Ayah Rey

16.5K 438 2
                                    

"Ra, lo tadi ke kos?" Jam sudah menunjukan pukul 3 sore. Pija baru bangun setelah mandi untuk menyegarkan diri. Pija langsung memutuskan menelpon Ara, sahabatnya dan sebentar lagi menjadi adik iparnya. Tanpa embel-embel Pija langsung bertanya.

"Iya." Jawab Ara.

Pija bangun dengan keadaan kos yang bersih dan ada makanan yang sudah siap di atas meja lipatnya. Walau hanya sebuah bubur dan obat sakit kepala. "Jam berapa tadi lo ke kos?"

Krasak-krusuk terdengar dari sebrang. "Sekitar jam 10. Lo baru bangun?"

"Iya, makanya gue baru telpon elo."
Sambil Pija menyuapin bubur ayam kedalam mulutnya. "Tadi lo ke kos, mau ngapain?"

"Bunda jangan angkat berat." Ara berteriak tidak suka ke Bundanya, terdengar jelas karena sambungan telpon masih tersambung. "Niatnya mau jemput elo. Untuk pergi coba baju pengantin. Tapi, lo tidur kaya kebo."

Pija tertawa tidak enak. "Sorry banget. Kan elo tahu seminggu ini gue sibuk revisi skripsian jadi waktu tidurnya ngga ada. Mana besoknya lo galau seharian jadi jangan salahkan kalo gue tidur kaya kebo."

"Mana nyalain orang lagi."cibir Ara. "Elo aja yang ke belet wisuda sendiri jadi gitu. Ngga bisa atur waktu tidur hehe." Sindir Ara.

"Jangan lupa gue kuliah pakai beasiswa yah. Kalo ngga cepat bisa mati gue." Jelas Pija. "Elo aja yang lelet. Mentang-mentang bayar kuliah sendiri jadi seenaknya." Balas Pija dengan cara menyindir.

"Eh bocah---" kalimat Ara tidak terdengar. Terganti oleh suara Bunda Ara. "Katanya mau kesini. Bunda tunggu dari tadu loh nak."

Pija sedikit kiku, sebelum menjawab. "Maaf bunda. Pija baru bangun."

"Iya Bunda tahu. Tadi Ara dan Bang Al bilang gitu." Bukan kalimat Bunda yang membuat Pija tegang di tempat, tapi nama Bang Al yang ikut serta disebut. Ingatkan Pija untuk bertanya ke Ara. Apakah Bang Al ikut ke kosnya atau tidak. "Sudah makan Nak?" Pertanyaan Bunda membuat Pija tidak lagi memikirkan Abang Al.

"Ini sementara makan Bun."

"Makan apa Nak?"

"Palingan Pija makan bubur Bun. Bubur yang tadi Ara bawah sama Bang Al ke kosnya. Bubur yang tadi pagi." Bukan Pija menjawab tapi, Ara dengan cara mengolok. Memang dasarnya Ara pengadu. Kompor meleduk yang suka ngadu. "Marahin Pija Bun, makanannya ngga sehat selamat ngekos." Pija ingin menjambak rambut sahabatnya. Yang seenak jidat menjatuhkannya di depan Bunda.

"Astaga nak. Nanti kalo tinggal sama Bunda. Bunda tidak mau dengar kalo Pija makan sembarangan. Awas saja Bunda akan 24 jam perhati makanan yang masuk di perut Pija." Ocehan Bunda adalah hal yang sangat di sukai Pija. Pija merindukan ini sejak lama. Beberapa kali memang Bunda menegurnya kalo Ara melapor salah-salah dan hal itu sebagai momen yang tidak pernah dilupakan Pija. Tinggal sebatang kara, jadi hal itu wajar jika Pija rindukan.

Percakapan itu berakhir dan ada kelegaan yang dirasa Pija, salah satunya di terima dengan tangan terbuka dan di jadikan menantu untuk anak pertama di keluarga itu. Walau dengan kata menolong tapi, tetap saja Pija merasa istimewa. Dari awal memang keluarga menerimanya dengan tangan terbuka tapi, kali ini posisinya berbeda bukan lagi sahabat dari anak kedua dan naik derajat jadi menantu anak pertama.

Pija juga di minta sama Bunda untuk menelpon paman dan bibinya yang ada di luar kota dan di kota sini. Ada yang mengangkat telponnya dan ada juga yang menolak telponnya. Kemungkinan di kira minta uang tapi, tetap saja Pija mengirimkan pesan memberitahu kalo besok dirinya akan menikah. Dadakan yah ini sangat dadakan bibinya yang memang begitu baik padanya. Bertanya ada apa? Tapi, Pija tidak mungkin berterus terang. Pija hanya memberitahu kalo pernikahannya di percepat.

Sahabat ko gitu! 21+ (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang