"Kalian siapa?" Gwenda menatap satu persatu wajah yang saat ini sedang menghadang jalannya. Jantung Gwenda berdetak sedikit lebih kencang, ia teringat akan perkataan Dihan hari itu, jika Gwenda harus berhati-hati.
"Nggak perlu tahu kami siapa, sekarang ikut dengan kamu," tukas seorang pria bertubuh kekar, kepala botak, khas seorang preman pasar.
Gwenda mundur beberapa langkah kebelakang, lalu memasang kuda-kuda, siap untuk melawan pria bertubuh kekar tersebut.
"Mau kawan kami berempat? Yakin?" Pria yang satunya ikut bersuara, lalu juga ikut bersiap berdiri dihadapan Gwenda.
"Minggir gue bilang," hardik Gwenda. Wajahnya tidak menggambarkan rasa takut sedikitpun. Tapi hatinya? Jelas bertolak belakang.
"Sial, omongan Dihan benar," batin Gwenda.
Gwenda sudah bersiap, satu langkah ia maju kedepan, kaki kanan sudah siap terangkat dan mengarah pada salah satu pria tersebut. Tapi....
Bug....
Tubuh Gwenda ambruk seketika, pandangannya berubah menjadi gelap. Ya, mereka memukul tengkuk lehernya, hingga membuat tubuh gadis itu tersungkur di tanah dan kehilangan kesadaran.
"Hubungi bos, kerjaan beres!" Perintah lelaki tersebut yang tadi memukul leher Gwenda.
Pria yang satunya mengangguk pelan, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Udah beres bos. Oke, kami bawa kesana."
***
Gwenda tersentak, saat tubuhnya diguyur dengan air dingin yang dicampur dengan bongkahan es batu. Gwenda berusaha membuka matanya, sedikit terasa berat, tapi ia tetap harus membuka matanya, untuk melihat siapa yang sudah menyiram dirinya.
"Siapa?" tanya Gwenda dengan suara cukup lirih.
"Waaah, ternyata sudah bangun!" ucap seorang perempuan yang saat itu duduk tepat dihadapan Gwenda. Tapi sayangnya Gwenda tidak dapat mengenali wajah itu, karna semua cukup gelap.
"Lo siapa? Lepasin gue." Gwenda berteriak, sambil menggerakkan tubuhnya yang terikat diatas kursi.
"Apa? Lepasin? Kalo gue nggak mau, Lo mau apa?" Gadis itu bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan mendekati Gwenda.
"Lepasin, jangan jadi pengecut Lo," hardik Gwenda, sambil terus menggerakkan tubuhnya yang masih terikat kencang.
"Oh no, Lo nggak bakalan gue lepas, Gwenda!" gadis itu berjongkok disamping Gwenda, lalu mengarahkan tangannya yang saat itu memegang sebuah belati runcing, lalu menempelkan ujung belati tersebut ke pipi Gwenda.
Gwenda meringis ngilu, ia tahu betul akan aroma yang berasal dari tangan gadis tersebut.
"Lo kalo punya nyali, nyalain lampu, gue mau lihat muka bajingan Lo." Gwenda menantang, jika memang dia harus berakhir ditempat ini, seharusnya ia tahu wajah siapa yang akan membunuhnya.
"Apa? Bajingan? Lo yang bajingan," sahut gadis itu lagi. Lalu kembali ke kursi miliknya.
"Lo yakin mau tahu kita siapa?" tanya seorang lelaki, sambil diiringi senyuman smirk.
"Gue kira Lo banci doang, tapi Lo lebih dari sekedar banci, gue tahu Lo itu Althaf, dan Lo itu Vallery," sarkas Gwenda.
"OMG! Lo keren banget sih? Bisa ngenalin kita berdua." Vallery bersorak ria, lalu kembali bangkit menuju Gwenda. "Lo nggak nanya, kenapa disekap?" Vallery berbisik, tapi tangannya menarik rambut bagian belakang Gwenda, hingga membuat gadis itu kembali meringis.
"Untungnya buat Lo apa, sekap gue kayak gini? Mau minta tebusan? Udah basi." Gwenda berdecak kesal. Karna sedari tadi mereka tidak mengatakan alasan mengapa dia disekap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gwend || Ending
Teen Fiction"Manusia itu bukan Matematika yang didalamnya lebih dari satu rumus, yang bisa dengan gampang dijelaskan dengan logika." Gwenda Aquella Sachi. "Bahkan matematika pun tidak serumit cinta." Kamga Angelo.