Sejak kejadian itu, saat Kamga mengucapkan I Love You pada Gwenda, gadis itu terus saja tersenyum, apakah ini mimpi? Atau dirinya yang berhalusinasi? Tapi bayangan Kamga saat itu terus memenuhi otaknya.
Saat ini, Gwenda tengah duduk di balkon kamarnya, menatap kolam ikan dari atas. Wajahnya masih tersenyum indah.
"Gue nggak lagi berhalusinasi kan?" ucap Gwenda yang masih belum percaya sepenuhnya.
"Makanya jangan kebanyakan tidur!" Seseorang menimpali ucapannya, lalu berjalan mendekati Gwenda di balkon kamarnya.
"Apaan sih? Lo kok sering banget kayak jelangkung?" dumel Gwenda tanpa melirik kearah si empunya suara tadi. Karna ia sudah bisa menebak, itu pastilah Yona.
"Jahat banget sih Lo? Kalo gue nggak kesini, Lo bakal kesepian," ucap Yona dengan pedenya. Lalu gadis itu ikut duduk disebelah Gwenda.
"Yon, gue mau nanya." Gwenda membalikkan badannya, menatap Yona dengan serius.
"Apaan?" sahut Yona, sambil membuka tas lalu mengeluarkan benda pipih miliknya.
"Gue pernah nonton film, dimana ada seorang guru yang usil, suka banget ngerecokin muridnya, dan pada suatu hari, si guru biang recok itu nembak muridnya, menurut Lo itu logis nggak sih?" jelas Gwenda panjang lebar. Kali ini tatapan Gwenda semakin terlihat serius. Tapi sayangnya Yona tidak begitu serius menanggapi Gwenda.
Hening...
Satu menit sudah berselang, tapi Yona masih terfokuskan pada gadget pink miliknya. Gwenda menghela nafas kesal, bagaimana bisa Yona tidak mendengar ucapannya sejak tadi?
"Lo kalo nggak niat main mending pulang gih." Gwenda mulai tersulut emosi.
"Sorry," Yona meletakkan ponselnya, lalu menatap Gwenda, "bukannya Lo lagi ceritain diri Lo sendiri?" Yona mendelik, dan Gwenda langsung mengalihkan wajahnya gugup, karna tebakan Yona tepat saran.
"Bukan, kan gue lagi ceritain film, Yona!" elak Gwenda, kali ini tanpa menoleh Yona sedikitpun.
"Trus, gue percaya gitu? Setelah tahu masalah Lo sama pak Kamga?"
"Apaan sih?"
"Gwenda Aquella Sachi, elakan Lo nggak mempan di gue, jadi nggak usah sok mengalihkan fakta!" tutur Yona dengan raut wajah kesal.
Gwenda meremas kedua tangannya, saat ini ia sangat gelisah, bagaimana bisa Yona langsung menembak tepat sasaran begitu saja.
"Menurut gue, kalo Lo nyaman, Lo suka, ya terima aja, tinggal bilang alopyutu sama pak Kamga, masalah selesai. Guru sama murid yang lain? Nggak usah dipikirin, lanjut aja!"
Gwenda kaget mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yona. Sebenarnya itu lah yang menjadi masalahnya saat ini, Gwenda sempat berfikir, bagaimana jika nanti seluruh penghuni sekolah tahu? Sudah pasti dirinya akan menjadi topik hangat disekolah.
"Nggak segampang itu, Yon."
"Terus, Lo mau gitu? Di tikung sama Arinda?"
Gwenda mendelik, ia sama sekali tidak terfikir sampai kesitu, bahkan semua orang tahu jika Arinda memang lumayan dekat dengan Kamga. Dan Gwenda sama sekali tidak suka itu.
Gwenda terdiam, memutar kembali otak jahilnya, apa yang nantinya akan ia lakukan jika memang omongan Yona itu benar?
"Nggak usah nakut-nakutin deh, Lo."
"Realitanya memang seperti itu, Gwenda. Lo nggak lupa kan? Yang di kantin kemarin? Gimana Arinda ke pak Kamga? Masih yakin bakal baik-baik aja?" papar Yona, kali ini ia persis seperti kompor gas, dengan kata lain Yona sedang memprovokasi sahabatnya itu.
Gwenda kembali terdiam, berfikir sejenak, lalu. "Bener juga ya, trus gue harus gimana?" Gwenda berjalan masuk ke kamar, lalu merebahkan tubuhnya di kasur, meninggalkan Yona yang masih duduk di balkon.
"Gas keun, samperin, trus bilang i love you to, gampang kan?" Yona ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Gwenda.
"Caranya?"
"Lo bukan ABG yang masih puber, kayak nggak pernah pacaran aja Lo," kesal Yona, kali ini Gwenda benar-benar seperti orang yang baru jatuh cinta saja menurut Yona. Padahal sebelumnya saja Gwenda berpacaran dengan Vano, Kaka kelas mereka.
"Beda kali, Yon. Kemarin bukan sama guru," sungut Gwenda.
"Yang beda itu, kalo Lo pacaran sama alien, itu baru beda."
"Nggak usah ngelantur."
"Gini nih, berasa lagi ngajarin anak SD pacaran, tinggal jawab aja susah."
***
__ Kediaman Angelo.
Kamga tengah duduk diruang makan sambil memeriksa buku latihan muridnya. Pria itu terlihat sangat fokus, hingga ia tidak menyadari jika seseorang menghampirinya dan ikut duduk disebelahnya.
"Kamga, kapan nikah?"
Kamga menoleh kesal, pertanyaan apa itu? Bukankah selama ini dirinya sudah sering mengatakan kalau dia belum berniat untuk menikah, lalu apa pertanyaan ini?
"Jawab," desak wanita itu yang tak lain adalah Rere Oliver.
"Tidak untuk sekarang, mama!" sahut Kamga santai.
"Kalo bukan sekarang kapan? Besok pagi? Udah punya pacar ya? Kenalin dong ke mama!"
Kamga menghentikan kegiatannya, menatap kesal wajah Rere. "Mamaaaa, sejak kapan jadi wartawan?"
"Bukan wartawan, tapi mama serius, kamu kapan nikah?" Lagi, Rere kembali melontarkan pertanyaan yang sangat menyebalkan itu.
"Nanti kalo udah saat nya."
"Tapi kapan?"
"Bay The Way, aku udah beli tiket ke Manila!"
Deg!
Rere terdiam, tiket ke Manila adalah kalimat yang paling ia benci dari Kamga. Tapi kenapa Kamga dengan tega mengatakan itu lagi padanya?
"Mama bercanda, nggak usah diambil pusing!" alibi Rere, lalu menggaruk ceruk lehernya, kemudian merapikan rambut yang sama sekali tidak berantakan itu.
"Serius ma, aku udah bilang juga sama papa. Dan kata papa sih it's oke." seru Kamga, kali ini wajahnya sangat serius, Rere pun sangat tegang dibuatnya.
"Nggak usah bercanda, nggak lucu!" Rere kembali membuka suara, mencoba menetralkan kembali suasana yang sempat ia buat keruh.
"Nggak bercanda, nih mama lihat sendiri!"
Kamga menyodorkan ponselnya pada Rere. Sontak saja wanita cantik itu mematung, kehabisan kata.
"Nggak usah tegang gitu juga kali. Aku cuma sebentar kok balik ke Manila. Nanti juga balik lagi ke indo!" jelas Kamga, tangannya menarik kembali ponsel itu, lalu mengelus lembut punggung Rere yang saat itu masih mematung.
"Satu Minggu?" Rere menebak, berharap jika tebakannya itu benar.
"Tiga tahun, aku ada urusan disana." Kamga menjawab dengan serius. Bahkan lelaki itu tidak berani menoleh sedikitpun ke wajah Rere.
"Tiga tahun itu sebentar?" Rere masih shock. Matanya terlihat mulai berkaca-kaca.
"Iya, tiga tahun itu nggak akan lama!" lanjut Kamga lagi, meyakinkan Rere.
"Mama mau ikut aja."
"Terus papa gimana? Mama yakin mau tinggalin karier mama gitu aja? Lagian aku juga pulang kampung, bukan mau ke kutub Utara," papar Kamga lagi, pria itu kembali meyakinkan sang ibu, agar tidak perlu merisaukan dirinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gwend || Ending
Teen Fiction"Manusia itu bukan Matematika yang didalamnya lebih dari satu rumus, yang bisa dengan gampang dijelaskan dengan logika." Gwenda Aquella Sachi. "Bahkan matematika pun tidak serumit cinta." Kamga Angelo.