7

13K 918 10
                                    

(⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)

Cliantha menghela napas, memperhatikan langit yang sudah menjelang malam di balik jendela mobil Arlo. Setelah keluar dari rumah sakit, Cliantha hanya diam.

Arlo berdeham kecil. "Kata bokap gue, lu harus mulai ngejalanin kemoterapi," ucapnya, memecah keheningan.

"Buat apa?" tanya Cliantha melirik Arlo yang masih memandang lurus ke jalan.

"Sembuh."

Cliantha terkekeh sebentar, lalu menghembuskan napas. "Sembuh, hanya untuk seseorang yang punya alasan buat ngelanjutin hidupnya." Ia menatap kosong dengan hati memberat.

"Sedangkan gue? Gak punya alasan buat bertahan," lanjutnya terdengar mengiris.

Arlo menoleh, melihat Cliantha yang kini raut wajahnya seperti sulit diartikan, tapi tidak ada rasa cemas sama sekali.

"Dia mengidap kanker darah atau biasa disebut Leukemia. Leukimia yang cepat berkembang dapat menyebabkan gejala yang termasuk kelelahan, penurunan berat badan, sering infeksi, dan mudah berdarah atau memar. Dia tidak boleh kelelahan, memiliki banyak aktivitas, dan terluka dikarenakan sel sel darah putihnya tidak berfungsi dengan baik."

Cliantha mendengarkan samar samar setengah sadar. Dia masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit itu, lemas. Infusan menempel pada tangannya.

"Bila dibiarkan, stadiumnya akan bertambah. Dia harus menjalani kemoterapi agar bisa bertahan lebih lama. Kini dia sudah mencapai stadium tiga. Imun tubuhnya akan semakin melemah. Apakah perempuan ini temanmu, Arlo?"

"Iya. Apa dia bisa sembuh?"

"Kemungkinannya kecil . Namun, jika ia ingin berusaha untuk terus bertahan, maka semua akan jauh lebih baik!"

Cliantha mengerjap beberapa kali, menyadarkan diri. Ia menipiskan bibir, menguasai ekspresi.

Cliantha berdeham kecil. "Ehm, makasih sebelumnya udah bawa gue ke rumah sakit! Gue kira lu bakal ninggalin gue," kata Cliantha seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal, tertawa canggung.

"Kalo gue biarin lu, gue gak punya musuh lagi,"  sahut Arlo bernotasi datar.

Cliantha mengangguk angguk saja, kemudian teringat sesuatu. "Dokter itu?"

"Bokap gue."

Cassia baru tahu, dia sampai heran kenapa banyak hal yang tak terduga. Apa karena alurnya kini berubah? Atau sebenarnya banyak part yang ia lewati ketika membaca buku ini?

Tiba tiba perut Cliantha berbunyi, ia jadi ingat tujuan kenapa dia sampe seberusaha itu untuk menang.

"Aro, gue pengen makan nasi goreng!" pekik Cliantha secara mendadak, Arlo sedikit tersentak keget kemudian mengernyit.

Aro? Cliantha memanggilnya Aro secara tiba-tiba?

Cliantha yang mengerti, berdecak. "Kenapa? Aro lebih gampang aja gitu nyebutnya, ini nama panggilan dari musuh lu. Jadi gue gak perlu persetujuan kan?"

Arlo diam saja.

"Aro, lu denger tadi gue bilang apa? Nasi goreng! Inget, kita punya perjanjian? Hari ini, gue ngalahin lu! Jangan lupa!"

"Gak sehat!"

"Gue maunya itu!"

"Yang lain aja!"

Cliantha merotasikan mata, mendengus tak suka. "Cih, mentang mentang tau gue sakit. So peduli!" omelnya.

Arlo yang tersinggung, mendelik sebentar. Tak berkata kata lagi. Mobil berwarna hitam itu akhirnya berhenti di pinggir jalan. Mata Cliantha merekah, melihat gerobak bertuliskan 'Nasi Goreng Spesial' .

Cassia for Cliantha (Transmigrasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang