Makam mendiang istrinya belum kering, tapi Alex sudah menikahi Vela sebagai bentuk pertanggungjawabannya juga agar bayinya yang baru lahir bisa memiliki sosok Ibu. Vela yang merasa bersalah, menyayangi anak-anak Alex dengan sepenuh hati. Dia sudah tidak bisa memiliki anak, maka wajar kalau Vela memusatkan seluruh perhatiannya untuk anak-anak Alex.
Setelah konsultasi pada Dokter, Vela akhirnya bisa mengeluarkan ASI dari payudaranya yang dia beri ekslusif untuk anak bungsu Alex, Aleia. Malam ini, setelah menyusui anak sambungnya, Vela pun pergi ke kamar mandi, berganti pakaian dengan lingerie karena Alex lebih suka jika dirinya mengenakan pakaian dinas saat hendak tidur.
Kebetulan Alex tengah berkutat dengan laptopnya, pria itu mendongak menatap wajah cantik sang istri. Alex memutuskan untuk pindah rumah, dia, Vela, dan anak-anaknya sekarang menempati rumah baru. Bagi Alex, rumahnya bersama Karin biarkan menjadi kenangan masa lalu saja. Jangan di ungkit karena rasanya akan sangat menyakitkan.
"Sini, sayang." Alex menepuk pahanya, Vela pun duduk di pangkuan Alex. Wanita berusia 21 tahun itu menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami, suami yang dia dapatkan dari hasil merebut sebelumnya.
Perbedaan usianya yang jauh membuat Alex tampak sangat sabar menghadapi Vela yang terkadang kekanak-kanakan, "Aleia sudah tidur?"
"Sudah," Vela menghirup aroma tubuh suaminya yang sangat candu untuknya.
Wanita itu mendongak, membiarkan Alex mencium bibirnya. Malam pertama setelah menikah pun terlaksana, Alex menepis jauh-jauh perasaannya pada Karin karena sekarang, sudah ada Vela yang dia cintai dan harus bahagiakan. Meski tak akan pernah bisa memiliki anak dengan Vela, Alex tidak masalah, dia sudah cukup dengan keempat anaknya bersama Karin.
Sementara itu, Kara menatap nanar testpack kesekian yang dia coba selama 2 tahun terakhir ini. Setiap kali telat datang bulan, Kara akan langsung tes tapi hasilnya masih negatif. Keguguran 2 tahun silam, membuat Kara kesulitan mengandung kembali. Mungkin karena usianya juga yang masih muda, membuat dia belum di beri kesempatan punya anak lagi.
Di luar kamar mandi, Dave menunggu wanitanya dengan khawatir. Sudah 30 menit Kara belum juga keluar, karena tak tahan dengan rasa panik, Dave pun membuka pintu yang ternyata tidak di kunci. Pandangan pria itu terarah pada testpack di tangan istrinya, sekarang dia tahu alasan Kara lama di kamar mandi.
"It's okay, sayang. Mungkin kita memang masih harus pacaran dulu sembari semakin rajin membuat, nanti juga akan ada kok anak kita di sini," Dave mengusap perut rata wanitanya dengan lembut.
Kara mengangguk, "Aku mau cuci muka dulu sebentar."
"Oke, aku tunggu di depan."
Keduanya saling berhadapan setelah sama-sama berbaring di atas ranjang, Kara tersenyum, begitu pula dengan Dave. "Mau honey moon?"
"Honey moon?"
"Iya, kamu mau kemana, sayang?"
Kara tampak berpikir, istri Dave itu akhirnya menyebutkan sebuah desa terpencil di salah satu negara luar. Dave cukup kaget, aneh karena istrinya malah minta honey moon di sebuah pedesaan. "Kamu yakin, sayang?"
"Yakin, sudah waktunya untuk kita menikmati suasana asri dan jauh sebentar dari kebisingan Ibu kota."
***
Kepiawaian Dave dalam mengendalikan jet pribadi membuatnya memutuskan untuk mengendarainya sendiri di temani sang istri yang begitu setia mendampinginya. Sekian jam berlalu, tempat tujuan mereka telah terlihat oleh mata telanjang. Dave menghentikan jet yang di kendarai ya tepat pada lapangan khusus yang sudah anak buahnya siapkan.
Anak-anak desa yang melihat jet terparkir, berbondong-bondong menghampiri. Mereka tampak antusias, membuat Kara mengukir sebuah senyuman yang sangat manis sekali. Dave sampai terpana meski sudah berkali-kali melihat senyum indah istrinya sekali pun. "Ini alasanmu memilih tempat ini, sayang?"
Kara mengangguk, "Benar. Aku suka melihat mereka semua yang selalu antusias dan ceria terhadap apa pun, aku menyukai mereka semua, Dave." Penuh sayang, Dave menarik Kara ke dalam dekapannya, mengecup lama puncak kepala istrinya. "Kelak, kita akan memiliki yang seperti mereka lucunya, cerianya, dan juga periangnya. Sabar ya, sayang? Kita akan terus berusaha," Kara mengangguk sembari tersenyum kecil.
Mereka melihat bangunan sederhana yang Kara pilih sendiri, tidak ada lantai dua, hanya terdiri dari satu lantai dan 1 kamar di dalamnya. Kara ingin menghabiskan waktu spesialnya dengan Dave yang memang berkesan untuk keduanya. "Ini pilihan yang indah, sayang." Kara setuju, dirinya tidak salah dalam memilih sebuah tempat tinggal selama mereka bulan madu.
Malam hari, mereka habiskan dengan menonton film di kamar. Duduk dengan Kara yang berada di depan suaminya, menyandarkan kepala dengan kedua tangan Dave melingkari perutnya. "Ketenangan seperti ini yang sulit kita dapatkan saat di kota, iyakan, Dave?"
"Benar, sayang." Dave menciumi puncak kepala istrinya, Dave sangat mencintai istrinya ini. "Aku ada urusan sebentar sama kepala desa, aku tinggal enggak apa-apa?"
"Enggak apa-apa dong, kamu hati-hati ya, pulangnya jangan terlalu malam."
Dave pamit pergi menemui kepala desa, selepas kepergian Dave. Kara menatap jendela, dia mendadak lapar, malam begini enaknya makan mie instan. Dia pun mencepol rambutnya secara asal, berjalan menuju dapur dan mengambil mie instan di dalam lemari penyimpanan. Sambil menunggu masakannya selesai, Kara meracik minuman yang akan menemani makan malamnya.
Di saat sibuk meracik minuman, sebuah tangan tiba-tiba melingkari perutnya. "Dave? Katanya mau ke rumah kepala desa?"
"Di luar hujan, sayang."
Kepalanya menoleh ke arah jendela, "Oh iya. Kok aku bisa sampe enggak dengar ya," Dave terkekeh gemas, pria itu mengecup pipi istrinya yang mulai berdaging. "Gemas banget sih istri aku?"
Saking gemasnya, Dave sampai ingin mengurung Kara di dalam kamar dan tidak akan mengizinkannya keluar apalagi di lihat orang-orang. Dave tidak akan rela, "Masak apa, sayang?"
"Aku lapar, jadi masak mie instans dan minum ini."
"Aku mau,"
Pasangan suami istri itu makan berdua dalam satu mangkuk dengan mesra dan romantis, keduanya saling mencintai, mengisi kekurangan dan memperbanyak kelebihan masing-masing. "Setelah ini, aku mau menagih sesuatu."
Tidak biasanya pipi Kara merona, wanita itu menggigit pipi dalamnya salah tingkah. "Kita masih memiliki banyak waktu di sini, Dave. Apa harus malam ini juga?"
"Mumpung di luar hujan, sayang."
Tanpa menunggu istrinya protes, Dave menggendongnya setelah selesai makan. Di ciumnya bibir Kara sembari berjalan menuju kamar dan membaringkan Kara dengan lembut ke atas ranjang yang empuk. Sorot matanya yang penuh cinta seakan menghipnotis sepasang mata indah Kara, wanita itu mengalungkan kedua tangannya di leher Dave, tersenyum dengan sangat manis.
"Sayang, aku tidak pernah bosan mencintaimu."
Kara tersenyum lebar, "Aku juga selalu mencintaimu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Girl Mischief [The End]
Novela Juvenil"Memohon atau mati," Caramel Clearesta merasa, hukuman terbaik adalah penyiksaan berakhir mati mengenaskan. Dirinya yang bagai bunglon, senantiasa bersikap tenang dan santai padahal memiliki ribuan trik mematikan. Di pacari seorang penguasa tidak m...