Part 25

111 4 0
                                    

Epilog

Tiga tahun sudah berlalu, Gwenda sudah menyandang status sebagai mahasiswi disalah satu universitas ternama ibu kota. Kini hari-harinya jauh lebih baik, tidak ada lagi Gwenda pembuat onar, Gwenda yang suka balapan, tapi ia tetap menjadi seorang Gwenda yang dingin, tatapan setajam mata elang.

Kini hari Sabtu, seperti biasanya ia menjenguk Revano yang masih menjalani hukumannya dipenjara. Tidak lupa ia membawa makanan kesukaan Revano.

"Pa, papa sehat-sehat ya, disini. Jangan lupa makan, biar nggak sakit. Aku udah siapin makan siang buat papa, juga beberapa vitamin. Jangan lupa diminum." Gwenda menatap nanar wajah Revano, yang saat ini tubuhnya sudah kehilangan bobot. Tidak lupa ia mengulas senyuman terbaiknya untuk Revano.

"Iya, kamu juga jaga kesehatan. Papa minta maaf untuk semua," lirih Revano, matanya tidak sanggup walau hanya sekedar melihat wajah Gwenda.

"Cukup, pa. Aku lupain semuanya. Hidup itu timbal balik, apa yang kita tabur maka itu yang akan kita tuai. Papa tidak lupa dengan pribahasa itu bukan? Untuk sekarang, aku mau papa tetap sehat, agar papa bisa menjalani hukuman papa dengan benar."

Revano masih menunduk, tidak sanggup melihat wajah Gwenda. Sudah tiga tahun berlalu, tapi Revano masih enggan untuk menatap wajah sang anak, ada rasa malu juga bersalah terhadap Gwenda.

"Papa yakin kamu anak yang kuat, kamu sekarang jauh lebih dewasa dari yang papa bayangin. Jangan terlalu sering kemari," tutur Revano, entah sudah lebih dari ribuan kali ia meminta Gwenda untuk berhenti membesuknya di tahanan, tapi Gwenda tidak pernah menuruti permintaan Revano yang satu itu.

***

"Al, gimana kondisi Lo sekarang? Udah mendingan? Gue juga bawa makanan buat Lo, semoga Lo suka. Disini juga ada beberapa vitamin yang bisa Lo minum. Gue tahu, Lo masih marah sama gue, itu wajar. Dan ya, Vallery sudah mendapat perawatan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Kata dokter, ada kemungkinan besar dia bisa sembuh, gue harap saat Vallery sembuh, Lo bisa nemenin dia lagi."

Althaf tidak menjawab sepatah katapun, seperti biasa, lelaki itu menjadi pendiam saat berhadapan dengan Gwenda. Gwenda menyempatkan diri untuk membesuk Althaf, yang baru saja mendapat perawatan intensif, karna berkelahi dengan salah satu tahanan.

Gwenda menghembus nafas kasar, tidak mendapat respon dari Althaf bukanlah hal yang baru baginya.

Gwenda melirik jam dipergelangan tangan kirinya, lalu berpamitan dengan Althaf.

***

"Vallery, semoga Lo cepat sembuh, gue juga barusan jenguk Althaf, dia sudah membaik. Lo juga baik-baik ya, disini."

Gwenda prihatin melihat kondisi Vallery, sekarang gadis itu berada di RSJ, sejak kejadian penyekapan Gwenda tiga tahun lalu, dan Althaf ditahan oleh polisi membuat psikologis Vallery cukup terguncang, hingga membuatnya seperti sekarang ini.

Gwenda menyeka air matanya, lalu memeluk singkat Vallery, lalu meninggalkan RSJ tersebut.

***

Minggu sore, Gwenda tenga menabur bunga dipusara Zeya, matanya selalu saja berkaca-kaca jika ia berada ditempat itu. Setiap hari Minggu, Gwenda selalu menyempatkan dirinya untuk mengunjungi makam Zeya. Bercerita banyak hal.

"Ma, aku pamit, nanti aku kesini lagi. Padahal aku masih kangen sama mama. Maaf untuk waktu yang pernah aku buang bersama Mama. Sekarang aku mengerti, kenapa waktu sangat berharga."

***

Menjelang malam, Gwenda tengah duduk di dermaga menikmati sunset disana. Hampir setiap hari ia menghabiskan sore di dermaga, sekedar memutar kembali memory yang pernah terjadi dimasa lalu.

"Manyun aja cantik, apalagi kalo senyum!"

Gwenda tersentak, suara itu terdengar cukup familiar di telinganya. Ingin menoleh tapi ragu.

"Nggak mungkin, kebanyakan bengong, halu kan, jadinya?" lirih Gwenda, menepis semua pemikirannya.

"Nggak halu, kok. Cuma mimpi."

Gwenda membenarkan pendengarannya. Kali ini ia cukup yakin, jika ia sedang tidak berhalusinasi. Gwenda akhirnya menoleh. Bibirnya mengatub saat melihat orang yang sedang berdiri dihadapannya saat ini.

"Lo?" Gwenda masih tidak percaya, jika yang ia lihat adalah Kamga.

"Yes, it's me!" sahut Kamga, lalu berjalan mendekati Gwenda.

"Gue nggak lagi mimpi?"

"Nggak, cuma halusinasi doang."

"Beda ya?" Gwenda akhirnya berdiri, menatap Kamga dengan perasaan bahagia.

"Nggak sih, cuma penafsirannya doang yang beda!"

"Sama aja," tukas Gwenda.

Kamga merentangkan kedua tangannya, Gwenda sudah tidak perlu lagi aba-aba, ia dengan sigap memeluk Kamga setelah tiga tahun tidak bertemu.

"Kenapa Lo balik? Lo biarin gue sendiri, Ga." ucap Gwenda dengan serak.

"Karna gue nggak bakal biarin Lo sendiri lagi."

"Apa Lo bakal pergi lagi? Kalo iya, mending Lo pergi sekarang, gue nggak mau sakit untuk yang kesekian kali, Kamga!"

"Sesuai janji gue ke Lo, gue bakal selalu ada disisi Lo untuk selamanya," ujar Kamga, ia mempererat pelukannya.

"Emang Lo bakal hidup selamanya?" Gwenda mencibir.

"Enggak, gue bakal mati suatu hari nanti, tapi sebelum nafas terakhir gue, gue bakal selalu jagain Lo dari apapun itu."

"Cielah, puitis banget sih Lo? Pulang dari Manila Lo makin jago ngegombal aja," ledek Gwenda lagi, lalu melerai pelukannya.

"Bukannya dari dulu gue emang spesialis gombal bin puitis ya?"

"Narsis."

"Harus."

Kamga menangkup wajah Gwenda, menatap manik mata elang yang sangat ia rindukan. Merangkul tubuh Gwenda kembali.

"Lo sering kesini ya?" tanya Kamga. "nggak perlu dijawab juga gue udah tahu jawabannya. Disini gue nembak Lo kan? Masih banyak lagi kenangan kita disini!" seru Kamga, tanpa melihat wajah Gwenda.

"Ya, bisa dibilang begitu. Sejak Lo pergi, ini jadi tempat favorit gue."

"Oh iya? Iya dong. Kan Lo sebelum kenal gue mana pernah ketempat beginian!"

"Cih, kepedean Lo nggak ada yang nyaingin."

"Ada, tuh si Dihan." Kamga menunjuk kesebelas kiri, disana sudah ada Dihan, Vion juga Yona.

"Lo ngajak mereka juga?" sungut Gwenda.

"Kenapa? Kan biar rame!" seru Kamga.

"Iya." cetus Gwenda.

"Akhirnya, moment yang gue tunggu selama ini datang. Selamat datang kembali, pak Kamga." Dihan menepuk pelan pundak Kamga, pun dengan Vion.

"Sejatinya, cinta itu tidak pernah tertukar, kadang sesekali salah jalur aja, makanya tertukar!" Dihan mengeluarkan kata-kata mutiaranya. Seperti biasa, terdengar aneh.

"Lo udah search di google belum?" Yona protes, karna ia sama sekali tidak paham dengan kata-kata Dihan.

Dihan tidak menjawab, melainkan hanya menyengir kuda.

Senja sudah usai. Kelima anak manusia itu duduk ditepi dermaga, menikmati matahari tenggelam bersama.

Penantian Gwenda selama tiga tahun tidak berakhir sia-sia. Kamga menepati janjinya. Pun dengan Vion dan Yona, mereka sudah resmi bertunangan sejak lima bulan yang lalu. Lalu Dihan, ia masih betah menjomblo, setiap kali ditanya, alasan sama, jodohnya masih nyasar dihati yang lain.

End....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gwend || EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang