2. KISAH YANG BARU DIMULAI

1K 46 3
                                    

Lelaki pemilik mata tajam itu sendirian berada di balkon kamarnya, memandang jauh ke depan sambil menghisap dalam-dalam sebatang rokok yang terselip di antara jemarinya. Asap tipis melayang perlahan di udara malam yang dingin, seolah menari bersama angin. Suara hiruk pikuk kota di bawah terdengar sayup, tapi pikirannya melayang lebih jauh lagi, menembus batas keramaian.

Di tengah keheningan tersebut, terdengar suara berat papanya memanggilnya dari dalam kamar, memecah kesunyian malam.

“Al?”

Albara menghela napas panjang, membuang sisa rokok yang hampir habis ke lantai balkon. Suara itu, meski sederhana, selalu membawa beban tersendiri. Ia tak langsung menjawab, membiarkan jeda di antara mereka terasa sedikit lebih panjang dari seharusnya. Setelah beberapa detik, dia berbalik perlahan, menara pintu yang setengah terbuka, menampakkan siluet sosok sang ayah.

“Iya, Pa?”

Putra melangkah keluar, menatap anaknya dengan pandangan yang sulit ditebak. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tapi sepertinya tertahan di ujung lidah. “Gimana sama geng kamu?” tanyanya akhirnya, lebih sebagai pengisi keheningan daripada pertanyaan sebelumnya.

Putra mengetahui geng motor yang Albara buat, dan bukanya melarang, dia malah mendukung. Dia paham dunia itu, karena dulu, dia sendiri pernah menjadi ketua geng motor. Sekarang, melihat Albara mengikuti jejaknya, ada perasaan bangga yang aneh. Bukan karena dia ingin Albara terjebak dalam jalan yang sama, tetapi karena dia tahu, dalam dunia yang keras itu, ada pelajaran penting tentang keberanian, loyalitas, dan tanggung jawab. Sesuatu yang Putra percayai bisa membantu Albara tumbuh lebih kuat.

“Aman,” jawab Albara.

“Tumben papa ke sini? Ada apa?” celetuk Albara heran.

“Soal kakek dan dia, gimana?”

Albara bungkam, menahan gejolak yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. Emosinya datang begitu saja, seperti badai yang tak terduga. Tanpa sepatah kata, ia memejamkan matanya, berusaha meredam gelombang yang bergulung-gulung di pikirannya. Ini adalah obrolan sensitif baginya, tentang Kakek dan dia.

“Jangan bahas itu, Pa!”

Putra tersenyum tipis, ia tahu anaknya tertekan. Tapi bagaimana lagi? Ia tidak bisa melawan ayahnya, begitu juga Albara.

Why didn't papa fight him?” tanya Albara menatap papanya serius.

“Dia ayah papa, bagaimanapun itu,” kata Putra menatap Albara yang emosi.

“What about me?”

“Aku anak papa! Papa tega liat anaknya tertekan? What kind of papa?!” seru Albara emosi, napasnya memburu.

Albara bangkit, cukup, emosinya ingin meledak saat ini juga. Putra terdiam melihat punggung anaknya yang semakin menjauh dari pandangannya, ia tahu anaknya paling sensitif jika membahas hal ini. Ini Albara dan masalahnya.

                                        ***

Albara melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, gas motornya dipelintir semakin dalam. Beberapa kendaraan disalipnya dengan cepat, tanpa ragu sedikit pun. Amarah yang membara dalam dadanya mengaburkan pikirannya, membuat keputusan terasa samar. Saat emosi mengambil alih, logika seakan tenggelam. Hanya satu hal yang ada di kepalanya saat ini; markas. Itu tujuan utamanya.

Setelah mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, Albara akhirnya tiba di tujuan. Ia turun dari motor, mengambil napas dalam-dalam sebelum masuk. Entahlah, setiap melihat anggota RAIDRES, emosinya perlahan mereda. Meski mereka sering berisik, tetap saja, mereka rumah bagi Albara.

BANDUNG DAN KISAH KITA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang