Kenapa harus aku?

28.2K 512 9
                                    

Kali ini Pija merasa memakai bantal guling yang berbeda dari biasa yang di pakai saat di kosnya. Selain nyaman juga memberikan ketenangan membuat tidur Pija jauh lebih lama. Seakan kelelahannya mengurus ujian skripsinya terbalas lunas. Setiap malam insomnianya membuatnya tidak bisa tidur senyaman ini.

Jangan lupa aroma yang tercium juga benar-benar membuat Pija rileks. Seakan beban yang di pikulnya selama ini, tiada apa-apaannya jika ujungnya ketenangan saat tidur di dapatnya. Mata hari kiang mengintip dari cela gorden dan membuat Pija sedikit terganggu dengan hal itu. Namun, lagi-lagi Pija tidak ingin kehilangan kenyaman ini.

Pija sedikit demi sedikit bergerak. Memeluk lebih erat lagi bantal guling itu, hingga wajahnya menepel. Pija berpikir akan membawah bantal guling kemana saja dia pergi. Agar tidurnya bisa senyenyak ini, senyaman ini dan setenang ini.

Matahari itu seakan ingin menganggu tidurnya. Sehingga menyorotnya dengan cahaya yang mulai lebih banyak tapi, seakan Tuhan sedang berbaik hati dengannya karena tiba-tiba cahaya matahari itu berganti dengan mendung yang membuatnya ingin kembali tidur sampai kata cape tidur keluar dari mulutnya. Pija kembali mengeratkan peluknya dan menengelamkan wajahnya di bantal guling itu. Dia juga sedikit gemes dan berencana mengigit bantal guli itu.

"Ah." Teriak itu tentu mengusik tidur tenang Pija.

Pija membuka matanya dan melihat bukan batal guling yang di peluknya melainkan dada idamannya yang baru di lihat tadi malam. Sontak Pija duduk dan menjauhkan dirinya sebelum semua ingatannya muncul. Karena sebagian apa yang terjadi malam tergambar dengan detail. Maka, Pija tidak tahu harus bagaimana. Apakah berpura-pura tidak tahu atau bagaimana, otak cantiknya tidak dapat di andalkan untuk saat ini. Pija mengalihkan matanya ke tubuh idamannya dan ternyata pandangannya bertemu dengan mata indah yang baru di lihat Pija secara dekat. "Abang ngga pakai baju?" Tanya Pija dengan suara seraknya sehabis bangun tidur. Bagaimana tidak pemandangan mengiurkan itu sungguh berada dekat darinya.

"Abang ngga bisa tidur pakai baju." Jawab Bang Al. Entah bagaimana Al seakan mengikutin bagaimana Pija memanggilnya sama dengan Ara 'Abang' dan memakai aku dan kamu. Seakan sudah terbiasa dengan hal itu. "Mimpi apa? sampai gigit dada Abang."

"Oh shit!" Umpatan Pija lakukan saat pernyataan itu di dengarnya dan memukul keningnya. Pija pikir itu mimpi.

"Sakit." Ngeluh Bang Al dengan kesakitan. Karena Pija hanya diam menatap dadanya yang memerah bekas gigitan.

"Maaf Bang."

Bang Al tersenyum geli di tempatnya melihat bagaimana istrinya merasa bersalah.

"Di maafin tapi, sini baring lagi." Bang Al memaafkan dengan pakai syarat. Tapi, Al tahu itu untung-untungan. Bisa saja Pija memilih pergi di bandingkan mengikuti permintaannya. Al tentu pasrah dengan keputusan apapun yang terjadi. Tapi siapa sangka bahwa Pija tanpa berpikir panjang memilih tidur lagi walau berjarak dengannya. "Dekatan."

Pija mengeleng. "Abang ngga pakai baju."

"Terus."

"Yah, ngga pakai terus."

"Tadi juga peluknya erat banget. Sampai gigit dan ci---"

Pija bergerak dekat ke Abang Al lalu menutup mulut Abang Al yang mau memberitahunya mengenai kelakuannya saat tidur. Pija tidak ingin mendengarnya karena malu. "Abang." Renge Pija di depan wajah Bang Al.

Abang Al yang memilih kesempatan  menarik badan Pija lebih dekat dan memeluknya mengunakan tangan dan kakinya. "Astaga Bang." Reflek Pija berteriak karena kaget. Posisinya sudah di peluk seperti bantal guli. Badan kecilnya tidak bisa bergerak sama sekalih. "Abang, lepas isst."

"Cantik banget." Puji Bang Al. "Kamu tiap pagi gini, yah. Cantik banget." Siapa yang tidak tersipu malu saat mendengar pujian dari suaminya.

"Abang lepas, ngga?"

"Sebentar sayang. Ini nyaman banget." Sambil memperat pelukannya.

"Tapi, sesak Bang."

"Tadi aja kamu boleh."

"Boleh tapi, ini erat sekalih. Mana badan Abang Besar. Istrinya tengelam Bang." Bang Al, merengakan sedikit pelukannya dan memidahkan tangan penghalang yang di buat Pija tidak bersentuhan langsung dengan dadanya. Karena Pija menahannya memakai kedua tangmgan.

"Ciee istri Abang ini."

"Abang ko berubah?" Tanya Pija.

"Berubah?"

Pija mengangguk dan entah bagaimana Abang menariknya naik untuk bisa sejajar. Ngobrol dengan mendongakan kepala bisa-bisa leher Pija sakit. "Ahk." Pija yang kaget tetap saja berteriak saat Bang Al menariknya. "Yah, Allah Bang. Mau bunuh istrinya? Baru juga 1 hari jadi istri sudah gini." Al hanya tertawa melihat kepanikan istrinya, atas tidaknya secara tiba-tiba. "Abang sekarang ketawa mulu."

"Mau kamu, Abang nangis?"

"Yah ngga gitu. Cuman ko beda, biasanya Abang ketemu aku. Abang cuman diam ngga bicara apapun. Padahal kita juga biasanya makan 1 meja di rumah Abang dan semua ngobrol kecuali Abang. Abang boro-boro tegur aku, lihat saja ngga." Unek-unek Pija keluar.

Al hanya diam membiarkan Pija berbicara. "Abang, lalu kenapa aku?"

Kali ini Al menyatuhkan alisnya. Saat pertanyaan Pija. "Kenapa harus kamu?" Tanya Al ulang. Pija mengangguk dan menunggu jawaban. "Yah jodoh. Mau apa lagi."

Pija tentu tidak puas dengan jawaban itu. "Kak Mila benar-benar menyudahi perjodohan ini karena kemauanya atau karena Abang?" Menyipitkan matanya. Pija lakukan tanda curiga ke Bang Al.

"Menurut kamu?"

"Karena Abang." Kali ini Abang Al tertawa, terbahak-bahak. Sentilan pada kening Pija adalah hal yang di lakukan Bang Al.

"Mikirnya kejauhan."

"Sakit, Abang. Isst. Orang cuman nanya juga." Oh oke. Mode ngambek Pija mulai lagi. Abang sedikit takut mengenai malam tadi.

"Intinya Abang tidak berjodoh. Abang cuman bilang kalo Abang ingin menikah satu kali seumur hidup dan Abang sudah cinta sama orang lain selama 8 tahun lamanya dan mungkin itu sulit untuk di ubah 1 atau 2 bulan dalam pernikahan kita. Jadi kemungkinan dia yang menyerah sebelum berperang."

"Gimana ngga nyerah. Kalo sudah di kasih tahu seperti itu." Cibir Pija tanda tidak suka.

"Yah Abang ngga bilang ngga bisa jatuh cinta lagi. Abang cuman bilang Abang mencintai orang lain yang selama 8 tahun secara diam-diam."

Pija benar-benar kaget mendengar hal itu. 8 tahun mencintai dalam diam, bukan kah itu bodoh? "Jadi Abang mau cerai dengan aku?"

"Boleh, cium ngga sih? Gemes banget." Bukannya menjawab. Bang Al lebir tergiur oleh bibir yang tidak berhenti mengeluarkan suara itu untuk dia nikmatin.

Pija sontak menutup mulutnya dan mengeleng. "Ngga boleh Bang. Jorok, belum sikat gigi." Jawab Pija setelah melepaskan tangannya dari mulutnya.

"Emang kalo sudah sikat gigi, boleh?"

Pija hanya diam. Karena ternyata jawabannya salah. "Ko diam?"

"Bang ini jam berapa sih. Matahatinya tinggi banget?" Pija mengalihkan pembicaraan. "Kayanya udah siang. Bangun yuk Bang."

"Nanti, masih mau gini. Ini nyaman banget, pantas saja kamu ngga ada gerak-gerak tadi. Ternyata senyaman ini."

"Ngga malu Bang, sama keluarga yang lain?"

"Kenapa malu. Palingan mereka ngerti maklum pengantin baru." Pija membenarkan itu tapi, tetap saja Pija malu.

Pija mengangguk. "Maaf yah yang tadi malam." Tiada hujan, tiada angin tiba-tiba Bang Al meminta maaf yang bukan kesalahannya. "Abang minta maaf. Buat kamu tidur dalam keadaan marah." So sweet banget. Pija tidak tahu kalo Bang Al seperti ini. Pija tidak habis pikir karena setahunya Bang Al tidak suka dirinya.

"Yang salah aku Bang."

"Kamu ngga salah. Itunya Abang aja yang murahan kalo dekat kamu."

Pija baru ngerti apa yang menganjal dari tadi di pahanya. "Itunya Abang bangun lagi?"

****

Sulbar, 1 oktober 2023

Jangan lupa vote dan komen yah... agar upnya lebih rajin lagi hehe

Sahabat ko gitu! 21+ (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang