Biasa yang berat-berat disini yang ringan-ringan saja full senyum.
"Saya tidak masalah mendengarmu bercerita, siapa yang menyangka jika hal-hal yang kamu ceritakan terdengar cocok untuk telinga saya yang terbiasa dengan sepi."
Dokter Kaliandra, kenapa sih bisaan aja bikin salting anak orang? Apa sekarang dia tidak sadar kalau ucapannya bisa bikin anak orang guling-guling dilantai gegara baper? Dengan wajah tidak percaya sekaligus gemas aku menatapnya yang ada di sampingku, demi kebaikan jantungku aku harus mengatakan kejujuran ini.
"Dok, dokter tahu nggak kalau kalimat dokter barusan bisa bikin anak orang kebaperan? Jangan ngomong kayak gitu dok, nggak baik buat kesehatan jantung dan hati saya. Nih jantung udah jedar jeder nggak karuan. Saya kira omongan manis para buaya yang berbahaya, ternyata omongan manusia kaku macam dokter barusan yang lebih mematikan."
Mendengar bagaimana keluhanku yang aku utarakan dengan sejujur-jujurnya dan juga wajah memelas karena aku benar-benar tersiksa dengan reaksi tubuhku yang tidak bisa aku kendalikan ini, dokter Kaliandra justru tertawa geli seakan apa yang baru saja katakan adalah sebuah lelucon yang mengocok perutnya.
"Harus banget kamu bilang hal ini langsung dihadapan saya, Juwita. Kamu tahu, kamu orang pertama yang mengatakan pada saya bagaimana saltingnya kamu tepat di depan wajah saya secara langsung."
"Ya iyalah, dok. Tengsin kalau ngomong jujur kayak gini, ini saya ngeberaniin ngomong karena saya sayang sama kesehatan jantung saya." Aku tidak bohong, jantungku benar-benar berdebar bahkan aku merasa sedikit sesak nafas, hiiissss dokter satu ini berefek buruk untuk kesehatanku. "Dokter lebih baik mode patung kayak kemarin waktu saya mintai tolong buat rekaman acara gerebek menggerebek deh. Kalo dokter cengar-cengir kayak gini yang ada malah saya yang sinting."
Seharusnya dokter Kaliandra mengabulkan apa yang aku minta demi kebaikan bersama, namun bukannya kembali pada mode patungnya, pria tampan dengan kacamata tipis yang bertengger di hidungnya ini justru tertawa terbahak-bahak membuat hati siapapun yang melihat tawanya semakin berantakan.
" Yaaaaa, kenapa orang-orang menyebut saya patung? Percayalah, saya tidak sepatung dan sedingin yang orang-orang katakan. Mereka hanya melihat saya dari kejauhan tanpa berani mendekat untuk tahu bagaimana saya yang sebenarnya."
Aku bertopang dagu memperhatikannya dengan penuh minat karena sekarang dokter Kaliandra tidak pelit menjawab, pembicaraan kami menjadi dua arah. Benar yang dikatakan oleh dokter Kaliandra, dia tidak sepatung yang dibayangkan.
"Gimana mau mendekat kalau dokter pasang muka lempeng kayak begini. Sebelumnya saya ini juga atit ati loh waktu dokter bilang tanpa basa-basi nggak seharusnya dokter khawatir sama saya, kesannya dokter kok menyesal udah nolong saya. Kalau nggak ingat sopan santun perkara ngembaliin itu dompet mungkin saya nggak datang nemuin dokter. Bodo amatlah dokter pernah nolongin saya, mana pakai acara nggak balas telpon sama chat lagi, dokter tahu, saya dikira fans sinting yang caper sampai ditempat kerja sama staf yang tadi kena tegur."
Tanpa ada rasa sungkan sama sekali aku keluarkan seluruh uneg-unegku kepadanya, mulai dari awal sampai akhir, suaraku terdengar nyaring ditengah sepinya ruang istirahat dokter UGD ini tanpa dokter Kaliandra menyela satu kali pun. Nafasku terengah, tanpa meminta izin aku meraih gelas air putih yang disorongkan olehnya, sepertinya dokter Kaliandra tahu jika aku butuh minum usai mengomelinya. Peka juga dia.
"Sudah selesai protesnya?!" Tanya singkat itu membuatku kembali memandangnya, rasanya sedikit malu karena marah pada seorang yang terhitung stranger.
"Sudah......."
"Kalau begitu kamu mau dengar pembelaan dari saya?"
"Coba, saya mau dengar alasan dokter bersikap antipati, tidak mau bersosialisasi dengan benar, dan irit berbicara seperti ini?"
"Kembali lagi, saya bukan seorang antipati, ansos atau semacamnya. Saya tipikal orang yang tidak mau merepotkan diri saya sendiri dengan urusan orang lain. Soal ucapan saya kemarin yang ternyata menyinggung kamu, saya tidak ada niat apapun. Saya berbicara karena saya menempatkan diri saya saat ada di posisimu. Satu kali saya pernah mencintai wanita, dia tidak berkhianat dari saya karena cinta saya pun tidak diterimanya, tapi saya marah bukan kepalang, dan perlu waktu lama untuk saya untuk bisa menerima kenyataan jika hati saya sakit melihatnya bahagia bersama dengan orang lain. Saya marah karena orang yang mendapatkan cintanya itu bukan saya. Setiap saat saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri apa kurangnya saya dimatanya."
Mata tajam yang bersorot dingin tersebut menerawang jauh, seakan dokter Kaliandra tengah mengingat kembali pada masa patah hatinya. Aku sama sekali tidak menyangka jika dibalik sikap acuh dokter Kaliandra ini ternyata dia punya alasan tersendiri. Hal-hal yang biasanya hanya aku dengar dari dalam drama romance tentang seorang yang bisa berubah karena cinta nyatanya kini aku temui di dunia nyata, sama tidak menyangkanya seperti mendengar dokter Kaliandra yang menceritakan masalah pribadinya ini.
Kali ini aku benar-benar penasaran perempuan seperti apa yang kejatuhan cinta dokter Kaliandra dan berhasil membuat pria berkacamata ini patah hati bahkan menutup diri. Melihat tingkat kecuekan dokter Kaliandra aku bisa menebak jika patah hati tersebut sudah berlangsung lama dan dokter Kaliandra belum moveon dari rasa patah hatinya.
Aku termangu, memandangnya dalam diam turut merasakan apa yang dia tengah rasakan. Rasa sakitnya dokter Kaliandra karena patah hati terasa sampai di dalam hatiku, ternyata inilah penyebab sorot mata dingin yang tidak menyenangkan ini.
"Itu sebabnya saya heran melihat kamu baik-baik saja setelah pengkhianatan hebat yang terjadi di depan matamu. Jika saya yang ada di posisimu, mungkin saya akan membunuh mereka, Juwita. Kamu benar-benar hebat bisa melalui semuanya masih dengan kepala waras bahkan bisa menggoda saya. Dengan saudara dan orangtua seperti keluargamu, mungkin saya sudah gila."
Seketika aku terdiam, kalimat dokter Kaliandra barusan membuatku bertanya-tanya, perasaan macam apa sebenarnya yang aku miliki ini untuk pria yang pernah menjadi kekasihku. Aku suka bersama dengan mereka, cinta? Entahlah perasaan macam apa itu karena selama ini aku hanya mengandalkan logikaku, aku melihat mereka mapan dan memenuhi kriteriaku sebagai pasangan maka aku akan berusaha menempatkan diriku sebagai pasangan mereka. Berulangkali aku patah hati karena ulah Jelita, namun aku tidak terluka sedalam ini karena mantan pacarku, yang membuatku sakit hati dan sulit sembuh adalah kenyataan jika pelaku kejahatan utamanya adalah saudari kembarku sendiri.
"Dokter........" Panggilku kepadanya yang kini juga menatapku lekat. Seakan dia begitu ingin tahu apa yang sebenarnya membuatku bisa kuat seperti pemikirannya.
"Ya........." suara berat itu lagi-lagi membuat dadaku berdesir dengan perasaan aneh yang menyenangkan, rasa itu menjalar dari dadaku merambat ke perutku dan naik kembali ke bibirku serta membuat otakku serasa konslet. Ya mungkin aku sudah gila, selama ini aku hanya melihatnya sebagai tetangga Juna namun sebuah ide sinting terbersit di dalam benakku yang langsung aku utarakan kepadanya.
"Belajar sama saya mau nggak dok biar bisa moveon. Siapapun yang sudah membuat dokter patah hati dia sudah bahagia, untuk apa terus memikirkan seseorang yang bahkan tidak peduli akan perasaan kita?"
"..............."
"Perasaan ini milik kita, dok. Dokter sendiri yang harus menyembuhkannya, dokter harus menjadi tokoh utama dalam kisah dokter sendiri, bukan hanya jadi figuran dalam kisah orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)
RomanceJuwita dan Jelita, dua wanita cantik dengan paras serupa tersebut menjadi primadona sedari mereka kecil, sayangnya semakin mereka beranjak dewasa semakin jelas perbedaan di antara keduanya. Juwita menyukai stroberi, dan Jelita menyukai cokelat, saya...