Hmm

18.3K 230 0
                                    

Suasana kantin di jam 12 siang terlihat ramai, para mahasiswa sedang berbondong-bondong mengisi perutnya di berbagai kantin yang di sediakan. Semua ibu kantin terlihat kualahan, pandangan Pija jatuh kepada ibu-ibu kantin.

"Ssstt," Ara menyengol Pija menggunakan siku nya. Karena intesitas perhatian Pija dari tadi hanya ke depan. Tidak melihat ada yang datang ke meja mereka. "Ja, ada Pak Adi." Bisik Ara.

Pija berbalik dan ternyata apa yang di bilang Ara benar adanya. "Pija, Ara"

"Iya, Pak." Sahut Pija dan Ara serempak.

"Pija, minggu lalu sudah yudisium?"

"Alhamdulilah pak." Jawab Pija. Posisinya Pak Aldi masih berdiri di samping Ara yang duduk.

"Jadi berkasnya sudah selesai semua?"

"Belum Pak. Ini sementara mau di urus, sekalian minta temanin sama Ara." Kali ini, kalimat Pija sebagai akhir dari pembicaraannya dengan Pak Adi. Sebelum Pak Adi di panggil oleh dosen lain.

"Astaga Ja." Ucap Ara yang sedikit syok mengetahui Pak Aldi benar-benar sesuai apa yang di gosipkan. Maksudnya gencar mendekati Pija walau hanya tanya ini dan itu tapi, bukan kah ada jarak antara mahasiswa dan dosen yang secara tidak kasat mata. "Pak Adi tanya lo?"

"Lo pikir, Pak Adi tanya setan." Jawab Pija dengan sinis.

"Omg, omg ini serius?" Dengan heboh Ara di tempat duduknya.

Pija memutar bola matanya secara malas melihat tingkah Ara. "Apaan sih Ra,"

"Sumpah! Harusnya Bang Al berbangga hati telah ku berikan jalan untuk menikah dengan perempuan yang di rebutkan banyak pria." Harusnya Pija sudah sedikit tahan dengan Ara yang akan tiba-tiba lebay seperti ini. Tapi, seakan Pija lupa jika yang di samping ini kadang berubah-ubah. Tergantung kondisi dan keadaan. "Gue harusnya tidak minta hanya sepatu waktu itu, mobil atau rumah kemungkinan di kasih."

Pija sudah tahu hal itu. Bahwa Ara meminta imbalan kepada Bang Al tentang dirinya yang bersiap menjadi penganti pengantin. Ara juga ingin membelikan Pija barang waktu itu tapi, Pija menolak. "Ra, diam deh. Malu dilihatin banyak orang."

"Malu apaan. Orang juga cuman cerita gini ko."

Ara dan Pija memang menunggu pesanannya di antar. "Lo heboh banget."

"Heboh apaan? Orang-orang itu kali yang baru lihat selebgram." Dengan super pede Ara bilang seperti itu.

Pija mengedipkan bahunya. Tanda sudah bosan dengan tingkah Ara yang ke pedean plus heboh. Pesanan mereka datang dan Pija memilih menikmat makanannya sedangkan Ara sibuk makan sambil cerita ini dan itu.

"Ja, lo udah gituan dengan Abang?" Kuah mie ayam yang baru masuk dimulut Pija tiba-tiba minta keluar karena tersedak.

Uhuk, uhukkk

"Ja, ini minum air."
Ara memberikan Pija es tehnya. Setelah mendengar Pija terbantuk karena tersedak oleh makanannya sendiri. "Lo makan hati-hati deh. Bikin takut aja." Pija ingin sekalih membunuh Ara yang berstatus adik iparnya, saat ini juga. Bagaimana tidak dengan entengnya Ara manesahatinya soal makanan. Padahalkan yang harus disalahkan dalam hal ini, yaitu Ara sendiri. Karena bisa-bisanya Ara mengajukan hal yang tidak terduga saat dirinya makan.

"Bacot!" Umpat Pija dengan kesal. Karena tenggorakannya terasa perih akibat Ara. "Ini tuh, bukan gue yang makan terburu-buru. Tapi. Gara-gara pertanyaan lo yang naudzubillah mengerikan."

"Pertanyaan gue tentang lo dan Abang, udah gituan." Pija mengangguk dan dengan malas-malasan Pija mendorong mangkoknya ke tengah meja. Bertanda menyudahi makannya lantaran tenggorakan perih. "Yah kan. Gue cuman nanya."

Sahabat ko gitu! 21+ (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang