Jam sekolah sudah berakhir, Gwenda duduk sejenak dihalte sembari menunggu sang supir menjemputnya. Gadis itu kembali berfikir, apa yang tadi ia lihat dan telinganya dengar itu real? Atau cuma halusinasinya saja?
Bagaimana mungkin, seorang Kamga Angelo yang taksiran umur 23 tahun bisa menjadi guru di sekolahnya? Dan parahnya lagi, dia sempat berdebat dengan guru tersebut.
"Masa bodo, mau dia guru, satpam, bodo amat, ya kali gue harus sungkem sama tuh orang." Gwenda mendumel sendiri.
"Nunggu jemputan?" tanya seorang lelaki yang saat itu berdiri tepat disebelah nya.
Gwenda menoleh, lalu gadis itu bergeser sedikit, menjaga jarak dengannya.
"Kenapa geser?" tanya lelaki itu dengan sedikit mengintimidasi.
"Vano, kita udah putus, jadi stop deketin gue, muak banget kalo harus lihat jidat Lo," tukas Gwenda, gadis itu benar-benar sudah sangat lelah menghadapi mantan kekasihnya itu.
"Aku mau kita balikan," tutur Vano dengan sedikit memaksa.
"Balikan? Hello, apa gue yang budek atau Lo yang lagi ngimpi?"
"Gwend!" Vano mencekal pergelangan Gwenda. Dan gadis itu berusaha keras agar bisa lepas dari cengkraman Vano.
"Lepasin gue, Vano," teriak Gwenda yang masih berusaha lepas.
"Kalo gue nggak mau gimana? Lo mau apa?" Vano menatap geram wajah mantan kekasihnya itu, menikmati ekspresi Gwenda yang tengah menahan rasa sakit.
"Lo gila, Van? Gue bisa teriak, jangan lupa gue ini siapa, gue bahkan bisa berbuat diluar ekspektasi Lo."
Giliran Gwenda yang mengancam Vano, seketika itu Vano melepaskan cengkraman nya pada pergelangan Gwenda.
"Jangan macem-macem Lo," Vano menatap lekat manik mata milik Gwenda.
"Serah gue lah!" Gwenda malah bersikap acuh pada Vano, lalu kembali duduk sambil menatap layar ponsel miliknya.
***
__ Tiga hari yang lalu, Gwenda sedang berada disebuah tokoh buku bersama dengan Lona. Dan tanpa sengaja pula Lona melihat sebuah pemandangan yang diluar ekspektasinya. Lona menarik tangan sahabatnya untuk ikut melihat apa yang baru saja ia lihat.
"Brengseek." Gwenda mendekat, lalu menarik tangan seorang lelaki yang saat itu sedang terbuai dalam cumbuan.
"Gwend, Lo ngapain disini? Eh- maksud gue, Lo kenapa bisa disini?"
Vano, ya itu adalah Vano yang baru saja tertangkap basah oleh Gwenda saat sedang berciuman dengan seorang gadis.
"Grebek_in Lo, emang Lo kira gue kesini tuh ngapain?" Gwenda semakin memburu, terlebih lagi saat melihat tingkah Vano yang seakan tidak terjadi apa-apa.
"Lo selingkuh sama tuh cewek?"
Vano terdiam sejenak, "Enggak, Gwenda," elak Vano, tapi terlihat jelas jika raut wajah nya yang tampak gusar.
"Gue muak sama Lo, kita end!"
Gwenda pergi meninggalkan Vano dengan gadis itu, saat itu pula Vano juga ikut berjalan setengah berlari untuk mengejar Gwenda. Tapi sayangnya gadis itu justru menghilang dari pandangan Vano.
***
__ Sesampainya dirumah, Gwenda mendapati lantai berserakan dengan pecahan kaca, gadis menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia sudah dapat menebak jika saat ini dirumahnya sedang terjadi perang dunia ketiga.
"Nggak capek apa, hidup dibawa ribut mulu, sehari aja rumah nggak bisa tenang, bisa gila gue lama-lama disini." sergah Gwenda, lalu gadis itu keluar dari rumah dengan kesal.
***
__Perpustakaan, disini lah gadis itu berada, Gwend yang kuat justru begitu rapuh saat ini. Baru saja merayakan ulang tahun yang ke 17, justru dihadapkan dengan permasalahan orang tuanya.
Gwend duduk disalah satu kursi yang paling sudut sebelah kiri, tangannya terus membolak balikkan halaman, tatapannya kosong, entah apa yang ada dibenak gadis itu saat ini.
"Buku untuk dibaca, bukan cuma di bolak balik doang!" ujar seseorang yang saat itu sudah duduk tepat disebelah Gwenda.
Gwenda menoleh, lalu menyunggingkan sedikit ujung bibirnya, lalu kembali pada buku yang sedari tadi ia pegang.
"Gwenda, kan?"
Gwenda tidak menjawab, malah memilih untuk bangkit dari kursi untuk menjauh dari orang tersebut.
"Gwenda...." Panggilnya lagi, tapi tetap saja Gwenda tidak menoleh sedikitpun.
Orang itu mencoba mengejar Gwenda, hingga tepat digerbang masuk perpustakaan tangan Gwenda berhasil di cekal olehnya.
"Gue nggak bakal minta maaf dengan kejadian tadi pagi," cetus Gwenda dengan raut wajahnya yang terlihat angkuh.
"Gue juga nggak ngarep," timpal orang tersebut.
"Ngapain Lo ngejar gue?"
"Nggak, cuma pengen ngejar aja," lanjutnya lagi sambil mengulas senyum terbaiknya.
"Nggak jelas, Lo." Gwenda mencoba melepaskan tangannya dari cekalan orang itu, "lepasin tangan gue," lanjut Gwenda lagi.
"Lo nggak niat gitu, hapus nama Lo dari daftar siswa yang bermasalah?"
"Jangan mentang-mentang Lo guru, Lo bisa seenaknya ngatur gue, sorry, hidup gue yang jalani bukan Lo," desis gadis itu dengan wajah menegang, "Lo siapa ngatur-ngatur gue? Baru juga jadi guru sehari, udah sok ngatur."
***
"Gwend, Lo serius mau nginap di rumah gue? Ntar kalo bokap Lo marah gimana?" lontar Lona, gadis itu sangat tidak ingin jika sahabatnya kembali mendapat masalah karna tidak pulang ke rumah.
"Persetan dengan mereka, gue capek, Lona. Gue pengen kayak Lo!" Gwenda menatap Lona dengan lekat, dimatanya tersirat sebuah kata rindu akan kehangatan sebuah keluarga.
"Gue sih nggak masalah, Gwend. Tapi gimana sama Lo? Gue takut, Lo ingat terakhir kali Lo nginap dirumah gue?"
"Ya udah, gue balik, sorry udah ngerepotin Lo," ujar Gwenda, gadis itu menyambar tas yang ia letakkan sembarang dilantai.
"Gwend, maksud gue nggak gitu, gue bukan ngusir Lo."
"Gue ngerti kok, Lo sahabat yang baik buat gue."
Gwenda tersenyum pada Lona, ia juga menepuk pelan pundak sahabatnya itu.
Saat ini, Gwenda sudah berada diluar rumah Lona, gadis itu terdiam sejenak, memikirkan kemana ia akan pergi? Tidak mungkin juga dia datang ke club', berhubung saat ini gadis itu tidak membawa pakaian ganti.
"Mau kemana?" tanya seseorang pada Gwenda. Gwenda mengerutkan keningnya lalu berjalan menjauh dari orang tersebut.
"Ini sudah malam, Gwenda. Kamu mau kemana?"
Kalian tahu itu siapa? Itu Kamga, guru baru yang selalu muncul dengan tiba-tiba dihadapan Gwenda.
"Lo jelangkung?"
"Kenapa kalo gue jelangkung? Bukannya Lo itu kuntilanak?"
"Nggak lucu," cetus Gwenda sambil memutar bola matanya.
"Mau gue anterin pulang?" tawar Kamga dengan iringan senyum terbaiknya.
"Nggak perlu."
"Cewek bahaya kalo pulang malam sendiri!"
"Gue bisa jaga diri, nggak usah sok perduli sama gue, urus aja hidup Lo sendiri." Gwenda menatap tajam wajah Kamga, tidak ada rasa segan apalagi takut pada lelaki itu.
Kamga tersenyum mendengar perkataan Gwenda, "Gue bukan sok perduli," Kamga menatap lekat kali ini, lelaki itu seperti tengah mencoba menerawang.
"Terus apa?"
"Pertama, Lo itu murid gue. Kedua, gue sebagai cowok nggak bisa biarin cewek pulang malam sendirian." Kamga menjelaskan, tapi sayangnya Gwenda tetap tidak menghiraukan apa yang Kamga katakan.
"Masa bodo."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gwend || Ending
Teen Fiction"Manusia itu bukan Matematika yang didalamnya lebih dari satu rumus, yang bisa dengan gampang dijelaskan dengan logika." Gwenda Aquella Sachi. "Bahkan matematika pun tidak serumit cinta." Kamga Angelo.