9

12K 899 9
                                    

(⁠.⁠ ⁠❛⁠ ⁠ᴗ⁠ ⁠❛⁠.⁠)

Lelaki berambut hitam itu mengerjapkan mata beberapa saat. Namun, alangkah terkejutnya ia, ketika melihat Cliantha tertidur disampingnya dan lengan Lester yang masih memegang pergelangan tangan Cliantha.

Lester mulai melirik ada handuk kecil dan sewadah air di atas nampan. Ah, dia baru ingat, bahwa kemarin badannya begitu panas. Dia sakit, karena terlalu banyak pikiran.

Ia tertegun, mungkinkah Cliantha merawatnya semalam?

Lester langsung bergerak melepaskan genggamannya. Ia pura pura tidur kembali, saat Cliantha mulai bergerak gerak kecil.

Gadis berambut coklat tersebut menggeliat sebentar, menguap, setelahnya ia terdiam, mengumpulkan nyawa. Sekarang seluruh badannya terasa sakit dan dingin. Semalam posisi tidurnya tidak benar, tanpa selimut juga.

Cliantha menghela napas, memandang Lester yang masih menutup mata. "Ini orang tidur apa latihan mati? Nyenyak banget dari kemarin," gumamnya seraya bangkit membenarkan posisi.

Ia menyentuh kening Lester sebentar. "Udah normal, tugas gue selesai." Cliantha menguap lagi.

"Badan gue jadi sakit semua. Bisa bisanya malah ketiduran di sini."

Dia berjalan gontai keluar dari kamar Lester. Tanpa disadari Lester memandangnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

Cliantha menggulung dirinya sendiri menggunakan selimut. Hari ini, benar benar tidak niat pergi sekolah. Lebih baik ia ijin, lalu tidur di kamar seharian.

Wila teman yang mengerti.

Beberapa saat kemudian suara ketukan pintu terdengar samar samar. Cliantha pikir itu adalah salah satu pembantu.

"Bi! Antha gak akan pergi ke sekolah, udah bilang sama Wila buat ijin sakit. Antha juga belum pengen sarapan, pengen tidur aja," seru Cliantha setengah berteriak dibalik selimutnya.

Namun, tidak ada balasan apapun dari luar. Cliantha acuh saja tak ingin peduli, ia pun tertidur pulas.

Sementara diluar sana ada Lester dan Dianella yang saling menatap setelah mendengar penuturan Cliantha.

Dianella menghembuskan napas, membenarkan tas, lalu berjalan meninggalkan Lester. Tak berangsur lama, Lester menyusulnya.

"Kak, lu liat apa yang Antha lakuin semalem?" kata Dianella dingin, menusuk.

"Gue gak minta," balas Lester tak kalah dingin.

Dianella merotasikan mata. "Tangan lu nahan dia."

"Gue gak sadar," balasnya tak mau kalah.

"Dek, lu tau kemarin itu hari apa? Dan lu malah pergi pacaran sama Cashel?"

Dianella diam.

Lester menyunggingkan senyum. "Kemarin lu bahkan gak pergi ke ziarah mamah sama papah."

"Gue pergi ke sana sama Cashel sore harinya, Kak!" bantah Dianella tak terima. "Jangan so tau, deh."

Kakak beradik tersebut malah bertengkar. Pemandangan ini sering terjadi, apalagi perang dingin. Bahkan satu minggu penuh, mereka bisa saling tak berbicara atau menyapa satu sama lain karena meributkan hal kecil. Tidak ada yang melerai maupun menengahi, karena mereka kekurangan sosok orang tua.

"Kenapa lu gak pergi sama gue? Apa Cashel lebih penting dari gue?" pertanyaan yang sangat sering Lester keluarkan di saat begini.

Dianella menghela napas. "Cashel masa depan gue."

Cassia for Cliantha (Transmigrasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang