Penjelasan

14.9K 228 2
                                    

Apa yang terjadi di cafe sungguh mimpi buruk bagi Pija. Bagaimana dia di permalukan di depan umum tanpa orang itu tahu kepastiannya. Bagaimana bisa melakukan tanpa bertanya dan lebih memilih menyerang tanpa ampun. Pija rasa dirinya tidak selemah itu, tapi pas kejadian dirinya tidak melakukan apapun selain diam dan berujung tidak sadarkan diri.

Memalukan. 1 kata yang ada di pikiran Pija untuk dirinya sendiri.

Andai Pija berani melawan, cerita akhirnya pasti berbeda. Sialnya, dirinya lebih memilih menyerah sebelum berjuang.

"Bang." Panggil Pija dengan suaranya yang sedikit lemah. Mungkin karena kelamaan pingsang. "Bang Al." Untuk panggilan kedua kali Pija mencoba mengerakan tangannya yang di genggam oleh Bang Al.

Pergerakan itu membuat terganggu dan dengan perlahan Al menegakan kepalanya. Pandangannya langsung bertemu dengan Bang Al. "Sayang." Panggil Bang Al, khawatir.

Senyum Pija terbit saat melihat bagaimana Bang Al segitu kacaunya. Rambutnya tidak serapih biasanya dan muka yang tidak sesemangat seperti  biasa saat mengodanya. "Abang, aku haus." Dengan cepat Al membantu Pija untuk meminum air yang berada di meja yang telah di sediakan. "Ara mana Bang?" Setelah minum Pija mencari Ara.

"Ara, di depan sama Bunda dan Ayah." Jawab Bang Al. "Ada yang sakit, Yang?"
Pija mengeleng lalu ingin duduk dan di bantu Al. "Suster bilang hanya perlu infusnya habis baru pulang Yang." Untuk kedua kalinya Pija mengangguk. Membiarkan Bang Al berbicara, menasehati dan bertanya ini dan itu kepadanya. Hingga satu kalimat tanya yang sebenarnya hanya minta persetujuan kepadanya tapi, Pija tidak ingin masalah ini melebar kemana-mana dan memilih diam. "Apa kasus ini boleh Abang perpanjang, Yang?"

Di sela-sela tuntutan pertanyaan Bang Al. Ara, Bunda dan Ayah masuk. Pija tentu merasa lega. Karena bagaimana juga, Pija tidak tahu harus bagaimana di satu sisi orang yang melakukan hal itu adalah orang yang penting bagi Ayah Rey. Melaporkan mereka berarti menyakiti Ayah Rey.

"Semua keputusan ada di tangan mu nak. Jadi di pikir baik-baik yah. Bunda tetap mendukung semua hal yang menurut mu baiķ." Sebuah nasehat itu di ucapkan Bunda ke pada Pija dengan hati-hati. Bunda takut kalo Pija tersinggung. Karena jika saat begini mengambil keputusan tentu tidak semudah orang yang banyak katakan.

"Bunda, apa tidak apa kalo aku memilih diam. Maksudnya tidak mempermasalahkan apapun lagi dan memaafkan semuanya?" Kali ini yang berada diruangan cuman ada Bunda dan Pija. Setelah Bunda meminta waktu berdua untuk berbicara hati ke hati.

Senyum manis tercetak sempurna di wajah Bunda. "Bunda sudah tahu. Kalo anak Bunda yang satu ini. Pasti tidak mau membesar-besarkan masalah." Ucap Bunda dengan mata berbinar. Karena sudah menebak akhirnya seperti apa. "Memaafkan harus tapi, tiada salahnya untuk membuat mereka sedikit jera dan merasa kalo dirinya salah."

"Tapi, Bunda. Bagaimana dengan Ayah Rey?" Pija dengan takut-takut mengungkapakan ketakutannya. "Mereka juga ke sayangan Ayah Rey."

Bunda yang sudah dari tadi mengenggam tangan Pija kini mengusapnya dengan lembut dengan tangan satunya. "Bunda mengerti ke takutan mu nak. Ayah Rey, Bunda rasa sudah tahu." Mata Pija sedikit membulat saat mendengar bahwa Ayah Rey nya telah tahu hal itu. "Ayah Rey yang nelpon Abang. Ayah Rey meminta maaf atas perbuatan mereka dan memberikan semua keputusan di tangan keluarga kita."
Pija, merasa lega kalo Ayah Rey  mengetahui semuanya.

Cairan infus telah habis dan mereka semua sudah kembali ke rumah. Sebenarnya Pija tidak enak karena kejadian ini Abang Al dan Ayah harus pulang dari kerjaanya untuk melihat bagaimana kondisinya. Selain itu Pija juga sakit hati melihat beberapa bekas cakaran di leher Ara. Kalo saja dirinya mungkin tidak apa-apa. Tapi, ini Ara sahabat dan adik iparnya yang harus berkelahi untuknya.

Pija sempat menangis saat melihat beberapa cakaran yang membekas di wajah Ara. Tapi, yang Pija syukuri Ara bilang bahwa luka lawannya lebih banyak.
"Lo ngga perlu khawatir, adik dari nenek lampir itu. lebih parah dari gue lukanya." Ucap Ara dengan mengebu-gebu. "Lo di tampar 1 kali, gue balas dia dengan 3 kali tamparan. Dia pikir dia siapa tampar sahabat gue. Dia nyerangnya rambut gue. Entah berapa helai rambut yang rontok akibat jambakan dia." Saat ini mereka berdua sudah ada di kamar Pija dan dengan semangat Ara menceritakan kejadian di cafe.

Ara terlihat kacau dengan penampilannya. Walau sebenarnya Ara sudah mandi dan membersihkan diri setelah pulang dari rumah sakit. Tapi, wajah mulus Ara mengalami beberapa merah dan goresan, sungguh hal itu membuat Pija sedikit tidak enak. "Sorry Ra."

"It's okay Ja. Lumayan juga gue bisa berkelahi lagi hehe." Tanggapan Ara. "Gue tuh, merasa kaya jagoan deh Ra. Lo mau lihat gimana gaya gue berkelahi ngga. Isssh seru banget ternyata, apalagi ada yang live di IG waktu itu."

"Emang lo, ngga apa-apa dengan reputasi lo."

Dengan acuh Pija mengedipkan bahunya. Tanda tidak peduli apapun. Karena yang lebih penting saat itu adalah Pija sahabatnya sekalian kakak iparnya serta istri dari Bang Al. "Biarin gue ngga peduli."

"Ra, lo ngebangun reputasi lo cukup lama, terus hancur gara-gara gue rasanya tidak adil banget sih. Gue benar-benar merasa bersalah banget ke lo." Ucap Pija tidak enak. Posisi mereka masih sama yaitu menyandar pada kepala tempat tidur dan meluruskan posisi kaki.

Ara yang tadinya menatap televisi yang nyala di hadapannya kini mengalihkan hadapannya ke Pija. "Lo tahu kan? Gue pasti milih yang lebih berarti buat gue dan lo yang paling berarti di banding puluhan followers yang gue punya." Ucap Ara.

"Isst ko lo buat gue nangis sih." Pija menangis mendengar kalimat Ara yang sungguh berarti buatnya.

"Hehe... loh ko nangis?"

"Gima-na ngga nang-is kalo lo, bilang gitu." Jawab Pija dengan terbata-bata karena tangisnya masih berlanjut. Mengakibatkan kalimat yang keluar dari mulut Pija sedikit tidak jelas. "Gue mau berhenti nangis huaaa... tapi, ngga bisa isst."

Ara merasa sangat lucu melihat Pija seperti itu. "Yah udah, cup-cup. Sini gue peluk dulu. Supaya tangisnya usai." Ara menarik Pija masuk ke pelukannya. "Berhenti nangis yah. Gue juga ikut sedih kalo lo nangis seperti ini."

Tidak lama Pija berhenti menangis walau masih terasa sesegukan di bahu Ara.

"Kenapa lagi sih, Ra?" Mereka berdua tidak tahu kalo Bang Al, baru masuk ke kamar dengan tanpa suara dan melihat kedua perempuan yang berharga di hidupnya sedang berpelukan sambil Pija masih tersedu-sedu setelah menangis. Merasa sedikit tidak suka saat melihat istrinya menangis lalu memilih bertanya. "Ra, lo apa sih. Istri Abang?" Duduk disamping Pija lalu menariknya dengan lembut. Agar masuk ke dalam pelukannya.

"Abang." Renge Pija setelah mendaratkan pelukannya di Abang. Pija sudah bilang di awal kalo belakang ini dirinya sering sekalih menangis. Menangis karena bahagia, memiliki keluarga baru yang super seperti ini. Super segalahnya, super baik, super nerima dan banyak kata super lagi yang Pija rasakan.

Ara memutar bola matanya. Karena tahu bawa Bang Al memang segitunya dengan Pija. "Bukan Ara Bang."

"Iya, bukan Ara Bang." Akhirnya Pija angkat suara dengan suara pelannya dan memeluk Al jauh lebih erat. Tentunya setelah mendengar suara Ara yang kesal terhadap tuduhan Abang Al. "Ini tuh, nangis bahagia Bang."

Kalimat itu adalah kalimat pamungkas yang di dengar oleh Bang Al untuknya. Karena kalimat itu sungguh melegakan baginya. Dari awal, Abang Al sudah berjanji untuk membahagiakan Pija sebagai istri bagaimana pun itu adalah janjinya.

****

Sulbar, 30 Oktober 2023

Selamat membaca...
Maaf karena baru up. Soalnya ada beberapa hal di dunia nyata yang membuatku sibuk.

Sahabat ko gitu! 21+ (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang