Part 14

3.2K 322 21
                                    

"Oooh yah sampai lupa buat bilang kalau kamu keren sekali menghadapi saudarimu yang nggak tahu diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Oooh yah sampai lupa buat bilang kalau kamu keren sekali menghadapi saudarimu yang nggak tahu diri."

Kalimat yang diucapkan dalam nada datar tersebut membuatku bersemu merah, malu sekaligus salah tingkah mendapatkan pujian dari seorang yang melihat bagaimana sulitnya aku mempertahankan senyuman di saat keadaanku menghantam dari kiri dan kanan.

Keren dan hebat, ya aku harus berbangga diri pada diriku sendiri karena selain diriku sendiri tidak akan ada yang menghargaiku. Aku tetap berdiri di tempatku sampai akhirnya mobil mungil warna hitam tersebut menghilang dari pandanganku. Terlihat jelas sekali jika dokter Kaliandra terburu-buru usai mendapatkan panggilan. Mungkin sebagai dokter ada panggilan pasien yang mendadak hingga dia harus segera pergi.

"Mobil lo dibawa siapa, Wit?"

Baru saja aku berbalik, aku nyaris dibuat terjungkal karena terkejut dengan kehadiran dua orang rekanku yang terlihat rapi dalam balutan seragam cabin crew mereka warna merah marron, ada koper di tangan mereka yang menunjukkan jika sebentar lagi mereka akan bertugas.

Terlihat wajah-wajah penasaran mereka sembari melongok ke arah mobilku menghilang seolah berharap jika mereka akan segera mendapatkan jawaban dari arah pandangan mereka.

"Dibawa sama Pak dokter depan rumah si Mantan." Jawabku seadanya, "ada hal urgent dianya sementara nggak ada taksol. Ya udah aku suruh dia bawa mobilku dulu."

Tiara dan juga Hani, dua perempuan asal Bandung tersebut saling pandang tidak percaya, "lo main kasih pinjam gitu saja mobil lo sama orang, Wit? Setdaaaah, kalau dibawa kabur gimana?"

Eeeeeehhh, iya juga sih, tapi dengan cepat aku menepis pemikiran tersebut sembari mengangkat dompet dokter Kaliandra. "Nggak lah, ini dia kasih jaminan."

Dua rekanku tersebut berebut meraih dompet tersebut dan dengan penasarannya membuka isinya, bersama dua orang tersebut aku melongok isi dalam dompet dokter Kaliandra. Tidak ada yang istimewa di dalamnya, normal seperti isi dompet orang lainnya namun saat melihat ada beberapa kartu debit yang menunjukkan nasabah prioritas dan juga kartu kredit dengan limit tinggi, dua rekanku tersebut terbelalak, apalagi saat mereka melihat KTA IDI dan foto pass KTP dokter Kaliandra Brawijaya, dua rekanku ini langsung mode menginterogasiku. Jujur saja, aku sedikit ngeri dengan rekan-rekanku jika dalam mode kepo. Meskipun penampilan mereka anggunly tetap saja mereka ini woman yang kekepoan adalah kewajiban.

"Anjirlah lo ini, Wit. Hoki lo nggak habis-habis!"

"Gue sempet khawatir liat live lo barusan abis gerebek Pak Arsitek nananina sama saudara kembar lo, ternyata penggantinya datang secepat kilat."

"Noh coba lihat, mana penghuni perumahan Menteng lagi. Duuuuh, lo kok bisa-bisanya nemu old money macam ini sih?"

"Kalau ceritanya kayak gini sih, ibaratnya ikan teri lo diambil saudara sendiri, lo-nya dapat ikan salmon. Bukan tuna lagi. Diuuuhhhh, nggak jadi prihatin gue."

Mendapati dumalan dua orang dihadapanku yang saling bersahutan ini aku hanya bisa melongo sendiri seperti orang bodoh, astaga, jauh sekali pemikiran dua orang di hadapanku ini.

"Jahat banget dah kalian. Mggak ada prihatinnya lihat temen sendiri baru saja patah hati, kalian nggak tahu apa gimana hancurnya hati gue lihat pacar gue asik-asik sama kembaran gue, mana sampai bunting pula."

Tiara memberengut sembari mendekatiku, perempuan cantik pecinta wangi karamel yang sudah bertunangan dengan salah satu Perwira angkatan darat tersebut menggandengku, "Iya, tadinya gue mau puk-puk lo, Wit. Tapi nggak jadi deh, lonya habis di puk-puk sama Pak dokter asal Menteng."

Perempuan cantik itu mengedipkan matanya menggodaku yang langsung membuatku memutar bola mata malas. "Dia cuma nolongin gue, Ra. Badan gue gemetaran, coba lo bayangin gimana syoknya gue yang mau ngasih surprise buat pacar sampai bela-belain izin jauh-jauh hari eeeehhh malah lihat pacar gue dikawinin mendadak."

"Berasa kek denger kisah pahlawan-pahlawan, ya. Duuuhh gentleman sekali Pak dokter ganteng." Tidak mau kalah, Hani pun ikut nimbrung, bahkan dia nampak benar-benar sebal kepadaku yang masih merutuki peristiwa buruk memergoki perselingkuhan pacarku yang kesekian kalinya. "Lo ngapain sih galauin tuh mantan sama kembaran lo lama-lama? Ya udahlah mereka selingkuh sampai dikawinin, ucap syukur Alhamdulilah banyak-banyak sampah diambil masuk buat ke tempatnya. Kalau udah dikawinin kayak gini kan itu kembaran sialun lo udah nggak bisa rebut-rebut pacar lo lagi.
Jangan cuma lihat sisi negatifnya, lihat sisi baiknya biar nggak galau lama-lama. Tuh Sundel bolong gatal nggak bisa menggatal lagi, udah kelihatan calon gebetan mapan dan tampan buat apa galauin pulu-pulu sama opet!"

"Yeeeeee....." kutoyor balik dua rekanku ini, pintar sekali mereka dalam mengguruiku padahal mah mereka sama-sama begonya sepertiku, masih aku ingat dengan jelas bagaimana Hani nangis berguling-guling saat Kapten pilot yang menjadi pacarnya dari maskapai lain ternyata berselingkuh dengan juniornya. Saat itu semua nasihat mental dan kini dia menasihatiku. "Gampang ya kalau ngomong, sama modelan pulu-pulu aja dilepeh apalagi kalau spek orang kaya dari lahir kayak yang lo bilang, gue lebih memilih sadar diri, udah di tolong ngelunjak, nggak tahu diri itu namanya."

Dua orang temanku ini meringis seketika, mengikutiku yang ngemper di tangga, dua orang ini menemaniku. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana hubunganku dengan keluargaku yang unik dan sulit untuk diterima.

"Oke-oke, lupain soal Pak dokter ganteng, Pulu-pulu dan Si Opet yang nggak tahu diri, sekarang gue mau bahas keluarga lo."

"Kenapa keluargaku gue?" Tanyaku balik pada Tiara yang terlihat sangat prihatin, dibandingkan aku sendiriTiara tampak jauh lebih stress. Seakan dialah yang baru mengalami hal berat.

"Lo nggak pilih keluar dari rumah dari itu saja, Wit? Buat apa lo tinggal di rumah yang sudah kayak neraka."

"Hooh, itu keluarga lo kayak setan semua. Gue saja heran lo masih waras, kalau gue mungkin udah gila dari lama."

"Bener sih berbakti sama orangtua itu penting tapi mental lo juga penting. Kasihan diri lo sendiri harus dengar semua omongan toxic keluarga lo."

"Kalau lo nggak kembar pasti gue nyangkanya lo itu anak tiri orangtua lo! Ada gila-gilanya ya mereka bisa bedain anak sampai sebegitunya."

"Sebenarnya apa sih yang lo pertahankan dirumah itu? Mending keluar, cari apartemen dulu sambil nyicil-nyicil rumah gitu. Gue yakin gaji kita jadi cabin crew sama duit endorse lo cukup buat ambil rumah KPRlah minimal. Lo nggak sayang sama diri lo sendiri, Wit?"

"Bukan gitu, tapi..........." Aku mendesah lelah mendengar saran yang sama untuk kesekian kalinya, benar aku mandiri secara finansial tapi untuk meninggalkan rumah begitu saja ada beberapa alasan yang membuatku tidak bisa begitu saja melakukannya. Dua orang temanku ini menatapku sebal, dan sama seperti dokter Kaliandra tadi. Tiba-tiba saja mataku menangkap ponsel yang sedari tadi aku silent menyala memperlihatkan nama seorang yang tidak bisa aku abaikan.

Tanpa menunggu lama aku mengangkatnya, bukan suara Mbak Isna si pemilik ponsel yang aku dengar melainkan suara Mami yang menggelegar melalui speaker ponsel hingga terdengar keluar. "Bagus ya kamu main minggat gitu saja, besok pagi-pagi, pulang! Kita harus rapat keluarga, kalau kamu nggak mau pulang jangan salahin Mami kalau Si Isna bakal Mami usir biar Nenekmu nggak keurus."

JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang