Holaaaaa
Yang punya aplikasi KBM dan KaryaKarsa bisa ikuti Juwita disana juga ya
Happy reading semuanya"Belajar sama saya mau nggak dok biar bisa moveon. Siapapun yang sudah membuat dokter patah hati dia sudah bahagia, untuk apa terus memikirkan seseorang yang bahkan tidak peduli akan perasaan kita?"
"..............."
"Perasaan ini milik kita, dok. Dokter sendiri yang harus menyembuhkannya, dokter harus menjadi tokoh utama dalam kisah dokter sendiri, bukan hanya jadi figuran dalam kisah orang lain."
Satu detik usai mengucapkannya aku benar-benar menyesal. Semuanya terucap tanpa aku memikirkan bagaimana jika setelahnya penolakanlah yang akan diberikan oleh dokter Kaliandra, apalagi saat cengiran di wajahnya berubah menjadi sebuah keseriusan seakan dokter Kaliandra tengah benar-benar mempertimbangkan tawaran yang aku berikan.
Kalian tahu, seandainya saja aku punya kantong ajaib Doraemon aku ingin menghilang dari tempatku sekarang ini juga. Bersitatap dengan sorot mata dingin yang terasa membekukan belakang tengkukku ini adalah hal yang membuat hati dan jantungku jungkir balik tidak jelas, seharusnya aku mengalihkan pandanganku saja, tapi entah kenapa aku justru membalas tatapannya untuk menunjukkan keseriusan atas apa yang aku tawarkan.
Kami berdua seakan tengah berlomba saling tatap dan tidak ada yang mengalah untuk mendapatkan pemenangnya sampai akhirnya dokter Kaliandra menjawab penawaranku. Lucu sekali, padahal aku orang yang payah dalam menjalani hidup namun justru menawarkan diri untuknya, yang paling gila dari percakapan ini mungkin adalah saat dokter Kaliandra mempercayaiku.
"6 tahun sudah berlalu dan saya masih merasa sesak setiap kali melihat dia bahagia. Saya tersenyum, saya juga ikut bahagia melihatnya bahagia bersama dengan pria pilihannya karena saya sadar pria itu pun pria baik yang tepat untuknya, tapi tetap saja rasa sesak ini terasa mencengkeram erat hati saya."
Entahlah, biasanya aku bukan seorang yang mudah bersimpati secara berlebihan pada masalah orang. Aku akan menolong sebisa yang dapat aku lakukan, namun jika urusan masalalu aku akan mundur tidak mau menjadi pahlawan kesiangan karena aku sadar musuh terbesar seseorang adalah saat dia belum berdamai dengan luka di hatinya adalah dirinya sendiri, aku mengatakannya hal ini karena aku berkaca pada diriku sendiri, namun seolah aku mencari penyakit, aku justru menawarkan bantuan pada seorang yang sama sakitnya seperti diriku.
Padahal aku tahu dengan benar jika perasaan manusia bukanlah persamaan matematika dimana minus bertemu dengan minus akan menjadi plus, tapi bagaimana lagi, melihat dokter Kaliandra yang ternyata semerana hingga merubah dirinya menjadi seorang yang tertutup karena patah hatinya membuatku gemas sendiri, jiwa-jiwa mencari masalahku langsung bergejolak.
"Apa kamu bisa mengatasinya, Juwita? Saya bukan orang yang mudah."
Serius kali Bapak satu ini, tidak ingin menanggapi keseriusannya aku memilih untuk memperingkas masalah yang ruwet ini. Sungguh, meskipun hidupku kacau balau tapi aku tidak suka dengan suasana sepaneng dan kaku seperti yang tengah terjadi sekarang.
Katakan aku lancang karena menyentuh wajahnya persis saat kita meminta fokus keponakan kita saat berbicara, bahkan aku sendiri pun kagum dengan keberanianku sekarnag ini yang memegang wajah seorang yang terhitung stranger untukku, tapi manusia susah moveon seperti dokter Kaliandra harus bergerak cepat satset agar matanya terbuka lebar jika ada orang lain di sekelilingnya bukan hanya ada wanita pembuat hatinya patah.
"Kalau begitu jangan melihat ke arahnya dan lihat saja saya, dok. Dokter bertanya apa saya bisa mengatasi masalah dokter, maka ini saatnya membuktikan kemampuan saya di bidang jasa yang selama ini saya geluti." Aku mengguncang wajahnya, tindakanku ini benar-benar reflek seperti yang biasa aku lakukan saat berbicara dengan teman-teman sesama cabin crew hingga aku lupa jika dokter Kaliandra seorang yang bahkan membatasi interaksinya. Jangankan kalian, aku sendiri pun terkejut dengan respon tubuhku yang seakan begitu akrab dengan dokter Kaliandra.
Dokter Kaliandra yang sepertinya syok dengan apa yang aku lakukan ini pun hanya bisa mengangguk-angguk pasrah dengan apa yang aku lakukan kepadanya. "Lalu apa imbalan yang kamu minta dariku? Tidak mungkin kan kamu melakukannya secara cuma-cuma?"
Pertanyaan macam apa ini? Senyuman yang sedari tadi tersungging dibibirku perlahan memudar berganti dengan wajah kesal, masam dan cemberut. Aku benci hitung-hitungan selain menghitung duit. "Nggak ada imbalan apa-apa, dok." Tidak ingin membuat suasana menjadi canggung seperti kemarin aku lebih memilih untuk mengatakan apa yang tidak aku sukai darinya, hissss aku benci dengan diriku yang lemah dan seterbuka ini pada dokter Kaliandra, "Nggak semuanya harus di hitung pakai rupiah, saya bisa nyari duit sendiri dan saya nggak ingin berbuat baik hanya karena imbalannya. Jangan pernah ngomong kayak gitu, dok. Saya nggak suka."
Dokter Kaliandra yang masih syok dengan ucapanku seketika semakin ternganga mendengar jawabanku. Saat itulah aku tersadar betapa berbedanya caraku dan dokter Kaliandra dalam melihat dunia ini. Ya seorang yang terlahir dari keluarga dengan materi yang berkecukupan rupanya memiliki krisis kepercayaan akan hubungan tanpa pamrih. Segalanya dinilai dan ada kalanya mereka yang mendekat pada dokter Kaliandra hanyalah seorang yang melihatnya dari materi yang melekat.
Kasihan sekali dokter dingin satu ini. Banyak duit tapi dimanfaatkan dan ujung-ujungnya apes dalam peecintaan. Tangan tersebut terulur kepadaku. Untuk beberapa saat aku bertanya-tanya tidak paham apa maksudnya namun dengan tegas dokter Kaliandra menjelaskan.
"Kalau begitu, kita berteman mulai sekarang, Juwita?"
Cengiran mampir di wajahku saat aku menyambut telapak tangannya yang menggenggam tanganku dengan begitu tegas, lucu sekali setelah banyak hal terjadi kami berkenalan seperti anak kecil yang baru bertemu."
"Juwi saja. Terlalu panjang Juwita nggak enak di dengar, dan yah saya setuju, kita berteman dokter Kaliandra."
Tawa kembali terdengar darinya, entah untuk keberapa kalinya tawa itu terdengar dari bibirnya, dan aku sangat berharap akan sering mendengarnya mulai sekarang.
"Kalau begitu panggil saja Andra. Saya kayak ngomong sama pasien di panggil dokter terus sama kamu."
"Andra?" Ucapku lamat-lamat, melafalkan pelan dan rasanya menyenangkan saat mendengar namanya di telingaku. "Nggak usah pakai embel-embel Mas atau apapun kan perkara umur yang lebih tua?" Tanyaku lagi dengan sedikit unsur ejekan mengingat dia yang lebih tua dariku.
Jika tadi aku mendapati senyuman dokter Kaliandra yang terasa begitu langka, maka sekarang aku mendengar dengusan sebal darinya. "Terserah kamulah mau manggil saya siapa, suka-sukalah yang penting kamu bahagia dan nyaman. Ya mungkin ini alasan Tuhan menggerakkan hati saya untuk membantumu kemarin supaya hari-hari saya yang monoton mulai berwarna karena sikap absurdmu. Awalnya mengejutkan, tapi siapa sangka jika saya sepertinya mulai terbiasa."
"....:.........."
"Saya menyukaimu."
Heeeeeh, gimana-gimana! Ini maksudnya apa coba.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)
RomanceJuwita dan Jelita, dua wanita cantik dengan paras serupa tersebut menjadi primadona sedari mereka kecil, sayangnya semakin mereka beranjak dewasa semakin jelas perbedaan di antara keduanya. Juwita menyukai stroberi, dan Jelita menyukai cokelat, saya...