6. RAGU UNTUK MENGUNGKAPKAN

546 23 3
                                    

“Kok bukan ke rumah aku?” tanya Aleanora saat Albara memberhentikan motornya di Alun-alun, bukan di rumah Aleanora.

“Gak boleh? Panas gini mending diem dulu,” tutur Albara turun dari motonya begitu juga Aleanora. Setelah melepaskan helm miliknya, Albara menatap Aleanora yang kini mencoba membuka helmnya.

“Bisa nggak?”

“Bisa,” jawab Aleanora cepat. Namun, setelah 3 menit, perempuan itu tak kunjung membuka helmnya. Tanpa bicara, Albara langsung membuka helm Aleanora.

“Kalau susah bilang.”

Aleanora hanya mengangguk. Otaknya masih mencerna hal yang baru saja Albara lakukan. Ia yang 3 menit belum terbuka, sedangkan Albara, ia hanya beberapa detik. “Kok sama kamu cepet?”

“Karena lo gak bisa,” ejek Albara sambil berjalan meninggalkan Aleanora. Aleanora yang tertinggal segera menyusul, menyesuaikan langkahnya dengan Albara.

“Tungguin!” ucap Aleanora berdiri di samping Albara dengan napas yang terengah-engah.

“Makanya jangan lari,” celetuk Albara dengan santai. “Kan kamu yang ninggalin!” kesel Aleanora. Apa katanya? Jangan lari? Heh! Siapa di sini yang meninggalkannya.

Albara terkekeh melihat ekpresi Aleanora. Wajah perempuan tersebut memerah, membuat Albara gemes melihatnya. Mereka kemudian memilih duduk di bawah pohon besar, menikmati sejuknya teduhan.

Keheningan melingkup mereka.

Tak ada kata-kata yang terucap. Keduanya sibuk memandangi sekelompok anak kecil yang asyik bermain. Anak-anak itu terlihat begitu riang. Membuat mereka teringat masa lalu, ketika hidup terasa lebih sederhana. Ah, rasanya ingin kembali ke masa kecil. Menjadi dewasa ternyata jauh dari yang mereka bayangkan—tidak seindah kelihatannya.

Albara akhirnya membuka sura, memecahkan keheningan di antara mereka. “Lo mau beli jajanan?” tawar Albara saat melihat di Alun-alun ini banyak pedagang kaki lima.

“Enggak,” bales Aleanora mengalihkan atensinya dari anak kecil tersebut kepada Albara.

“Al, kamu gak mau jatuh cinta?” tanya Aleanora tiba-tiba.

“Bukan gue gak mau jatuh cinta.” Albara memulai dengan nada tenang. “Tapi belum ada yang benar-benar bikin hati gue luluh. Lagian, jatuh cinta itu ga sesederhana yang orang bayangkan. Kadang ada yang berhenti di tengah jalan, ada yang bertahan sampai tua, bahkan ada yang berakhir terlalu cepat. Dan semua itu gak gampang. Lewat proses itu, rintangannya pasti banyak.

Albara menatap jauh ke depan, lalu melanjutkan, “Cinta bukan sekedar permainan. Karena dari cinta, kita akan menentukan siapa yang bakal jadi teman hidup kita, sampai kita menua bersama.”

Aleanora terdiam, terpana dengan cara Albara merangkai kata-kata. Pandangnya tertuju pada Albara, kagum karena bahkan ia sendiri tidak pernah berpikir sejauh ini.

“Lo?” tanya Albara balik.

“Rasa yang belum tumbuh,” jawab Aleanora tersenyum tipis mengingat Varga yang mengejarnya tetapi rasa itu belum tumbuh.

“Lo beneran gak suka Varga?” Aleanora mengernyit bingung. Bagaimana Albara bisa tau?

“Kenapa kamu tau?”

“Gue tau semua tentang lo,” jawab Albara terkekeh. Sedangkan Aleanora terdiam mencernanya. Tau semua tentang dirinya? Mana mungkin.

“Makanan yang aku sukai?” tanya Aleanora memastikan. “Bakso.”  Aleanora membulatkan matanya mendengar jawaban Albara yang tepat sasaran. Apa jangan-jangan Albara…

BANDUNG DAN KISAH KITA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang