Penampilan Kara cukup acak-acakan dengan banyak tanda kemerahan di lehernya, gadis itu menatap jengkel si pelaku yang tampak tenang sembari memandanginya. "Kenapa, sayang?"
"Kamu terlalu banyak membuat tanda, Dave."
Dave terkekeh, laki-laki itu turun dari ranjang yang memang ada di salah satu ruangan gedung Smada, Dave punya ruang pribadi. Dia memeluk Kara dari belakang, perlahan menarik Kara hingga kembali berbaring terlentang di atas ranjang. "Aku selalu tidak bisa menahan diri saat melihatmu, bagaimana kalau kita menikah saja?"
"Ngawur!"
Kara membiarkan Dave menciumi perutnya yang sudah dia singkat baju Kara, "Aku ingin bebas menyentuhmu, sayang."
"Dan kamu sudah terlalu bebas menyentuhku sejak awal, Dave."
Dave tergelak, keduanya sama-sama terbiasa dengan budaya bebas. Ciuman dan seks tanpa adanya pernikahan bukan hal tabu untuk lingkungan mereka, apalagi Kara yang besar di budaya barat. Dia tidak kaget dengan gaya pacaran orang luar yang bahkan bisa sampai punya anak, padahal belum menikah.
Semua itu lumrah, tapi untuk budaya yang memang bebas, berbeda dengan Indonesia yang memiliki hukum sosial. "Aku ingin menciummu,"
Dave dan Kara kembali berciuman, mereka mengabaikan teman-teman mereka yang tengah kelimpungan mencari, sebab keduanya sama-sama hilang tiba-tiba. Puas berciuman, Dave menarik Kara ke dalam pelukannya. "Dunia harus tahu kalau gadis cantik ini adalah milikku, milik Dave seorang."
Hubungan tak terduga itu terjalin antara Kara dan ketua Argeios yang di kenal dingin, kejam, serta anti perempuan. Tidak pernah ada kabar kedekatan antara Dave dengan perempuan mana pun tapi sekarang, diam-diam, Dave menjadikan Kara sebagai miliknya. Bahkan sebagai perempuan pertama yang Dave cium juga Dave sentuh sejauh itu.
Tangan besar Dave merayap, meraba perut rata Kara dengan pikiran yang mendadak liar. Bagaimana kalau ada anakku di dalam sana? Batinnya sembari menatap wajah lelap Kara yang sangat memesona di matanya. Apa gadisku akan membiarkan benihku ini tumbuh di rahimnya?
***
Jam istirahat kedua, Dave dan Kara baru menampakkan wajah di muka umum. Dengan Hoodie hitam kebesaran milik Dave yang Kara kenakan, keduanya berjalan beriringan. Dave tidak peduli pada semua pasang mata yang menatap ke arah tangannya, tangannya yang memeluk mesra pinggang ramping Kara.
"REEN! Astaga! Lo kemana aja? Lo buat kita khawatir tau enggak?!"
"Lo kenapa pakai Hoodie? Lo sakit? Lo demam?"
Kara meringis pelan, mendengar serentetan pertanyaan dari sahabat-sahabatnya. "Gue enggak apa-apa, tadi cuma ketiduran di rooftop."
"Oh God, Reen!"
Kara mengabaikan kekesalan sahabat-sahabatnya, dia pun duduk di meja paling pojok dengan Dave di sisinya. Tak lama, Kama dkk datang. Mereka melihat kehadiran Dave di tengah antara Kara dan sahabat-sahabatnya. "Bos, lo kemana aja? Bisa-bisanya muncul di kantin, sama cewek-cewek lagi!"
"Berisik," Tangan Dave di bawah meja menggenggam jemari Kara, Kara pun hanya diam.
"Bos enggak asik," Laksa mengerucutkan bibirnya, membuat yang lain bergidik ngeri.
"Bibir lo jangan begitu napah! Mau gue gunting?!" Ucap Atma dengan nada sarkasnya.
"Jahat sama dedek kamu bwang!"
"Enek, Sa. Sumpah!"
Laksa cengengesan, "Hehe, sini-sini, mau pesan apa kalian semua? Biar Laksa tampan nan baik hati yang beli, ciwi-ciwi juga boleh kok nitip asal kasih duitnya juga ya."
"Sorry, kita bisa sendiri." Vela langsung berdiri dan pergi memesan makanan menu biasa yang sering teman-temannya makan, tentu di temani Asya.
"Idih, bukannya terima niat baik si tampan Laksa, malah sombong!" Laksa menggerutu kesal.
Sedangkan Dave, pandangan laki-laki itu mengarah pada Kara di sisinya yang tampak tenang sembari memerhatikan sekitar. "Baby,"
Hening.
Panggilan mendadak juga tidak terduga dari Dave untuk Kara, membuat meja pojok langsung senyap dari suara. "Apa?" Kara tidak menatap Dave, membuat Dave jengkel dan langsung menangkup wajah Kara, membalikkan wajah gadis itu agar menoleh ke arahnya.
Cup.
Semua orang di kantin menahan napas, menyaksikan Dave yang bisa dengan mudah mencium bibir seorang gadis di khalayak umum. Bahkan tidak sungkan melumat bibir Kara, Kara sendiri cukup terkejut mendapat serangan nekat dari kekasih beberapa jamnya ini.
"Dave," Kara menatap Dave dengan napas terengah.
"Sayang, aku menginginkan kamu." Bisik Dave dengan suara serak khasnya yang berat, Kara hanya bisa meneguk kasar air liurnya.
"Dave, kita di tempat umum!"
"Aku tidak peduli," Dave berdiri, mengajak Kara agar berdiri yang tentu saja di ikuti gadis itu.
"Reen, lo hutang cerita sama kita semua."
"Lo juga bos, lo harus jujur sama kita."
"Kara cewek gue,"
Singkat, padat, dan jelas. Yang malah membuat mereka semakin ternganga tidak percaya, semudah itu seorang Dave menaklukkan gadis secantik Kara? CK! Davenya saja tampan, apa yang susah untuknya meluluhkan Kara. "Gila!"
Reaksi yang lain, berbeda dengan Kama yang kini menatap tajam Adiknya. Tahu arah pandangan sang Kakak, Kara menghela napasnya kasar. Gadis itu melepas genggaman tangan Dave pada tangannya, beralih mendekat ke arah Kama lalu duduk di pangkuan sang Kakak. "Abang,"
"Jelaskan," nada suara Kama sangat dingin, membuat Kara menjadi sedikit ngeri dibuatnya.
Dave? Laki-laki itu hanya bisa mengepalkan kedua tangannya menahan cemburu, meski tahu jika Kama itu Kakak dari Kara, tetap saja Dave tidak rela gadisnya duduk di pangkuan pria lain. "Dave pacar Reen, Abang. Reen kan sudah besar, masa enggak boleh pacaran?"
"Bukan enggak boleh, princess. Tapi kamu aja belum tujuh belas tahun, tapi pacaran dengan yang lebih tua dua tahun, gaya pacaran Dave berbeda, sayang. Abang takut kamu di apa-apain," di akhir kata, Kama menatap sengit pada Dave yang setia berwajah datar.
"Sekali pun gue apa-apain cewek gue, gue pasti nikahin dia apalagi kalau di tambah bonusnya, ada anak gue di rahim cewek gue."
Semua mata terbelalak, "ANAK?! Emang cinta itu bikin gila ya," gumam Laksa sembari bergidik ngeri.
"Lo jangan macam-macam, Dave. Yang lo pacarin itu Adek gue,"
"Terus? Lo berharap apa? Gue putusin Adek lo, gitu? Mimpi,"
"Lo─" Kama ingin sekali meninju wajah Dave yang datar-datar itu tapi Kara menahannya dengan cara memeluk.
"Please, Abang. Jangan kekanak-kanakan, Reen sudah hidup mandiri sejak kecil, Reen mampu jaga diri sekali pun melampaui batas, biarkan Reen yang bertanggung jawab pada diri Reen sendiri."
Alasan kenapa Kara tidak pernah mau tinggal dengan orang tuanya ya ibu salah satunya, Kara suka kebebasan, dia benci di kekang. Bersama orang tuanya, Kara harus mematuhi begitu banyak aturan dan larangan. Sedangkan dengan Opa dan Oma? Mereka membebaskan Kara meski masih dalam pengawasan tidak biasa.
"Reen! Ini bukan masalah kekanak-kanakan, kamu masih terlalu muda untuk mengerti, Reen!"
"Terus kapan Reen di izinkan mengerti kalau sampai detik ini, kalian terus mengekang Reen!"
Kara berdiri dari duduknya, gadis itu pergi dengan wajah memerah menahan amarah. Dia benci aturan.
"REEN! BERHENTI DI SANA ATAU KAMU TIDAK AKAN MENDAPATKAN FASILITAS DARI PAPA!"
Kara berdecih, "Tanpa fasilitas dari kalian, aku bahkan mampu membeli banyak pulau." Lirihnya dengan suara pelan serta langkah kaki yang tidak berhenti sejenak pun.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/281293058-288-k855971.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Girl Mischief [The End]
Teen Fiction"Memohon atau mati," Caramel Clearesta merasa, hukuman terbaik adalah penyiksaan berakhir mati mengenaskan. Dirinya yang bagai bunglon, senantiasa bersikap tenang dan santai padahal memiliki ribuan trik mematikan. Di pacari seorang penguasa tidak m...