Kama bagai orang kesetanan saat mengendarai motor, dia membelah padatnya jalanan Ibu kota dengan ketakutan mati yang sudah tak ada lagi. Yang memenuhi pikirannya saat ini hanyalah tentang sang Adik, Kama berharap, Adiknya akan baik-baik saja.
Tak berselang lama, setibanya Kama di daerah yang sudah dekat, kemacetan jalan membuat Kama mengumpat. "Pak, maaf, di depan ada apa ya? Kok bisa macet banget gini?"
"Ada kecelakaan, Mas."
Deg.
Rasanya, jantung Kama seperti pindah ke lutut. Laki-laki itu langsung turun dari motornya, berlari meninggalkan motornya begitu saja. Kama tidak peduli pada apa pun, tapi pikirannya benar-benar kalut, takut jika yang kecelakaan adalah Adiknya. Lekas Kama menggeleng, apa yang dia pikirkan?! Adiknya tidak mungkin kecelakaan.
Tapi dugaan awalnya ternyata benar terjadi, kaki Kama serasa lemas saat matanya menyaksikan secara langsung, bagaimana hancurnya mobil yang biasa Adiknya gunakan. Dengan wajah pucat pasi, Kama menghampiri pihak medis yang tengah mendorong brankar. "Tunggu!, Stop!"
Kama membuka penutup wajah korban, di saat itu juga air matanya tumpah. "Enggak! Reen bangun! Reen!"
Kama menangis sembari turut mendorong brankar tempat Adiknya terbaring ke dalam mobil ambulans, mobil ambulans itu melaju dengan kecepatan tinggi, di kawal pihak kepolisian. Kama yang dingin kini menangisi sang Adik yang tampak tak berdaya dengan tubuh di penuhi darah.
"Bangun, jangan tinggalin Abang, Reen."
Melihat kondisi mobil Kara, Kama tahu betapa hebatnya kecelakaan yang menimpa sang Adik.
Rumah sakit, Kama setia menunggu di depan dengan kepala tertunduk, dia sudah mengabari keluarganya jika Kara kecelakaan dan saat ini sudah di bawa ke rumah sakit. Tak lama kemudian, Bunda dan Papa datang tergesa-gesa. Mata Bunda sembab, Kama sangat tahu kalau Ibu sambungnya itu sangat khawatir akan kondisi sang Adik.
Ibu sambung yang bagaikan Ibu kandung untuknya, karena sejak kecil, Kama sudah di rawat Bunda Marissa. "Kama, bagaimana Adikmu?" Papa memberondong banyak pertanyaan, membuat Kama hanya bisa menggeleng.
Ceklek.
Pintu ruangan terbuka, seorang Dokter menghadap keluarga dari pasiennya itu. "Bagaimana dengan keadaan anak saya, Dok?"
"Mohon maaf sebelumnya, Pak. Kondisi pasien yang kekurangan banyak darah, membutuhkan donor darah secepat mungkin. Sayang sekali, stok rumah sakit sedang kosong. Bisakah keluarga mencarikan donor darah secepat mungkin?"
Wajah Aksa berubah tak terbaca, pria itu menatap Kama. "Kama, telepon Arga sekarang!"
"Uncle Arga?"
"Ya, sekarang Kama!"
Kama mengangguk, laki-laki itu langsung menghubungi Arga. Di seberang sana, Arga yang tengah duduk bersampingan dengan seorang wanita tampak diam. Raut wajahnya tetap datar, tapi tak membuat wanita itu mundur sama sekali. Si wanita malah tersenyum manis.
"Arga, kita akan menikah, bisakah tersenyum untukku?"
"Diam, Raya. Sadar diri," Pak Arga berdiri dari duduknya saat ponselnya berdering. "Ada apa, Kama?"
"Uncle, tolong ke rumah sakit sekarang, Reen butuh donor darah."
Wajahnya yang datar langsung menggelap, pria bertubuh gagah itu mematikan sepihak lalu menghubungi seseorang. "Cari pelaku yang membuat little princess ku terluka, dalam waktu satu jam, masukkan si bajingan itu ke sel!"
"Baik, Tuan."
Setelah itu, Arga bergegas pergi menuju rumah sakit dengan mengendarai mobilnya secepat kilat. Sesampainya di rumah sakit, Arga langsung di arahkan untuk melakukan serangkaian pemeriksaan. Beruntung ada Arga yang memiliki golongan darah sama dengan Kara, karena yang sama golongan darahnya dengan Kara hanya Arga dan Kate.
"Little princess, cepat sembuh, sayang." Arga mengecup lama kening keponakan tersayangnya, hatinya ikut sakit melihat Kara terbaring memejamkan mata seperti ini.
Bergantian menjenguk, kini sudah waktunya Bunda yang masuk. Wanita paruh baya itu duduk di kursi besi samping brankar Kara, "Nak, sayangnya Bunda, maafkan Bunda yang lalai menjagamu ya? Bunda memang tidak becus menjagamu, Bunda bukan Ibu yang baik untukmu."
Tanpa di duga, kelopak mata itu terbuka, Kara menatap wajah Bundanya yang menelungkup di antara satu tangannya. Kara bisa merasakan, tangannya basah karena air mata Bunda. "Ratu, maafkan aku, aku gagal menjaga putrimu yang kau perjuangkan bahkan rela mengorbankan nyawamu. Maafkan aku, Ratu."
Mata Kara terasa memanas, gadis itu siap menangis tapi di tahannya sekuat mungkin. "Memang sudah sepatutnya Princessmu ini tinggal di Kerajaan, di sana, princess tidak akan terluka. Maafkan aku,"
"Bunda," Suara parau Kara membuat Bunda mendongak.
"Sayang!"
"Bunda adalah Bunda yang terbaik untuk Reen, terima kasih Bunda."
"Sayangnya Bunda," Marissa langsung memeluk putri sambungnya yang begitu dia sayangi.
***
Di kelab malam, pelaku utama dalam kecelakaan yang menimpa Kara tengah berpesta. Hanya dengan bikini seksi, mereka semua bersenang-senang atas rencana mereka yang berjalan lancar. "Jalang itu harus mati, cheers buat kemenangan kita!"
"Hahaha! Cheers!"
Cheyla dengan sempoyongan menghampiri seseorang yang menjadi partnernya dalam membalaskan dendam, "Thanks. Lo akan jadi sahabat terbaik gue!"
Seseorang itu hanya tersenyum simpul, masih ada rencana lanjutan untuk menghancurkan Kara dan dia masih membutuhkan Cheyla untuknya jadikan kambing hitam. Dengan senyum penuh arti, seseorang itu pergi meninggalkan kelab malam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Kembali ke rumah sakit, perdebatan sengit terjadi saat Kara memaksa ingin pulang sedangkan keluarganya menentang cepat. "Reen enggak apa-apa, kecelakaan gitu doang enggak akan bikin mati. Ayolah, Pah. Reen mau pulang, Reen muak ke tempat ini terus."
"Kalau tidak mau masuk rumah sakit, jaga kesehatannya, Reen! Papah gemas banget sama kamu, gampang luka malah enggak mau masuk rumah sakit!"
"Papa bayangkan, Reen belum sebulan di Indonesia tapi udah tiga kali masuk rumah sakit! Reen muak di rumah sakit,"
Raut wajah Aksa berubah, "Maafkan Papa. Kamu memang tidak seharusnya tinggal di Indonesia yang menjadi penyebab kamu terus masuk rumah sakit,"
Mata Kara terbelalak, "Enggak gitu, Pah, maksudnya. Reen cuma mau pulang, Reen enggak betah di sini."
"Siapa yang betah di rumah sakit, Reen? Bisa kali ini saja patuh pada Papa? Papa takut kamu semakin kesakitan kalau memaksa pulang!"
Kara akhirnya diam, gadis itu menghela napasnya kasar. Dia masih ingin bermain-main dengan pelaku yang membuatnya lagi-lagi masuk rumah sakit. Kara agaknya akan mengenal semua staf rumah sakit saking seringnya dia masuk ke sini. Tidak bisakah mereka, tidak membawanya ke rumah sakit saat terluka?
Kan bisa mengantarnya pulang saja, Kara benar-benar bosan di rumah sakit yang memuakkan. Kara masuk rumah sakit seperti sudah menjadi agenda rutin saja kalau begini, belum sebulan tapi sudah masuk rumah sakit 3 kali.
Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar, "Dek, maafkan Abang yang terlambat datang. Harusnya Abang bisa lebih cepat agar kamu tidak terluka,"
"Sudah takdir, biarkan saja, Bang."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Girl Mischief [The End]
Teen Fiction"Memohon atau mati," Caramel Clearesta merasa, hukuman terbaik adalah penyiksaan berakhir mati mengenaskan. Dirinya yang bagai bunglon, senantiasa bersikap tenang dan santai padahal memiliki ribuan trik mematikan. Di pacari seorang penguasa tidak m...