17 - Kepergok Papa

7.7K 288 0
                                    

Masih dengan kekesalannya, Kara melangkah gontai. Dia sebenarnya malas memperpanjang perdebatan yang hanya akan menguras emosinya, apalagi tadi, jujur, Kara yang masih bingung sebab Kama tidak cerita sama sekali tentang dia yang pernah pacaran lalu Kara tahu dari orang lain, itu rasanya .... Nano-nano.

Dia tidak tahu harus ke mana, akhirnya memutuskan untuk keluar area sirkuit. Kara duduk di bawah pohon yang terdapat bangku kayu, gadis itu merenung. Dia dan Kama memang saling menyayangi sebagai Kakak dan Adik, tapi bukan berarti, semua yang Kama alami harus di ceritakan pada Kara.

Kara terkekeh, dia sendiri saja banyak memendam rahasia seorang diri dan sekarang merasa kecewa karena Kama tidak bercerita perihal mantan kekasihnya? Kara, ayolah. Kalian seri kalau begitu, Kara pun mengusap wajahnya. Dia tidak marah pada Kama, hanya sedikit kebingungan tadi dan kebingungan, itu juga telah lenyap dalam sekejap mata.

"Tolong! Tolong!"

Keningnya berkerut, Kara secara naluriah langsung berdiri dari duduknya. Jiwa penolongnya berkobar, membuat Kara langsung bergegas menuju asal suara yang di dengarnya. "LEPAS! LEPASIN SAHABAT GUE!!"

Kara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tak jauh di depannya, ada sekelompok anak muda, ya sama sih, Kara juga anak muda. Mereka tampak memperdebatkan sesuatu, dengan si cowok yang menarik tangan cewek berambut sebahu tergerai lalu ada cewek dengan rambut di kuncir yang terus berteriak sembari mencoba menarik tangan temannya yang lain, temannya yang rambut di gerai.

Kara tetap diam, karena tidak tahu harus apa. Perdebatan mereka belum Kara ketahui apa motif awalnya, jadi lebih baik menonton. "Lo lepasin sahabat gue, sialan! Jangan berani macam-macam atau gue bakal teriak lagi!"

Si cowok tampak tertawa, "Teriak aja yang keras! Sampe pita suara lo putus sekalian! Ini tuh area jauh dari jangkauan orang-orang, goblok!"

Wajah gadis berambut di kuncir tampak sangat geram, "CALLA!! Berjuang anjing! Lo malah diam aja!"

"Calla harus apa, Lily?"

Mata Kara mengerjap, "Lah? Bocah polos ternyata."

Tanpa sadar, Kara terkekeh. Gadis itu pun akhirnya mendekat, "Kenapa sih anak muda? Kok ribut-ribut?"

"Diam orang tua!"

Kara terbelalak mendengar ucapan si cowok tengil, "Tengik banget tingkah lo, cil. Sini gelut sama gue!"

"Sorry, gue enggak lawan Tante-Tante, takut kualat."

"Si babi!"

Kara ikutan geram, gadis itu langsung mengambil ancang-ancang, menendang si cowok hingga jatuh tersungkur ke belakang. "Gimana? Enak enggak kekuatan Tante-Tante?"

"Lonte sialan!" Si cowok bersiap memukul Kara, namun kalah cepat dengan pukulan telak Kara pada hidungnya yang bersyukur mancung.

"Tadi orang tua, Tante-Tante, sekarang lonte, lo tuh maunya apa sih kunyuk? Mau gue penyet biar jadi ayam geprek? Ngeselin banget, udah tahu mood gue lagi berantakan, malah di tambah berantakan. Sini lo bangun!"

Wajah cowok itu berubah pias, "O-orang gila! Kabur!"

"Ya Tuhan, tambah lagi sekarang. Cantik begini di bilang orang gila," Kara mengelus dada sabar, dia berbalik badan dan tak mendapati kedua gadis remaja tadi. "Emang bocah-bocah biadab! Gue udah cape bantuin, malah di tinggal lari. Tau begini gue biarin aja lo di lahap kadal buntung macam tuh cowok tengik!"

Kara misuh-misuh, kekesalannya semakin bertambah. "Gue butuh yang pahit-pahit,"

***

"Ice Americano satu!"

Kara menelungkupkan wajahnya di antara lipatan tangan, Kara memang beda dari yang lain. Jika kebanyakan sukanya makan manis atau pedas saat bad mood, maka Kara lebih suka yang pahit. Kalau prinsip Kara itu, wajahnya sudah manis jadi tidak butuh yang manis lagi.

Kenapa enggak coba Brotowali aja? Padahal enak, Reen. Manis banget, iya enggak SoDang? Alias SObat DANGerous.

Sementara itu, Vela menatap tajam Maurin. "Lancang banget mulut tai lo itu! Mau gue cincang? Biar sekalian enggak bisa ngomong lagi!"

Kelancangan ucapan Maurin, membuat Kara pergi, tentu saja Vela merasa jengkel. "Enek gue liat lo yang sok pendiam dan kalem padahal lidah dan hatinya busuk!"

Tak hanya Maurin yang terkejut mendengarnya, Sera dan Asya juga ikut terkejut. "La! Jangan keterlaluan! Maurin enggak sepenuhnya salah,"

"Enggak peduli anjing!" Vela pergi meninggalkan sirkuit, dia tidak mungkin mencari Kara karena kalau Kara sudah pergi, dia akan sulit di cari.

Kembali ke Kara, gadis itu saat ini tengah menikmati ice Americanonya sambil menonton film Upin Ipin dari aplikasi YouTube di ponselnya, dia tidak peduli jika suara yang keras tanpa di halangi earphone, mengganggu pelanggan lain. Tak mengganggu, karena kebanyakan, menatap gemas ke arah Kara.

Bagaimana tidak gemas, kalau Kara yang masih mengenakan celana piyama panjang bermotif beruang, di padukan hoodie hitam kebesaran, tengah menikmati ice Americano tapi nontonnya Upin Ipin. "Upin dan Ipin inilah dia, kembar seiras itu biasa."

Kara tanpa sadar ikut bernyanyi, membuat sebagian pelanggan, menahan tawa gemas mereka. Termasuk meja tak jauh dari meja Kara yang tengah membicarakan perihal bisnis tapi harus terganggu saat koleganya membicarakan tingkah lucu seseorang. Kepalanya pun menoleh, ikut menatap ke arah pusat perhatian.

"Astaga, anakku." Papa Aksa melirih, menatap putrinya yang tampak asik dengan dunianya juga mengabaikan sekeliling.

Setelah sadar jika putrinya baru sembuh, Papa Aksa langsung berdiri dan menghampiri meja Kara. Melupakan kolega bisnisnya yang kini menatap bingung Papa Aksa. Kara sendiri langsung terkejut, saat Papanya telah berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin.

"Hehe, Papa." Kara menjauhkan gelas berisi ice Americano, gadis itu cengengesan tanpa dosa. "Abang yang suruh Reen ke sini, Papa, suer!"

***

Bugh!

"Akh,"

Kama menyentuh kakinya yang menjadi pelampiasan tendangan sang Papa, "Papa kenapa sih?! Tiba-tiba Dateng terus main pukul aja!"

Papa menatap Kama dengan tajam, membuat Kama meneguk kasar air liurnya. "Hebat ya kamu, berani sekali menyuruh Adikmu yang baru sembuh ke cafe sendirian, membiarkan dia minum Americano pula!"

Mata Kama terbelalak, sontak menatap Kara yang berdiri di belakang Papa sembari menyengir polos. "Papa, sumpah! Abang enggak suruh Reen ke cafe, bahkan Kama larang Reen buat pergi, Pa!"

"Terus, kamu pikir, Adikmu berbohong?"

Kama diam, hanya menatap Kara penuh permusuhan. Kara mulai merasa kasihan, "Papa. Ini salah Reen,"

Gadis itu menunduk, memainkan jemarinya yang saling bertaut. Membuat Papa menoleh, "Apa maksudmu, princess?"

"Abang sudah larang Reen, cuma karena Reen merasa bosan, Reen kabur saja diam-diam."

"Astaga, Caramel Clearesta!"

Bibirnya melengkung ke bawah, Kara si bunglon merasa bersalah karena telah membuat Kakaknya di tendang sang Ayah dan Ayahnya yang memarahi Kama. "Abang, maafkan Reen. Reen nakal,"

Kalau begini, mana tega Kama memarahi Adiknya. Dia pun memeluk Kara lembut, "Adek enggak salah. Abang yang salah, harusnya Abang temani Adek semalam dan tidak meninggalkan Adek sendiri di rumah. Adek kesepian kan?"

Dengan polosnya, Kara mengangguk. Membuat Papa tersenyum, menatap pemandangan manis di depannya ini.

"Abang, maafkan Papa ya, Nak. Tidak seharusnya Papa melukaimu,"

"Tidak apa, Pa. Ini juga salah Abang karena pergi meninggalkan Reen sendiri,"

Manisnya obrolan suami dan anak-anaknya, Bunda benar-benar tidak bisa menyembunyikan senyum bahagianya.

***

Dangerous Girl Mischief [The End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang