"Lo gila, yah Ra!!" Teriak Pija. Setelah mendengar permintaan gila sahabatnya. Semua orang yang ada di cafe tersebut menjatuhkan pandangan ke arah mejanya. "Maaf." Ucap Pija dengan rasa tidak enak. Kepada semua pengunjung Cafe. Saat dirinya sadar bahwa suaranya ternyata menganggu. "Ara." Renge Pija.
Ara sendiri hanya meringis di tempatnya. "Siapa lagi yang bisa bantu gue, Pija."
"Tapi, ini nikah Ara." Keluh Pija.
Ara menjatuhkan kepalanya di meja cafe. "Maaf." Ucap Ara. Membuat Pija merasa bersalah.
Pija mengusap lembut rambut Ara. "Bukannya gue tidak mau bantu. Tapi, lo tahukan. Ini nikah Ara. Pernikahan sekalih seumur hidup yang tidak ingin gue lakukan dan kalo pun gue nikah, gue ingin menikah dengan pria yang gue cintai dan mencintai gue." Ucap Pija dengan memberikan sebuah alasan yang menurutnya harus di dengar Ara.
"Lo mau Bang Al, tidak bahagia karena pernikahan ini?"Gelengan Ara lakukan dan terdengar suara isak tangis. "Maaf." Permintaan maaf yang kedua kali di dengar Pija.
"Lo tidak salah Ara. Aku yang minta maaf."
2 sahabat itu saling diam. Ara juga masih dengan mennyadarkan kepalanya di meja sedangkan pija menikmati coffenya dengan gusar dan tidak enak.
Memang setelah mengantarnya untuk tanda tangan proposal. Ara meminta tolong dan berakhirlah 2 sahabat itu di Cafe Kenangan. Tidak jauh dari kampus. Tapi, permohonan kali ini membuat Pija tidak habis pikir.Pernikahan?
Pija tidak pernah memikirkan pernikahan sebelumnya.
"Ra, jangan nangis lagi." Ucap Pija setelah lama berdiam. Pija tahu bahwa sahabatnya sedang dalam masalah besar dan Pija tidak ingin menambah masalah untuknya. "Aku juga sedih Ra. Lihat lo gini."
Ara kembali duduk. Dengan air mata dimana-mana. Satu kata yang tepat untuk Ara saat ini. Yaitu menyedihkan.
"Pija, gue bingung, gue kasian dengan Bunda, Ayah dan Abang." Ucap lirih Ara dengan masih air matanya terjatuh. "Undangan sudah di sebar. 2 hari lagi hari bahagia Abang. Tapi, semuanya hancur saat Kak Meli pergi dan membatalkan pernikahan."Ara kembali menangis dan membuat Pija hanya bisa memeluknya. Mengusap lembut belakangnya. "Apa memang keluarga gue harus menangung malu."
Sungguh Pija ingin menolong sahabatnya, menolong Ara.
"Apa kamu benar-benar tidak bisa bantu. Gue?"
"Bisa tapi, tidak dengan menikah." Jawab Pija dengan pelan.
Ara melepaskan pelukan itu. Menghapus air matanya yang ada di kedua pipi. "Terus lo bisa bantu, apa?"
Di tanya seperti itu, Pija sedikit kebingungan. Karena bagaimana juga dirinya hanya ingin menenangkan Ara, tapi berujung seperti ini. Pija mengaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Itukan, di tanya bisa bantu apa. Lo ngga jawab." Kesal Ara. "Solusinya cuma satu Pija yaitu mencari pengantin perempuan."
Pija membenarkan solusi yang di bilang Ara. Pernikahan yang batal dari 2 hari sebelum acara itu berlangsung. Solusinya hanya satu yaitu penganting perempuan baru yang tentunya jadi penganti. Dan jika tidak maka, harus siap-siap malu. Hal itu yang di takutkan Ara, menanggu malu dan harus bersiap mendengar cibiran orang lain.
"Yah elah lo bicara cuman nenangi gue." Rajuh Ara.
"Bukan gitu. Tapi, yah mau gimana lagi." Untuk kedua kalinya Pija mengaruk rambutnya yang tidak gatal. Sebenarnya dirinya bingung dengan apa yang di ucapkan kepada Ara, kaya ngga nyambung atau apalah. Pokoknya tidak enak di dengar, menurutnya. "Gue juga bingung Ra, yang jelas lo harus semangat."
"Rasanya mau mati deh gue."
"Istighfar Ra."
"Lo ngga tahu Ja, gimana frustasi gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat ko gitu! 21+ (Tamat)
Romance"Pija lo harus bantu gue. menikahlah dengan Bang Al." persahabatan dari sekolah menengah pertama sampai dia berdua duduk di bangku perguruan tinggi membuat tidak ada jarak yang hadir di antara mereka berdua. Saling tolong menolong tidak asing lagi N...