Part 21

3.5K 338 24
                                    

HolaaaaaaaYang punya aplikasi KBM bisa ikuti Juwita disana juga ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holaaaaaaa
Yang punya aplikasi KBM bisa ikuti Juwita disana juga ya.
Happy reading semuanya.

"Belum apa-apa kok sudah kelihatan menyesalnya. Nggak usah ngurusin mantan, urusan saja tuh istrimu yang udah siap-siap teriak kayak Tarzan."

Aku tidak berbohong atau sekedar mencari alasan untuk menghindar dari Juna yang sudah memerah hendak makan orang karena suara langkah kaki yang tergesa dan sudah sangat aku hafal milik siapa kian mendekati kamu. Ya, siapa lagi yang bisa melangkah seberisik itu jika bukan si Pengangguran tidak berguna.

Benar saja dugaanku, perempuan dengan blus Sabrina yang memamerkan bahunya tersebut muncul dengan raut wajah yang tidak bersahabat. Suami istri ini wajahnya benar-benar sudah tidak bisa dikendalikan.

"Noh lihat tuh, nggak tahu apa yang kamu lihat dari dia selain jago goyang di ranjang, tapi seleramu benar-benar payah, Jun." Cibirku sembari mengedikkan daguku ke arah Jelita yang langsung mendampratku entah untuk keberapa ratus ribu kalinya.

"Ngapain lo dua-duaan sama laki gue?" Tanpa basa-basi, mulut busuk itu kembali berbicara membuatku mendesah lelah. Terlebih saat Jelita kembali dengan kebiasaannya menggandeng tangan Juna seolah takut jika suaminya itu lari darinya. Alih-alih terlihat mesra, yang ada Jelita justru tampak semakin menggelikan di mataku. Benar-benar definisi sesuatu yang di dapat dari merebut tidak akan bisa tenang. Aku slow bae dianya kayak kebakaran jenggot.

"Geer amat kalian bini laki. Hobi amat main tuduh sesuatu yang nggak bakal gue lakuin. Noh kasih tahu laki lo, berhenti buat urusin urusan gue, mau gue ketemu siapa kek nggak usah kepo! Lo-nya juga, sekak kapan gue pernah mungut sampah yang lo kekepin?"

Daguku terangkat tinggi, tccciiihhh, Jelita kira aku iri apa dengan dirinya. Tidak. Masa iriku terhadapnya sudah lewat, sayangnya lagi dan lagi, si Mantan ini sepertinya memang berniat sekali mengusikku ini justru tidak tersadar usai kalimat yang seharusnya sudah menamparnya bolak-balik sampai ke ginjal.

"Menurutmu seorang dokter Kaliandra tertarik padamu? Apa kamu tidak berkaca siapa dirimu dan siapa dokter Kaliandra? Di mataku saja kamu masih banyak kekurangan sampai aku bisa berpaling apalagi dihadapan orang macam dokter Kaliandra?"

Sepertinya Juna marah dengan setiap kalimatku yang aku ucapkan tadi, tanpa peduli dengan Jelita di menyentak tangan kembaranku tersebut dan mendekatiku. Sorot mata itu begitu tajam menunjukkan amarahnya kepadaku. Dan jujur saja, sekarnag ini aku benar-benar takut, aku khawatir jika manusia gila ini berbuat hal-hal nekad.

"Kamu dan dokter Kaliandra bagai langit dan bumi, Juwita. Dia putra pemilik klinik ternama langganan para pejabat militer, sedangkan kamu! Saranku, jangan bermimpi terlalu tinggi dan rendahkan sikap naifmu. Tidak ada pria yang benar-benar mencintai wanitanya, bermain diatas ranjang adalah hal yang normal untuk lelaki waras, selama kamu masih berpikiran kolot seperti itu, tidak akan pria yang mau bersamamu."

Jika kalian berada di posisiku dan mendapatkan wejangan sesat dari manusia brengsek macam Juna yang membenarkan sikap salahnya apa yang kalian lakukan? Aku yakin mungkin kalian akan menendang kuat-kuat testisnya hingga pria tidak tahu diri ini impoten atau kalau tidak mungkin kalian akan menghantam kepalanya biar dia tersadar.

Kali ini tidak ada lagi tawa sarkasku untuk Juna, aku menatapnya penuh kebencian agar dia tahu seberapa ingin aku melumatnya menjadi serpihan kecil untuk makanan kecoa.

"Tidak semua pria brengsek sepertimu, Arjuna. Namamu saja yang Ksatria, kelakuanmu sepertimu Bangsat."

....................... ....................... .......................

"Mbak Jelita, tok, tok, tok......."

Suara pintu yang diketuk berulangkali oleh Mbok Amin membuatku yang tengah sibuk menghindar dari pertengkaran Jelita dan juga Arjuna dibawah, sontak menoleh ke arah pintu. Sudah menjadi kebiasaanku sejak dulu untuk mengunci pintu karena Jelita yang suka sekali mengusik barang-barangku, dan sekarnag ditambah dengan kehadiran Juna semakin tidak tenanglah aku meninggalkan pintu dalam keadaan terbuka.

"Iya Mbok ada apa?" Bukan bermaksud tidak sopan, tapi aku enggan untuk turun sekedar membuka pintu.

"Anu Mbak, Mbok baru saja beli gas tapi nggak bisa masang. Biasanya tukang gasnya yang masangin ini Mamang gasnya buru-buru pulang istrinya mau lahiran. Bapak pergi sama Ibu, si Isna juga nggak berani. Tolongin Mbok, Mbak Juwi."

Arrrrggggjhhh. Ingin rasanya aku mengumpat namun aku tidak tega. Mau tidak peduli tapi aku kasihan pada Mbok Amin, terdengar suara beliau begitu serak menahan tangis.

"Tolongin Mbok, Mbak. Kalau nanti Ibu pulang belum masak saya bisa dimarahin sama Ibu."

Duuuh, Ya Tuhan. Ada saja masalah yang datang disaat aku ingin menenangkan diri. Mami hobinya nyap-nyapan untuk setiap hal kecil. "Iya Mbok, saya benerin." Namun saat tanganku tanpa sengaja menjatuhkan tasku. Sebuah benda hitam persegi yang terasa asing tertangkap pandanganku, dan saat aku meraihnya seketika aku dibuat terkejut dengan kebodohanku yang amat sangat mendarah daging.

Tololnya aku yang tidak mengembalikan dompet dokter Kaliandra yang diberikan sebagai jaminan saat dia membawa mobilku. Astaga. Tidak henti-hentinya aku merutuki diriku dan kebodohanku yang fatal ini. Lagian kenapa dokter Kaliandra nggak minta juga sih. Aaaahhh iya, tadi kan aku keburu sensi pada dirinya yang tidak bisa diajak bercanda sampai-sampai mengusirnya secara halus.

Urrrrggghhh, aku ini benar-benar definisi manusia yang tidak tahu diri. Ada banyak hal yang ingin aku ucapkan pada diriku sendiri yang bodoh ini seandainya saja Mbok Amin tidak kembali memanggilku memintaku segera bergegas. Dengan hati-hati aku mengantongi dompet tersebut dan berjanji pada diriku sendiri agar besok pagi-pagi segera mengembalikannya sebelum akhirnya aku turun ke bawah tempat dimana Mbok Amin sudah menunggu dengan ketakutan.

"Kalau nggak keburu masak kita gofood saja, Mbok." Ucapku menenangkan sembari meraih selang regulator dan juga tabung gas warna pink ngejreng favorit Jelita ini. Jangan mengira karena pekerjaanku yang dituntut cantik, badai, dan slay aku tidak bisa mengerjakan pekerjaan ini. Sebagai cabin crew kadang aku harus menaikkan koper yang lumayan berat dan pasal tabung gas atau galon adalah hal mudah untuk wanita perkasa macam kami.

"Tapi besoknya masaknya gimana, Non?!"

"Tenang saja, Mbok. Pasti beres kok." Perlu usaha ekstra jika bolak-balik tidak bisa menyala, namun dengan beberapa ketukan jurus emak-emak dikepala dan sambungan, taraaaa, klek, dan api biru pun menyala yang membuat Mbok Amin bersorak kegirangan.

"Alhamdulilah. Mbak Juwita memang top markotop."

Aku tersenyum geli, bak seorang princes aku membungkukkan tubuhku menerima pujian dari Mbok Amin.

"Aelaaaah pekerjaan kuli kayak gitu siapa sih yang nggak bisa. Carmuk amat Mbok."

Astaga, kenapa juga ini manusia setan muncul. Bisa nggak sih manusia pick me macam Jelita ini dibuang ke dasar laut buat tumbal? Nggak cuma mengusikku, bahkan pada orang yang lebih tua pun dia sama sekali tidak sopan.

"Ngomong sama orangtua ati-ati, Lit. Lagi bunting tuh muncung kagak dijaga. Kuwalat baru tahu rasa." Tegurku untuk kebaikannya. Sayangnya orang kalau udah benci mah apa saja yang kita omongin nggak mungkin di dengar. Apalagi modelan bodoh kayak Jelita. Otaknya cuma sebatas upil.

"Halah apaan sih. Juna sehat. Aku sehat, mana mungkin anakku kenapa-kenapa! Nggak usah sok keren ngajarin orang. Ajarin saja dirimu sendiri biar nggak ngimpi ngegaet anak yang punya klinik. Sama Juna saja di lepeh apalagi sama yang lebih menter, kagak tahu diri lo."

JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang