Kara pada akhirnya tidak pulang ke mansion keluarganya, gadis itu menghabiskan sepanjang hari di kantor dengan bertumpuk-tumpuk berkas untuk mengalihkan sejenak emosi dalam dirinya. Kara benar-benar benci akan sebuah aturan dan larangan. Kara ingin, mereka cukup melihat.
Jangan melarang atau memberi aturan pada Kara, biarkan saja. Kalau Kara jatuh, tidak perlu menghakimi karena itu salah satu caranya agar bisa semakin bangkit lagi. Kara mengacak rambutnya frustasi, gadis itu menatap layar ponselnya yang menyala, ada panggilan dari Lidya selaku orang kepercayaannya.
"Ya,"
"Dek, Kakak dapat kabar kalau Alle tidak mau makan, sudah sejak kemarin siang Alle menolak makan juga minum susu."
Kara memijat pelipisnya, masalah pertengkaran dirinya dengan Kama saja belum selesai, ini ada lagi masalah baru. "Ya, Reen ke sana."
Tanpa membuang waktu lagi, Kara meraih tas selempangnya, dia pun mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi menuju salah satu bangunan yang selama ini mendapatkan suntikan dana dari dirinya secara rutin tiap bulan. Kara memarkirkan kilat mobilnya, turun dan berlari ke dalam bangunan 3 lantai itu.
"Permisi,"
"Astaga, Nona, akhirnya Anda datang."
Kara tersenyum sekilas, pandangannya langsung teralihkan pada tubuh kurus seorang gadis kecil yang tengah meringkuk memeluk kedua lututnya sendiri di pojok ruangan. "Allegra, Kakak di sini."
Gadis kecil itu mendongakkan kepala, menatap Kara dengan mata berkaca-kaca lalu menerjangnya dengan pelukan erat. "Kakak! Alle takut, Alle tidak mau di sini! Alle tidak mau di sini!"
Kara menghela napasnya berat, gadis itu menggendong Alle si gadis kecil berusia 3 tahun. "Ibu, saya akan membawa Alle ikut serta, mungkin beberapa hari dan akan saya kembalikan ke sini secepatnya."
"Baik, Nona. Mohon maafkan kami jika Alle merepotkan Anda,"
"Tidak masalah, saya pamit."
Kara pergi yang tadinya sendiri sekarang membawa Alle, gadis kecil itu sangat lengket padanya. Biasanya, mereka hanya akan saling bertukar kabar melalui panggilan video tapi sekarang, mumpung Kara lagi ada di Indonesia, dia pun langsung saja mendatangi panti asuhan tempat Alle tinggal.
"Alle kenapa tidak mau makan?" Kara menyetir mobilnya menuju restoran terdekat.
"Alle benci mereka Kakak, mereka selalu menyakiti Alle," gadis kecil itu mengadu dengan wajah menyedihkan. "Apa salah kalau Alle tidak tahu di mana Ibu Alle? Mereka juga kan sama seperti Alle, tapi kenapa mereka terus menghakimi Alle?"
"Mereka hanya iri padamu, tidak perlu sampai mogok makan seperti itu."
"Bukan mogok makan, Kak. Alle tidak makan karena mereka selalu meludahi makanan Alle, Alle jijik untuk memakan makanan itu."
Sontak, tangan Kara yang memegang kendali stir langsung terkepal erat. Rahangnya mengetat, "Lalu? Apa lagi yang mereka lakukan padamu?"
"Mereka suka menendang Alle, mereka suka memukul Alle, tapi mereka akan berbuat baik pada Alle kalau Kakak telepon atau datang seperti ini."
"Astaga, kenapa kamu tidak pernah bilang pada Kakak?"
"Alle takut membuat Kakak khawatir,"
Kara menghela napasnya untuk yang kesekian, "Sekarang kamu maunya bagaimana?"
"Alle tidak mau kembali ke panti asuhan, Alle takut Kakak."
Otak jeniusnya berpikir keras, jika Alle tidak lagi mau di masukkan ke panti asuhan, lantas kemana gadis kecil itu akan Kara antarkan? Kara masih enggan merawat anak kecil, merawat diri sendiri saja dia tidak becus. "Kakak akan pindahkan kamu ke panti asuhan lain,"
"Apa tidak bisa Alle ikut Kakak saja?" Cicitnya sembari menunduk takut.
"Ikut Kakak? Jelas tidak bisa, Alle."
"Baiklah,"
Melihat gadis kecil itu yang sangat lesu, Kara mendengus. Dia benci rasa simpati seperti ini, "Ya sudah boleh. Kamu akan Kakak belikan rumah, nanti ada pengasuh yang merawatmu, patuh pada pengasuhmu nanti dan Kakak tidak bisa dua puluh empat jam bersamamu. Kakak harus kerja juga sekolah, kamu mengerti?"
"Mengerti, Kak!"
***
Malam Minggu begini, Rayan sudah pasti sudah stand by di salah satu kelab malam. Bersama beberapa wanita yang menjadi pacarnya, Rayan tersenyum lebar. Dia suka suasana bebas seperti ini, "Aku butuh kehangatan."
"Aku siap melayanimu, sayang."
"Denganku saja, aku siap mengangkang untukmu."
"Denganku saja, milikku sangat sempit untukmu, kamu akan puas."
Rayan terkekeh, laki-laki itu menarik tangan seorang wanita yang entah menjadi kekasih ke berapanya. "Kamu, temani aku malam ini, bitch."
Wanita berpakaian tapi telanjang itu tersenyum lebar, dia dengan semangat mengangguk, membiarkan Rayan membawanya ke dalam salah satu kamar. Rayan menyeringai, laki-laki itu menyetubuhi kekasihnya dengan sangat kasar. Rayan tidak peduli pada apa pun selain kepuasan untuk dirinya sendiri.
Wanita itu hanya pasrah di bawah kendali Rayan yang hyper seks, Rayan memang selalu main kasar tapi tidak ada seorang pun yang kapok bersetubuh dengannya. Setelah puas berkali-kali mendapatkan pelepasan, Rayan memakai pakaiannya kembali. Laki-laki itu duduk di sofa sembari menikmati seputuny rokok, dia mengabaikan wanita tadi yang tengah meringis merasakan sakit di area selangkangannya.
Ceklek.
Rayan mau pun si wanita menoleh ke arah pintu yang terbuka, wanita yang tadi bersetubuh dengan Rayan langsung turun dari ranjang, memakai pakaiannya kembali tanpa rasa malu. Sedangkan wanita berperut buncit yang baru datang, menghampiri Rayan. "Aku sebentar lagi melahirkan, aku butuh tanggung jawabmu, Ray!"
Rayan mendengus dingin, "Bacot! Gue bilang dari awal itu gugurin ya gugurin! Ngapain segala mempertahankan anak sampah itu sih?"
Hatinya berdenyut nyeri mendengar hinaan Rayan untuk anak di kandungannya, "Ini anak kamu Rayan! Setidaknya, akui dia!"
"Najis! Pelacur kayak lo enggak pantes mengandung anak gue!"
"Tapi dia emang anak kamu!! Kamu jahat banget, Ray."
"Lo baru tau, bitch?" Rayan membuang puntung rokoknya, menarik tangan si wanita berperut buncit dengan kasar. "Gugurin! Gue enggak sudi anak sampah itu lahir ke dunia!"
"Enggak! Kamu kejam, Ray!"
Wanita berperut buncit itu pergi tergesa-gesa, meninggalkan Rayan yang meludah ke sembarang arah. Laki-laki itu menatap dingin wanita yang tadi bersamanya, "Gugurin kalau lo hamil!"
"I-iya,"
Rayan pulang ke rumahnya dengan suasana hati kacau, semakin kacau saat melihat Ibunya baru keluar dari kamar dengan seorang pria muda. Ibunya yang hanya mengenakan gaun tidur tipis, membuat Rayan mengepalkan kedua tangannya erat. Rayan hanya diam di ambang pintu, membiarkan pria muda itu pergi setelah berciuman cukup lama dengan Ibunya.
"Rayan putraku,"
Rayan menatap dingin sang Ibu, "Menyingkir, bitch!"
"Aih anak Ibu, kenapa mudah sekali marah kamu, Nak? Mau Ibu temani tidur?"
Ibunya itu tersenyum culas, membuat kepalan tangan Rayan kian menguat. "Menyingkir dari hadapanku, bitch!"
"Ayolah anakku, masa kamu menolak pesona Ibumu ini?"
Tanpa tahu malu, sang Ibu melepas seluruh pakaiannya. Membuat Rayan berbalik badan dan membanting pintu, di saat itu juga tawa Ibunya terdengar menggelegar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Girl Mischief [The End]
Teen Fiction"Memohon atau mati," Caramel Clearesta merasa, hukuman terbaik adalah penyiksaan berakhir mati mengenaskan. Dirinya yang bagai bunglon, senantiasa bersikap tenang dan santai padahal memiliki ribuan trik mematikan. Di pacari seorang penguasa tidak m...