"Lo kayanya, pulang-pulang mati deh Ja."
Memang sial sih Ara, batin Pija. Bukannya di tenangin, sahabat laknatnya ini malah bikin takut. Mereka berdua lagi di jalan pulang dan jam masih menujukan pukul 5 sore setelah semua beres mengenai berkas-berkas yang di setor ke bagian staf jurusan lalu foto-foto bersama temannya dan juga kepada semua dosen penguji. "Ara diam!"
Di balik setir Ara tertawa melihat kepanikan istri Abangnya yang juga sahabatnya. "Di asikin aja."
"Lo mah enak."
"Siapa suruh nikah sama Abang yang posesif kaya gitu." Ejek Ara.
Dengan ketus Pija bicara. "Yah, elo setan!"
Bukannya tersingung di bilang setan. Ara malahan tambah tertawa. "Kalo gue setan. Abang apa donk?"
"Isst, Ara diam. Gue benar-benar pusing."
"Iya, iya maafin gue." Ara memilih minta maaf saat melirik dan melihat Pija hampir menangis, kedua matanya sudah berkaca-kaca. "Yah, ko nangis." Tanya Ara heran. Karena selama mereka bersahabat, Pija jarang sekalih nangis.
Hiks
"Hey, are you okey?" Satu tangan Ara yang tidak memegang setir mengusap tangan Pija. Lantaran Ara sangat khawatir saat melihat Pija mulai menangis. "Ja, gue salah yah. Gue minta maaf yah." Ara sudah berhenti saat mobilnya sudah masuk sempurna di pekarangan rumahnya. Melepas sabuk pengamannya lalu memiringkan badannya dan menyaksikan sahabatnya sedang tersedu-sedu menangis. Menariknya untuk masuk di pelukannya, Ara memilih untuk tidak bicara apapun karena tahu. Bahwa keadaan Pija untuk saat ini tidak bisa di tanya.
"Aba-ng past-i di-amin gue." Dengan susah payah. Pija berbicara dengan terputus-putus karena tangisnya mempengaruhi cara bicaranya. "Gu-e ngga su-ka."
Ara yang mendengar itu tertawa dalam hati. Karena Ara pikir sahabatnya kenapa-kenapa tapi, ternyata setelah mendengar alasan Pija menangis. Ara sangat lega luar biasa. Sebelumnya memang Pija bercerita bahwa semua percakapan di ruang ujian itu di dengar Bang Al apalagi soal pembahasan Pak Adi. Bang Al tidak banyak bicara di waktu Pija bicara dan setelah sambung telpon berakhir hanya ada ucapan selamat yang menurut Pija beda dari Bang Al seperti biasanya.
"Sudah yah nangisnya." Ara melepas pelukannya lalu mengusap kedua pipi Pija yang di basahi oleh air mata. "Lo udah cinta lagi sama Abang?"
"Ngga tahu." Jawab Pija acuh. Karena sebenarnya Pija tahu bawa untuk jatuh cinta dengan Abang Al tentu tidak sulit. Apalagi Abang Al merupakan first lovenya. Tapi, tetap saja Pija tidak tahu kalo dia cinta atau tidak untuk sekarang ini. Pija hanya merasa takut jika didiamin oleh Abang Al.
"Lo hamil?" Ara sungguh ingin tahu kenapa Pija seperti ini. Maka, semua faktor yang mempengaruhi mood Pija di tanyanya.
"Hamil apanya. Gue ngga pernah gituan sama Bang Al." Jawab Pija jujur.
Ara begitu kaget mendengarnya. "Abang gue, beneran belok Ja?" Ara tentu berpikir bahwa Abangnya memang belok karena bagaimana juga pernikahan Abangnya dan Pija sudah hampir 1 bulan tapi, mereka belum melakukan hubungan suami istri.
Pija mengeleng. Sebelum menjawab jendelanya di ketuk dari luar. Mereka berdua saling berpandangan sebelum akhirnya Pija membuka pintunya. Karena Bang Al mengetok jendelanya. "Kalian ngapain lama banget di dalam?" Tanyanya Bang Al, sebelum melihat kantung mata Pija sedikit bengkak. "Loh ko mata kamu bengkak, yang?" Dengan cepat Al mengusap kantung mata Pija yang bengkak.
Sedangkan Ara keluar mobil di hadang. "Ra, istri Abang kamu apain?"
Ara yang berhenti melangkah. Melihat Abangnya begitu panik melihat Pija dengan kondisi seperti itu. "Bukan Ara, tapi Abang. Pija takut kalo didiemin gara-gara gosip tadi."
Al yang tadi fokus ke Ara kini mengembalikan fokusnya ke Pija. "Kamu nangis gara-gara Abang?"
Pija mengangguk dan membenamkan wajahnya pada dada Al. "Jangan di galaki Bang." Ucap Ara menasehati lalu berlalu masuk ke dalam ruamh meninggalkan pasangan suami istri itu yang saling pelukan.
"Loh tambah nangis," Saat Al memeluknya dan Pija melingkarkan tangannya di leher Al dengann nyaman,
Lalu yang tadinya dia sudah berhenti kini kembali menangis. "Sayang." Tegur Bang Al dengan lembut agar tangisnya Pija berhenti.
Pija tidak tahu kenapa dirinya tidak bisa berhenti menangis. Bang Al sudah menenangkan tapi, tetap saja Pija menangis. Entah sudah berapa lama mereka dalam posisi seperti ini. Membiarkan Pija menangis dan melepaskan semuanya, setelah itu Pija berhenti. Al mencium semua bagian wajah Pija di mulai kening, kedua mata lalu bibir Pija yang masih bergetar. "Jangan nangis lagi yah. Abang Minta maaf." Ucap Bang Al dengan lembut setelah menyatuhkan keningnya dengan kening Pija. Mengusap bekas air mata di kedua pipi Pija. "Abang minta maaf, Abang janji ngga diam lagi kalo marah. Jadi sudah yah nangisnya." Abang Al berjanji dan Pija menangguk.
"Yah, udah masuk yuk." Ajak Bang Al dengan lembut kepada Pija.
"Tunggu dulu. Barangnya masih banyak di mobil." Barang yang di maksud yaitu, skripsinya, hadiah bunga, boneka dan lain-lain.
"Ngga usah yang. Nanti Abang yang ambil."
Pija mengangguk dan masuk ke dalam rumah sambil di rangkul oleh Abang Al. Pija sendiri tidak heran kalo Abang Al sudah ada dirumah saat dirinya pulang. Mengingat ini sudah jam 5 sore, karena Pija mendapatkan jadwal ujian jam 2 siang dan setelah ujian Pija sibuk urus berkas serta berfoto ria bersama teman-temannya. Hingga tiba di rumah jam 5 itu pun di bantu banyak oleh Ara.
Masuk ke rumah di sambut di meja makan oleh Bunda dan Ara. "Eh, Abang apain anak Bunda?" Bunda berdiri lalu menarik Pija masuk di peluknya. Mengusap belakangnya dengan kasih sayang, lalu melotot ke arah Abang. Ara sudah menceritakan semuanya ke Bunda jadi wajar jika Bunda marah. "Awas yah Bang. Bunda ngga suka liat anak Bunda nangis."
Bang Al mengaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf Bunda. Abang juga sudah minta maaf sama Pija." Ucap Bang Al lalu pamit ke depan untuk mengambil semua barang istrinya yang masih ada di mobil.
"Selamat yah nak. Tadi gimana ujiannya lancar?" Bunda mengiyakan Bang Al lalu meminta untuk Pija duduk seperti Ara di meja makan.
"Lancar Bunda. Pija cumlaude juga." Buka Pija yang menjawab melainkan Ara yang lagi sibuk memakan puding buatan Bunda.
"Alhamdulilah nak Bunda hebat banget." Puji Bunda dan tidak lupa memberikan selamat, lalu percakapan mengalir hingga datang Abang Al dan mereka menikmati puding yang di buat Bunda. Percakapan mulai ini dan itu sampai Ayah pulang dari kantor. Semua berkumpul di meja makan membuat hati Pija menghangat. Untuk pertama kalinya Pija merasakan ini, dimana semua orang yang di sayanginya berkumpul. Biasanya Bang Al menghindar jika Pija hadir sebelum mereka menjadi suami istri tapi, kali ini canda dan tawa terdengar lengkap. Kebahagian yang sungguh tidak terkira bagi Pija.
"Abang selalu diamin kamu nak?" Kali ini setelah Ayah mendengar aduan Bunda, Ayah bertanya ke Pija. "Kalo Abang gitu lagi. Tinggalin aja Nak. Suami gitu harus di kasih kapok, buat apa coba diamin istrinya. Abang bisa bicara baik-baik." Kali ini Al harus elus dada, karena semua orang yang ada di meja makan ini. Terus saja menceramahinya tentang sikapnya kalo marah terhadap Pija sang istri.
Al bukannya tidak mau bilang kalo dia marah, tapi bagaimana juga Al takut jika mengeluarkan kata dari mulutnya membuat sakit hati Pija. Apalagi dalam kondisi emosi.
****
Sulbar, 13 Oktober 2023
Siapa yang kalo marah lebih memilih diam? seperti Abang Al.
Aku hehe😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat ko gitu! 21+ (Tamat)
Romance"Pija lo harus bantu gue. menikahlah dengan Bang Al." persahabatan dari sekolah menengah pertama sampai dia berdua duduk di bangku perguruan tinggi membuat tidak ada jarak yang hadir di antara mereka berdua. Saling tolong menolong tidak asing lagi N...