirilah ya gimana Jelita yang nggak akan mau dengar apapun, manusia terngeyel dengan orangtuaku sebagai suporter terbesarnya.

"Lo kira laki gue bakal hancur karena skandal yang lo buat? Arsitek mah asal punya skill juga kepake mau gimana pun. Nggak usah sok deh lo."

Capek mendengar Jelita yang marah-marah tidakjelas akhirnya aku duduk, kucomot sebuah wortel yang sudah dikupas Mbok Min sembari menatap kembaranku yang tidak mau kalah dalam segala hal ini. "Kalau gitu sana ajakin suami lo buat angkat kaki dari rumahku. Ingat, rumahku. Rumah warisan dari Nenek yang diwariskan one and Only buat gue, cucunya yang paling berbakti, sana, minggat sana, bawa tuh laki lo yang arsitek itu angkat kaki dari rumah ini. Udah empet juga gue lihat modelan demek lo. Penasaran juga gue gimana bentukan Juna waktu sadar gimana payahnya dia milih lo yang nol skill 100% bacot."

"Irrrrrrreggghhhhh....." geraman gemas bercampur kesal terdengar dari Jelita yang terskakmat tidak bisa berkata-kata lagi, namun bukan Jelita namanya jika dia menyerah begitu saja, kepalanya itu akan berputar dengan banyak hal agar dia bisa mengalahkan perdebatannya denganku. "Kenapa sih lo nyebelin banget. Terima saja kalau lo memang kalah dari gue, buktinya si Juna dan cowok-cowok lo lebih milih gue, kan?"

Aku memutar bola mataku malas, butuh validasi sekali kembaranku yang demek ini kalau dia sukses menjadi perusak kebahagiaanku. Bisa kalian bayangin nggak sih capeknya menjadi aku punya saudara macam si Demek nggak tahu diri ini? Dengan rasa kesal dan enggan yang sudah sampai di puncak rantai makanan aku menghentikan kunyahan wortelku dan menatapnya tajam, sangat kontras dengan senyuman sarkas yang ada di bibirku.

"Oooh lo mau di selamati sebagai seorang pelakor, orang ketiga, dan orang pengkhianat dari kembaran lo sendiri." Aku mengibaskan tanganku, membersihkan tanganku dari hal tidak perlu sebelum aku mengulurkannya pada Jelita, di saat seperti ini aku bisa melihat betapa kami adalah cerminan diri satu sama lain, wajah kami serupa tetapi kenapa jalan hidup kami begitu jauh berbeda, Jelita, dia seharusnya yang paling dekat denganku bak nadi tapi justru seorang yang menikamku paling dalam, kenyataan yang membuatku merasa lebih baik jika kita tidak terlahir kembar karena rasa sakitnya berkali-kali lipat. "Oke deh, Congrats ya Lit, lo udah jadi saudara paling hebat yang bisa dengan tega merebut apapun yang gue miliki. Ya, gue akui gue kalah."

Aku sedikit menunduk, menunjukkan padanya pengakuan kekalahanku, hal yang pasti membuat Jelita besar kepala, tapi detik berikutnya aku justru tertawa mengejeknya. "Ailaaah. Kalau lo pikir gue sedih masalah Juna, lo salah besar, Lit. Kasihan amat sih lo, gue nggak sedih karena dengan lo kawin berarti lo nggak bisa ngusik siapapun yang deket sama gue lagi. Lo tadi ngatain gue ngimpi buat dapatin dokter Kaliandra anaknya yang punya Klinik gede langganan pejabat militer, kan? Dih lo salah besar......."

Ya Tuhan, maafkan hamba yang mengada-ngada perkara dokter Kaliandra, hamba melakukan kebohongan ini agar kembaran hamba yang sinting ini diam dan tidak mengusik lagi. Jadi hamba mohon, untuk kali ini hamba minta dispensasi atas kebohongan yang hamba lakukan Ya Tuhan. Usai berdoa meminta izin untuk kebohongan paling menggelikan yang pernah aku lakukan dalam hidupku, dengan penuh gaya aku meraih dompet hitam milik dokter Kaliandra yang tersimpan di sakuku. Aku sama sekali tidak menyangka jika dompet yang tertinggal ini bisa menjadi satu berkah untukku pamer ke hadapan Jelita.

"...... Nih, lo lihat baik-baik." Kubuka dompet dokter Kaliandra yang berisikan kartu-kartu IDnya, dan saat melihat jajaran kartu debit prioritas bank Swasta terbesar disertai dengan kartu kredit visa platinum dengan limit hampir satu milyar tersemat di dalamnya. Jangan tanya bagaimana reaksi Jelita sekarang yang sudah memerah penuh dengan iri dan dengki yang sama sekali tidak bisa disembunyikan. "Lo bilang mustahil dapatin dokter Kaliandra, iya sih mustahil soalnya gue nggak perlu capek-capek ngejar kayak lo dianya yang datang nyamperin gue, dompetnya saja suruh gue bawa apalagi orangnya, lo nggak budek kan buat denger kalau dia bahkan bawa mobil gue buat praktik barusan? Ibaratnya ya Wirrrr, gue kehilangan ikan teri karena digondol kucing, eeeh Allah langsung ganti pakai ikan salmon, sashimi grade lagi."

"Nggak mungkin seorang dokter ganteng tajir kayak dia mau sama lo, itu mah akal-akalan lo doang. Nggak percaya gue......."

Ya memang akal-akalanku doang, batinku sembari mengejeknya. "Nggak percaya ya udah." Sahutku santai. "Gue nggak butuh kepercayaan dari lo. Yang jelas gue Happy kok lo sama Juna, jadi sifat gatal lo bisa digaruk sama laki lo. Siap-siap panas ya lihat Kakak lo yang cantik, berkarier mapan, dan selama hidupnya blangsak gegara lo usik dan lo rusak ini akhirnya Happy Ending sama cowok yang cuma mandang gue seorang."

"Lo nggak bakal bahagia. Gue bakal rusak bahagia lo apa pun caranya."

Tanganku bersedekap, memandang keheranan pada Jelita yang baru saja angkat bicara. Alisku terangkat tinggi sama sekali tidak paham bagian mananya aku pernah mengusiknya.

"Baik-baik kalau ngomong, Jelita. Nggak ada sejarahnya Tuhan kabulin doa buruk. Yang ada doa buruk bakal mental balik ke pendoanya. Perkara jodoh dan bahagia gue nggak ngoyo kayak lo sampai repot-repot jadi orang jahat."

Aku mendorong bahunya dengan telunjuk tanganku, membuatnya terdorong mundur dan aku sangat menyukai sorot matanya yang gugup penuh ketakutan.

"Jodoh itu cerminan diri dan jodoh yang tepat akan datang dengan sendirinya tanpa harus dijebak kayak lo. Hati-hati, gue anggap ini adalah masalah terakhir kita, jangan sampai sujudku terlalu dalam dan lupa kalau lo masih saudara gue."

".............."

"Ingat itu."

JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang