4

14K 949 8
                                    


(⁠✿⁠^⁠‿⁠^⁠)

Setelah mandi, Cassia mulai menyusuri laci laci yang berada dikamar Cliantha, mencari petunjuk apapun itu. Sampai pada akhirnya di sebuah laci, terdapat beberapa buku diary dan obat obatan yang begitu asing dimatanya.

Ada dua buku diary, yang satu warna biru, satu lagi warna ungu. Cassia mengambil asal saja.

"Setidaknya gue tau Antha sakit apa." Cassia membuka selembar demi selembar di buku diary berwarna ungu.

Bagaimana cara meredamkan amarahnya terhadapku? Bagaimana cara agar mereka mengerti bahwa aku tak bersalah? Padahal aku yang menyelamatkan mereka.

Kening Cassia berkerut. "Apa maksud Antha? Kesalahan apa?"

Pada saat itu, aku hanya anak kecil yang duduk di kursi penumpang. Namun, mereka bilang bahwa akulah penyebabnya.

Cassia menutup mulutnya menggunakan tangan. Langsung mengerti apa yang dimaksud. Sekarang Cassia ingat, cerita tentang mengapa Lester dan Dianella diangkat menjadi bagian keluarganya. Dulu orang tua Cliantha tak sengaja menabrak mobil orang tua Lester.

Cliantha mungkin jadi merasa memaklumi jika Lester dan Dianella melampiaskan kesedihan atau kekesalan mereka pada Cliantha karena sudah pasti mereka tak mungkin melakukan hal tersebut kepada orang tuanya Cliantha secara langsung.

"Makanya mereka pengen Antha cepet mati," katanya dengan sorot mata sendu.

"Tapi gimanapun juga, Cliantha gak salah. Ini gak bener, gak boleh dibiarin."

Ia beralih pada buku biru di samping kakinya. Di sampul buku tertulis '10 permintaan terakhir '. Cassia membukanya perlahan.

1. Menjadi pelindungnya

Gadis berambut coklat tebal tersebut berkerut. "Maksudnya Antha ngelindungin diri sendiri?" Dia menatap kalimatnya lama.

Karena Cassia cuma ingat bahwa Cliantha adalah orang paling menderita di dalam bukunya. Dia membuka lembaran selanjutnya, tapi kosong.

"Katanya sepuluh permintaan, kok, cuma satu?" Cassia terus membuka buka setiap lembarannya. Namun, masih kosong.

"Apa gue harus wujudin dulu permintaannya, baru permintaan lainnya muncul?" Gadis itu mengetuk ngetuk dagunya pelan, berusaha memikirkan sesuatu.

Tiba tiba suara perut berbunyi nyaring. Dia menghela napas. "Pantesan gue gak bisa mikir. Lapar, sih!" Cassia mengelus perutnya, lalu meletakkan buku itu ke laci lagi.

Setelah meminta pesanan yang ia inginkan pada pembantu di rumahnya. Cassia kini berada di meja makan dengan setumpuk makanan.

"Gak apa apa penyakitan, yang penting kaya," gumamnya, sedikit cekikikan. Cassia menikmati pizza yang dipenuhi keju di tangannya.

Sosok Dianella secara tiba-tiba membuat atensi Cliantha teralihkan. Dianella memasuki dapur, tak lama ia keluar dengan semangkuk salad. Karena merasa ada yang memperhatikan, Dianella menghentikan langkah, menatap Cliantha.

"Berlemak dan tak sehat," katanya lalu pergi begitu saja.

Cliantha mengedipkan mata, menyadarkan diri setelah tertegun beberapa saat, menatap makanan di hadapannya. Junk food. Pizza, burger, spaghetti, dan perintilan lainnya.

Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu mengendikkan bahu.

"Tapi meskipun gue jaga makan sama kesehatan, gue gak bakal sembuh dan tetep sakit, kan?"

"So what?"

"Daripada gak menikmati sama sekali, lebih baik gue makan dan lakuin apapun yang gue mau. Orang kaya!"

Cassia for Cliantha (Transmigrasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang