Tidak ada hambatan

18.2K 395 2
                                    

Pija tidak tahu kalo respon Ara di luar ekspetasi. Pelukan Ara yang tiba -tiba dan juga tangis Ara terdengar bergetar saat memeluknya. "Makasih Ja."

"Tapi, ini kemungkinan besar gue makan hati ngga sih."

Ara melepaskan pelukan itu. "Maksud lo?"

"Kan kita semua tahu. Kalo Abang kemungkinan ngga normal. Lalu bisa saja pernikahan gue paling lama 1 tahun dan paling cepat 3 bulan." Pija menceritakan keresahan yang di rasanya. "Walau gue ngga mau nikah tapi, tetap saja aku berharap ngga jadi janda."

Ara meresapin sedikit demi sedikit ke khawatir yang Pija takutkan. Menyesali apa yang Ara pernah bilang pada Pija bahwa 'Abang Al kemungkinan belok.' Dan itu bukan 1 atau 2 kali Ara ceritakan. Waktu itu Ara benar-benar takut jika Abangnya ternyata belok apalagi selama ini Abang Al tidak pernah menunjukan ke tertarikan sedikit pun kepada perempuan. Ini baru kertertarikan jangan harap kalo Abang Al pernah bahwa perempuan ke rumahnya. Entah teman dekat atau pacar Ara ngga pernah dapat itu.

Jadi apa yang dilakukan Ara selanjutnya tidak mungkin mengelak atau beralasan. Karena Pija tahu semua apapun tentangnya dan keluarganya lantaran Ara sediri yang cerita.

"Kalo gue janda lo masih mau jadi teman gue?" Kalimat tanya Pija membuat Ara menghentikan pikirannya yang kemana-mana. "Ra," panggil Pija lagi karena Ara hanya diam menatap wajahnya.

"Lo ko bilang gitu." Decak Ara. "Lo tetap jadi saudara gue sampai kapan pun. Titik." Ara kembali mendaratkan pelukan itu ke Pija. "Tolong buat Abang jatuh cinta ke lo dan tolong buat lo tetap di sisinya Abang sampai kapan pun itu."

Permintaan Ara membuat Pija hanya diam. Setelah Bunda bisa di bahwa pulang Ara mengajaknya pulang ke rumahnya. Tapi, Pija berkeras ingin ke kosnya. Salah satunya yah ini berpikir apakah keputusannya sudah benar atau bagaimana.

Ayam ibu kos sudah mengeluarkan suara nyaringnya. Pija mencari ponselnya dan benar saja ini sudah pagi. Jam menunjukan pukul 6 pagi, selama semalaman Pija belum juga menutup matanya. Karena menemani Ara, Pija juga kerumah sakit temui Bunda dan terakhir pulang ke kos dengan memikirkan ke putusan yang di buatnya. Sehingga matanya masih terbuka.

Pija tidak pernah khawatir masalah keluarganya. Maksudnya restu ibu dan bapaknya. Karena Pija anak yatim piatu sejak memasukin sekolah menengah pertama. Ibu dan Bapaknya meninggal dalam tragedi kecelakan yang menewaskan. Lalu bagaimana saudara Pija. Pija tidak memiliki saudara karena dirinya anak tunggal. Sedangkan keluar Bapaknya dan Ibunya tidak ingin menampuknya. Sehingga dari SMP Pija sudah mengadalkan dirinya sendiri.

Jadi tidak ada hambatan sama sekalih. Kecuali perasaannya dan perasaan Abang Al.

Pija takut kalo Abang Al. Tidak menerimanya, mengingat Abang Al yang sedikit cuek. Jika Pija berada dirumahnya, tidak mengajaknya bicara dan mengabaikan kehadirannya.

Kepalanya sudah mulai sakit. Kemungkinan belum tidur atau pusing memikirkan Abang Al. Ponselnya yang ada disampingnya berbunyi.

"Hm." Saat Ara menanyakan keadaannya Pija cuman berdehem. "Gue ngga bisa tidur." Keluh Pija.

"Lo di cari Bunda. Lo mau gue jemput atau kesini sendiri ke rumah." Ucap Ara di sebrang.

Pija merasakan kepalanya kiang berat. Maka, Pija menjawab dirinya kesana sendiri tapi tidur sebentar karena kepalanya sakit. Ara juga menawarkan membawa obat dan sarapan tapi Pija menolak dan mempertegas bahwa kali ini. Tidur yang di perlukan.

Matanya mulai memberat, lama kelamaan matanya sudah tertutup dengan rapat. Namun, rasanya baru tidur sebentar suara ketukan di pintunya terdengar. Awalnya Pija tidak peduli tapi, semakin lama ketukan itu semakin terdengar.

Memeluk bantal guling dan membiarkan guling itu menutup sedikit telinga nya. "Pija." Suara kali ini Pija tahu. Ini suara Ara, tapi bukan kah tadi dia menolak. "Pija."

Pija mencoba duduk, lalu mencoba mengumpulkan nyawannya. Hanya perlu beberapa langkah untuk pintu itu terbuka tapi tetap saja Pija perlu usaha besar untuk melawan kantuknya.

Ara memanggilnya dan ketukan pintu itu juga terdengar konsisten. Saat pintu di bukannya, Pija menyipitkan matanya dan benar saja Ara yang datang. "Lo tidur?" Pertanyaan Ara hanya di jawab anggukan oleh Pija lalu masuk dan kembali menengelamkan dirinya di tempat tidur tanpa pusing dengan keadaan Ara. "Bang." Teriakan Ara. Sedikit mengusik tidur Pija. "Sini masuk."

"Bang siapa, Ra?" Tanya Pija dengan mata masih tertutup. Keingin tahuannya membuatnya bertanya. "Lo punya pacar, Ra?" Ara yang belum menjawabnya membuat Pija kembali bertanya. Setahu Pija, Ara tidak punya pacar apalagi teman untuk sekarang. Sehingga cukup aneh apalgi mendengar kedua kalinya Ara memanggil. Tidak mungkin Abang yang ada di pikiran Pija. Itu tentu mustahil.

"Abang Al, Ja."

"Oh tunggu. Abang Al yang kakak kamu kan, Ra?" tanyanya dengan masih menutup mata. "Tanyain Abang memang ngga apa-apa kalo gue jadi penganti pengantin. Takutnya Bang Al ngga suka eh besoknya sudah nikah gue jadi janda yatin piatu, lagi." Ocehan Pija.

Ara hanya menringis mendengarnya. Melihat Pija yang tidur dalam keadaan tengkurap dan mengoceh membuatnya merasa kasian. Karena benar saja, Ara tidak memikirkan itu, bagaimana jika Abangnya menceraikan Pija. Sahabatnya yang yatim piatu. Sedangkan Abang Al yang masih berdiri tidak jauh dari Ara hanya mendengar bagaimana Pija berbicara. "Abang kan ngga suka gue dari dulu."

Al menghentikan adiknya yaitu Ara. Yang ingin membangunkan Pija, membiarkan Pija bicara terus-menerus. "Gimana caranya buat Abang jatuh cinta? Sedangkan kata lo Ra, Abang belok."

Ara sedikit kikuk di tempatnya. Karena kalimat Pija membuat Al menatapnya. "Abang keluar dulu. Ara mau bangunin Pija lalu ke butik coba baju pengantin." Ara memilih mendorong Al untuk keluar dari kamar Pija. Sedangkan Ara membersihkan kamar kos Pija lalu menyiapkan bubur yang di belinya di meja lipat.

"Lo, kaya mabok Ja. Tapi, mungkin karena lo kepikiran pernikahan besok. Maafin gue Ja." Ara tetap bicara walau Pija tidur dengan pules.

Meninggalkan Pija di kos dan menguncinya dari luar dan meletakan kunci pada selah bawah pintu agar, Pija bisa membuka pintu kosnya. Ara sudah paham betul bagaimana mereka tidak ingin di bangunkan. Maka, caranya yah cuman itu.

"Jalan Bang." Pinta Ara setelah duduk di bangku penumpang.

"Pija mana?" Al bertanya sambil mencari sahabat adiknya yang ternyata tidak ikut.

Ara memasang stealbellnya. "Ngga tega banguin. Kayanya Pija kecapean. Ara sama Abang saja ke butik." Hari ini mereka berdua ingin mencoba gaun penganti. Lebih khususnya mereka mengantar Pija untuk ke butik mencoba baju penganti dan membeli atau mempermak sedikit ukuran untuk di gunakan Pija. Tapi, melihat Pija seperti itu, Ara tidak tega.

"Terus kenapa ke butik?" Al heran karena orang yang mau di antar tidak ikut.

Ponsel yang di mainkan Ara disimpannya ke tas. "Karena Ara tahu. Ukuran Pija."

Al hanya ber oh. Dan 2 adik kakak itu, hanya diam tanpa bicara lagi sampai ke tujuan.

****

Sulbar, 26 September 2023

Sahabat ko gitu! 21+ (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang