"Kamu sudah sarapan belum? Kalau belum saya mau ajak kamu sarapan sebagai ucapan terimakasih, bisa?"
Heeeeeehhh, bisa nggak ngajak makan anak orang biasa saja. Ini cuma diajak makan, tapi kenapa berasa diajak nikah woy??? Dokter Kaliandra, tanggung jawab udah bikin jantung anak orang jedag jedug kagak karuan.
Aku berdeham kecil, bohong jika aku tidak berdebar dengan ajakannya barusan, apalagi saat dua staff yang baru saja ditegur dokter Kaliandra tersebut sudah memasang wajah campuran tidak suka dan terkejut yang sama sekali tidak bisa disembunyikan, sepertinya dokter Kaliandra dalam mode ramah seperti ini bukan pemandangan yang biasa untuk orang lain.
"Bolehlah......"
Sama sepertiku yang melemparkan senyum kecil, dokter Kaliandra pun melakukan hal yang sama, sungguh smile killernya Pak dokter satu ini nggak bagus untuk kesehatan jantung. "Kamu keberatan sarapan bubur seafood? Kebetulan Ibu saya kirim makanan. Kamu nggak ada alergi, kan?"
Like a gentleman, dokter Kaliandra mempersilahkan aku untuk jalan duluan, tapi gesture tubuhku yang menunggunya membuat dokter Kaliandra akhirnya berjalan di sampingku, dan saat itulah dia memberitahuku tentang sebuah fakta menarik akan sarapan yang dia tawarkan.
Bubur seafood buatan Ibu dokter Kaliandra. Terkesan cengeng, tapi dulu sekali, mungkin saat aku kelas 3 SD ada satu waktu saat aku dan Jelita sakit dan selayaknya anak sakit pasti kami akan makan bubur, namun yang membuatku teringat sampai sekarang adalah saat itu Mami memberikan udang di bubur Jelita sedangkan tidak di buburku. Kata protes itu meluncur dari bibirku namun kata-kata pedas Mami tentang aku yang tidak boleh rewel dan aku yang harus bersyukur atas apapun makanan yang aku dapatkan membuat luka di hatiku lebih parah dibandingkan luka yang dirasakan tubuhku.
Semenakutkan itu innerchild. Tubuh boleh tumbuh dewasa dengan normal, aku bisa menjadi manusia pada umumnya, namun disisi lain ada Juwita kecil yang penuh dengan luka terkurung jauh di dalam sama merasakan kesakitan yang tidak bisa sembuh dan hanya bisa aku tutupi dengan senyum kepalsuan.
Secengeng itu loh aku sebenarnya, mendengar Ibu dokter Kaliandra seperhatian itu kepada anaknya bahkan saat dokter Kaliandra sudah sedewasa ini membuatku iri.
"Baik banget Ibunya dokter. Bisaan banget ngirimin makanan buat anaknya yang sedang kerja." Tidak ingin mengumbar kesedihan yang aku rasakan aku menanggapinya dengan cengcengan yang membuat dokter Kaliandra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, rupanya dokter sedingin kutub utara ini juga bisa salting rupanya.
"Mama saya tahu kebiasaan saya yang suka lupa makan, Juwita. Kata Mama saya, nggak lucu kalau dokter tapi sakit magh, itu sebabnya di usia saya yang sebentar lagi genap 30 tahun, saya masih sering dapat rantangan by Abang Gojek atau dari Pak direktur langsung."
Langkahku terhenti saat kami tiba di sebuah pintu, namun bukan karena hendak masuk ke dalam tapi kalimat dokter Kaliandra barusan yang membuatku menghentikan langkah, "hah, Pak Direktur?"
Dokter Kaliandra mengangguk kecil sembari mendorong pintu itu mempersilahkanku untuk masuk, sebuah ruangan dengan ranjang susun dan juga meja kerja serta kursi nyaman, sepertinya ini adalah ruang istirahat untuk para dokter UGD, tampak barang semrawut disana sini yang membuatku bisa merasakan betapa lelahnya mereka dalam bertugas. Untuk sejenak aku terpana dengan keadaan ruang istirahat mereka sampai lupa dengan pertanyaan yang baru saja aku berikan kepada dokter Kaliandra jika saja dia tidak menjawabnya. "Iya, Pak Direktur, suami Mama saya, atau lebih tepatnya ajudan Nyonya Besar Brawijaya yang akan siap sedia menjadi mata-mata dan kurir makanan untuk putranya yang sudah tua ini."
"Haaaaah......" seperti orang bodoh aku melongo mendapati kalimat panjang nan rumit yang dibicarakan oleh dokter Kaliandra, satu persatu aku mengurainya dari suami Mamanya, hingga ajudan pribadi dan juga kurir makanan, dan saat akhirnya aku bisa menangkap maksud dari dokter Kaliandra, aku tidak bisa menahan diriku sendiri untuk tidak tertawa geli hingga tanpa sadar aku menabok bahu dokter Kaliandra, percayalah, kebiasaan seperti ini tidak bisa aku kendalikan, "aelaaaah dok, candaan orang pinter emang beda ya. Bikin mikir dulu perkara Pak Direktur itu ternyata Bapaknya situ."
"Tanganmu kecil tapi kalau nabok sakit juga, ya!" Dokter Kaliandra benar-benar meringis karena ulahku, tapi sayangnya aku tidak berniat untuk meminta maaf padanya yang kini mengusap-usap lengannya yang baru saja aku tabok. Melihatnya seperti ini jauh lebih manusiawi dari pada yang kaku dan menyebalkan seperti patung.
"Yah, namanya juga cabin crew dok, ini tangan kecil-kecil begini udah biasa loh dok nutup pintu pesawat yang segede gaban mana beratnya nggak usah ditanya lagi." Dokter Kaliandra tidak menanggapi ocehanku karena sibuk meraih rantang stainless di dalam lunch bag, tapi aku yang sedang mood bercerita terus berbicara tanpa diminta menceritakan segala hal yang mungkin tidak related untuk seorang dokter seperti dokter Kaliandra. "Dokter Kaliandra tahu nggak, tiap aku nutup pintu dan lihat landasan aku dan yang lain berdoa, takut jika pemandangan terakhir setiap kami nutup pintu adalah pemandangan daratan terakhir yang bisa kita lihat. Orang tahunya enak jalan-jalan naik pesawat, tapi setiap pesawat take off benar-benar harus berdoa supaya selamat bisa mendarat kembali. Hissss belum lagi pengalaman horornya, kita kalo ngitung penumpang itu bukan dari kepala tapi ........"
"Kenapa berhenti, lanjut saja ceritanya, saya dengarkan."
Blush, lagi dan lagi pipiku memerah, ini orang kenapa bisa bikin salting sih padahal mah ngomongnya kayak baca teks proklamasi, lempeng bener. Dan seakan tidak tahu jika dia sudah membuatku tidak bisa berkata-kata, dokter Kaliandra justru duduk di sampingku, kenapa dia nggak duduk didepan sana saja sih, setidaknya siku-ku tidak khilaf mampir di perutnya.
Astaga, aku khawatir bunyi jantungku yang kadang tidak tahu diri ini bisa terdengar sampai ke telinganya. Tidak hanya tanpa canggung di sebelahku, bahkan dokter Kaliandra memandangku yang berhenti bercerita dengan tatapan yang arerggghhhh bagaimana ya aku menjelaskannya, mau mikir kalau dokter Kaliandra memperhatikanku bercerita tapi takut jika aku hanya kegeeran, wajah lempengnya membuatku bertanya-tanya sendiri.
"Saya berisik ya, dok? Saya kalau udah cerita emang kadang suka blong ini mulut. Sorry dok." Tidak tahan dengan pandangan dokter Kaliandra, aku memilih memalingkan wajahku, kemanapun asal tidak menatapnya karena aku merasa pipiku yang sudah merah karena blushon pasti sekarang sudah semerah kepiting rebus.
Sayangnya seakan tidak menghargai usahaku untuk stay cool dan jaim di hadapannya, dokter Kaliandra dengan mudahnya justru mematahkan pertahananku.
"Saya tidak masalah mendengarmu bercerita, siapa yang menyangka jika hal-hal yang kamu ceritakan terdengar cocok untuk telinga saya yang terbiasa dengan sepi."
Dokter Kaliandra, kenapa sih bisaan aja bikin salting anak orang? Apa sekarang dia tidak sadar kalau ucapannya bisa bikin anak orang guling-guling dilantai gegara baper?
KAMU SEDANG MEMBACA
JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)
RomanceJuwita dan Jelita, dua wanita cantik dengan paras serupa tersebut menjadi primadona sedari mereka kecil, sayangnya semakin mereka beranjak dewasa semakin jelas perbedaan di antara keduanya. Juwita menyukai stroberi, dan Jelita menyukai cokelat, saya...