Arga menghentikan anak buahnya yang mencari jejak dalang dalam kecelakaan yang Kara alami, tentu atas permintaan gadis itu sendiri. Saat ini, Kara tengah menopang dagunya, menatap Kama dan teman-temannya yang sedang bermain basket, di kiri kanannya ada Vela juga Sera sedangkan di belakang ada Asya dan Maurin.
Semenjak kecelakaan yang menimpanya 2 bulan lalu, Kara yang seakan melupakan, padahal sedang membiarkan pelaku untuk berbahagia lebih dulu sebelum nanti dia akan datang sebagai penghancur. Kara tidak sabar melihat dan mendengar permohonan dari orang-orang yang telah berani bermain-main dengannya.
"Dek! Sini,"
Kara tersenyum kecil, gadis itu menghampiri Kama dan ikut bergabung main basket dengan teman-temannya Abangnya. Vela hanya tersenyum lebar sembari menyemangati sedangkan Sera sibuk bermain ponsel, Maurin yang memerhatikan intens Kara, dan Asya yang bergumam. "Semuanya palsu,"
"Lo ngomong sesuatu, Sya?" Tanya Maurin, membuat Asya lekas menggeleng.
"Ketika kalian tahu ada bagian dari kita yang sangat berpengaruh, apa kalian masih berani mengganggunya?" Vela langsung menoleh ke belakang dengan raut wajah tak terbaca.
"Maksud lo apa, sya?" Tanya Sera sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku seragam.
Asya menggeleng lagi, "Enggak. Cuma takut ada penyesalan aja,"
"Siapa yang akan nyesel? Aneh lo,"
Asya mengangkat bahunya tak acuh, gadis itu berdiri dari duduknya lalu pergi meninggalkan Vela, Sera, dan Maurin yang turut mengabaikan kepergiannya. Tujuan Asya ke taman belakang, gadis itu menatap lurus ke depan. Pikirannya berkecamuk, dirinya yang banyak diam padahal menanggung banyak beban pikiran sendiri.
"Gue enggak mau persahabatan kita hancur," matanya mulai berkaca-kaca.
Ada rahasia yang selama ini Asya tutupi sendiri, bukan tidak berani mengungkap, Asya hanya takut membuat hubungan bersahabatnya hancur lebur. "Lo kenapa gegabah banget sih? Cuma karena cinta, lo berani menghancurkan kehidupan sahabat kita sendiri?"
"Cinta yang lo bilang cuma adalah cinta paling berkesan untuk gue sepanjang gue bernapas," Seseorang tiba-tiba datang dan mengejutkan Asya dengan ucapannya yang terdengar sarkas.
Asya berbalik badan, "Tapi enggak gini caranya, bodoh! Lo hanya obsesi bukan benar-benar cinta!"
"Lo enggak tahu apa-apa, Sya, mending diam di balik layar!"
Seseorang itu berbalik badan dan pergi meninggalkan Asya yang mengacak rambutnya frustasi, "Lo enggak tahu siapa Kara yang sebenarnya. Lo yang akan hancur, please sadar sebelum terlambat." Lirihnya dengan sorot sendu.
Ting.
Kara: gue di aula, ke sini sekarang
***
"Ada apa, Kar?"
"Bisa bersikap biasa aja?"
Deg.
Asya menatap Kara, "Maksud lo?"
"Anggap lo enggak pernah tau apa pun, Sya. Jangan buat gue bertindak dan mengirim lo ke markas,"
Asya langsung menunduk, "Sorry, Reen. Gue hanya enggak mau persahabatan kita hancur,"
"Enggak perlu lo takuti, Sya, dia sendiri yang mau menghancurkan hubungan baiknya sama gue. Biarin dia bertindak sesuka hati dan akan ada masanya, dia bersujud di kaki gue!"
Ini yang Asya khawatirkan, Asya kasihan pada seseorang yang menjadi bagian dalam persahabatannya tapi seseorang itu dengan tega mengkhianati Kara bahkan merencanakan pembunuhan. "Gue kasihan sama dia, Reen."
"Lebih kasihan dia atau diri lo sendiri yang akan gue cincang kalau berani berkhianat?"
Asya diam, "Maaf."
"Pergi, bersikap seperti biasanya jangan sampai banyak orang yang curiga."
Asya mengangguk pelan, gadis itu pun pergi meninggalkan Kara yang tersenyum lebar. "Seorang Reen mencium bau-bau darah, hehe."
***
"Hum, wangi sekali."
Kara tetap tersenyum lebar, gadis itu mengeluarkan pisau cutter dari saku Hoodienya. Mulai membelah bagian perut seekor kelinci yang tadi mendekatinya, "Kamu lucu kalau penuh darah gini."
Kara tertawa riang, tangannya dengan lincah menyayat, mengambil organ dalam kelinci. Basicnya yang memang seorang Dokter, membuat Kara dengan mudah menguasai pisau tajam di tangannya. "Nanti, kalau sahabat aku itu semakin keterlaluan, dia akan begini juga loh."
Kara mencium aroma anyir di tangannya, "Udah, aku pulang dulu ya. Bye, kelinci!"
Kara melenggang pergi, meninggalkan tubuh mengerikan seekor kelinci yang sudah tak bernyawa. Tiba di apartemennya, Kara langsung mandi, membersihkan noda darah di sekujur tubuh. Setelah itu, dia duduk di meja kerja dan mulai larut dalam segudang pekerjaan.
Di sisi lain, tepatnya di Milan, Italia. Dave dengan rokok di sela antara bibirnya tampak sangat memesona dengan bercak darah di sekujur pakaian, tubuhnya yang gagah menjulang tinggi, tampak sangat menguji adrenalin setiap perempuan yang ingin membawa Dave menjadi penghangat di ranjang mereka.
Dave yang maskulin, tampan, dan kaya tentu saja sangat idaman untuk kebanyakan perempuan. Rahangnya yang tegas tanpa bulu, bibirnya yang proposional berwarna merah alami, alisnya sangat tebal seperti ulat bulu, bulu matanya lentik, apalagi bola matanya yang sangat tajam seperti sebilah pedang.
Sudah lebih dari 2 bulan, Dave menonaktifkan segala jenis sosial media dan termasuk ponselnya yang entah di mana. Dave adalah sosok penguasa, entah penguasa dunia bawah atau pun dunia atas. Sosoknya yang dingin dan terkenal bengis, sudah bukan hal asing untuk kalangan mereka yang suka berbuat onar dan mencari masalah.
Kecintaannya pada dunia gelap, membuat Dave mendapat gelar sebagai Lord darkness di dunia bawah yang di pimpinnya. Wajahnya yang terpahat sempurna, membuat Dave bisa dengan mudah menggaet perempuan cantik dari yang kalangan keluarga kaya, model, bahkan keluarga kerajaan sekali pun.
"Signore, Sir Damian datang dengan anak buahnya."
Dave mengisyaratkan melalui tatapan agar tamu mendadaknya itu masuk saja, "Selamat malam, Signore yang terhormat."
Matanya yang tajam hanya melirik sekilas tanpa minat, "Signore, lihat siapa yang aku bawa khusus untukmu malam ini?"
Lekuk indah tubuh seorang wanita yang sangat menggugah selera para pria, kecuali untuk Dave yang kepalanya hanya di penuhi dengan nama sang kekasih yang sudah 2 bulan lebih dia abaikan. "Tidak minat, silakan keluar."
"Signore, ayolah. Dia akan memanjakan mu malam ini, dia sangat menggairahkan ketika mengangkang di atas ranjang."
"Pintu keluar masih berposisi sama,"
"Signore,"
"KELUAR!"
Tubuh pria itu bergetar ketakutan, bergegas dia pergi sembari menarik tangan wanita bayaran yang awalnya akan dia gunakan untuk meluluhkan Dave si keras kepala. Dirinya sungguh membutuhkan tanda tangan Dave dalam kontrak kerja sama perihal bisnis jual beli organ tubuh manusia. Hanya bisnis pimpinan Dave yang selalu lolos dari keamanan tiap negara.
Dave frustasi, dia harus menahan rindu pada kekasihnya karena pekerjaannya yang berbahaya. Dunia bawah itu semuanya licik, jika ponselnya aktif meski semenit, mereka akan berhasil menemukan kelemahannya, yaitu kekasihnya sendiri. Maka terpaksa, jika tengah di dunia bawah, Dave menjauhkan jangkauan dirinya dari hal-hal yang dapat memicu masalah baru.
"Aku akan pulang ke negaraku,"
"Baik, Signore."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Girl Mischief [The End]
Teen Fiction"Memohon atau mati," Caramel Clearesta merasa, hukuman terbaik adalah penyiksaan berakhir mati mengenaskan. Dirinya yang bagai bunglon, senantiasa bersikap tenang dan santai padahal memiliki ribuan trik mematikan. Di pacari seorang penguasa tidak m...