Entah ini duka yang menyelimuti atau kebahagiaan yang lahir, sebab tepat di hari kematian Atma, Shela berjuang melahirkan buah cintanya dengan Atma. Keluarga Atma tengah mengurus proses upacara kematian untuk Atma yang di lakukan dengan kremasi. Shela di tengah perjuangannya, tak mampu menahan air mata.
Atma, anak kita sebentar lagi akan lahir.
"Sedikit lagi, Dok. Iya sedikit lagi!"
"ARGH!"
"Oekk .... Oekk .... Oekk ...."
Tangisan bayi mungil yang akan menjadi semangat baru untuk Shela menjalani hidup terdengar, wanita itu menatap bayinya yang tengah di bawa perawat untuk di bersihkan dulu sebelum di bawa pada dirinya. Tangis Shela pecah, "At. Anak kita sudah lahir tapi kamu malah pergi meninggalkan kami,"
Suara tangis bayi yang menggema, membuat seluruh keluarga Shela yang menunggu mengucap syukur, termasuk Sera yang langsung menangis dalam dekapan Dewa. Sera tahu, betapa terlukanya Shela saat ini. Dia baru saja melahirkan anaknya tapi suaminya malah pergi meninggalkannya dan tidak akan pernah kembali lagi.
Orang tua Shela masuk ke dalam ruangan sang anak, Ibu Shela langsung memeluk anaknya. "Nak, yang kuat. Kasihan anakmu,"
"Bu, aku melahirkan tanpa suamiku. Aku sakit, Bu."
"Tidak, anak Ibu kuat."
Beberapa menit menumpahkan tangis dalam dekapan sang Ibu, perawat pada akhirnya memindahkan Shela ke ruang rawat. Shela menatap sendu bayinya yang memiliki wajah persis seperti Atma, "At? Kamu sengaja menitipkan bayi mungil dengan wajah serupa seperti dirimu padaku? Agar aku selalu mengingatmu?"
"Shela, kamu sudah memiliki nama untuk anakmu?"
Shela menatap wajah tenang putranya yang terlelap, "Mahatma Antariksa Bhagawanta."
"Kamu yakin, sayang?"
Mahatma adalah nama Atma, Shela sengaja menyematkan nama suaminya di nama sang anak, agar tidak hanya wajah yang serupa tapi nama pun serupa. "Yakin, Bu.
"Baiklah, selamat datang di dunia ini baby Anta."
***
Beberapa tahun telah berlalu, di mana sahabat Kara dan Dave telah memiliki buah hati mereka masing-masing. Kara melamun, menatap kosong benda persegi panjang di tangannya. Hampir setiap bulan Kara memeriksa apakah dia hamil atau tidak, apalagi setiap dia telat datang bulan, Kara akan dengan semangat melakukan tes kehamilan tapi hasilnya selalu negatif.
"Sayang? Are you okay?"
Kara menatap Dave dengan mata berkaca-kaca, Dave memandang benda di tangannya dan pria itu langsung mengerti. Dia pun menarik Kara ke dalam dekapannya, berkali-kali mengecup puncak kepala Kara. "Jangan menangis, sayang. Karena kamu yang terlalu banyak pikiran, bisa mengganggu tumbuh kembang calon anak kita."
"Iya kah?"
"Bukankah kamu Dokter? Harusnya kamu paham itu, sayang."
Kara terdiam, lalu mengangguk pelan. Dia baru sadar, betapa seringnya Kara melamun bahkan bisa di sebut mulai stress karena tak kunjung hamil. Penyebab lain dirinya belum hamil pasti karena stress, "Dave. Bagaimana kalau kita pergi liburan? Mungkin dengan liburan, aku bisa pulang dalam keadaan hamil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Girl Mischief [The End]
Teen Fiction"Memohon atau mati," Caramel Clearesta merasa, hukuman terbaik adalah penyiksaan berakhir mati mengenaskan. Dirinya yang bagai bunglon, senantiasa bersikap tenang dan santai padahal memiliki ribuan trik mematikan. Di pacari seorang penguasa tidak m...