Part 22

42 4 0
                                    

Satu bulan kemudian sejak kejadian itu. Baik Gwenda maupun yang lain tidak pernah lagi berbicara dengan Althaf, meski Althaf kerap kali mencoba untuk berbincang sekedar menanyakan perihal sekolah, Dihan bahkan tidak menggubris sama sekali, begitu juga dengan Vion dan Yona. Dan Gwenda? Tidak usah diragukan lagi, gadis itu bahkan secara-terangan mengatakan jika dirinya tidak tertarik untuk beradu argumen dengan Althaf.

"Ini udah sebulan, kenapa belum ada kabar?" tanya Gwenda, ia sedang duduk dikursi diatas rooftop bersama ketiga temannya.

"Gue juga bingung. Mau tanya pak Kamga aja?" Dihan bertanya balik.

"Nggak usah,"sahut Gwenda dengan cepat.

"Lagian gengsi amat sih? Cuma nanya itu doang, yang nanya juga gue, bukan Lo. Padahal Lo kan pacarnya, kenapa sih?" monolog Dihan, tanpa embel-embel Bu bos.

"Gini yang gue demen, nggak pakek embel-embel!" imbuh Gwenda, sambil tersenyum tipis. Jika tidak memperhatikan secara detil, maka tidak terlihat sama sekali jika ia sedang tersenyum.

"Canda, lagian gue lebih seneng panggil Bu bos, tadi kepeleset lidah gue, saking kesel sama...." Dihan menggantungkan ucapannya, dan matanya melirik Gwenda sekilas.

"Gue?" Gwenda menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, emang sama siapa lagi? Lagian sama pacar sendiri pakek acara gengsian mulu, kayak ABG!" omel Dihan. Lalu menjatuhkan badannya disebelah Vion. Vion menatap sinis pada Dihan.

"Fungsi mata itu sebenarnya buat apa sih?" sungut Vion, tampak dari wajahnya jika saat ini ia sedang kesal.

"Untuk melihat, masa gitu aja pakek nanya, nggak gokil Lo!" timpal Dihan.

"Terus, gunanya mata Lo buat apa? Pajangan? Nggak lihat apa, jari gue penyet gara-gara Lo dudukin mang Juki," keluh Vion, lelaki itu menatap wajah Dihan dengan tajam, seakan ingin menelannya hidup-hidup.

"Alah, lebay amat Lo, gitu doang marah," sungut Dihan pula.

"Eh, akhir-akhir ini Vallery juga nggak pernah ngusik Lo lagi, Gwen. Apa udah tobat ya, tuh ondel-ondel?" Yona, gadis itu tengah asik dengan ponselnya pun membuka suara.

"Bagus, harusnya sih dari dulu, mungkin juga karna Vano udah berhenti buat deketin Bu bos, makanya dia berhenti." Vion ikut menimpali pembahasan Yona. Sambil sesekali ia menarik-narik helaian rambut Yona.

"Bisa nggak sih? Kalo mau ngebucin jangan disini?" protes Dihan, saat melihat Vion yang tengah asik dengan rambut Yona.

"Menganan atuh, jangan mengiri mulu!" timpal Yona pula, seakan tidak ambil pusing dengan ocehan Dihan.

"Makanya cari pacar, biar nggak jomblo mulu, emang enak lihatin orang pacaran mulu? Nggak panas gitu?" Vion sengaja memanas-manasi Dihan, karna ia tahu jika saat ini Dihan pasti sedang kebakaran jenggot setelah mendengar penuturannya.

"Wih, narsis amat lu jadi human," cetus Dihan. Lalu menoyor kepala Vion dengan telunjuknya, hingga membuat kepala Vion terbentur di kepala bagian belakang Yona.

"Aw, sakit tahu, Lo berdua apaan sih? Lo juga, sejak kapan gue jadi pacar Lo? Emang Lo udah nembak gue? Sampe segitunya Lo akuin gue sebagai pacar, situ nyadar nggak?" dumel Yona pula, gadis itu akhirnya buka suara setelah beberapa saat diam saat mendengar pengakuan Vion tadi.

"Hehe, lo mau nggak jadi pacar gue?" tanya Vion, meski terkesan candaan, tapi Vion serius saat menanyakannya pada Yona.

Yona menatap mata Vion dengan kesal. "Belajar dulu bisa nggak sih? Lihat tutorial kalo perlu, gimana cara nembak cewek yang romantis, ini nggak ada romantis-romantisnya," keluh Yona, lalu beranjak dari samping Vion. Vion yang mendengar pun langsung memerah, persis seperti kepiting rebus. Sindiran Yona sungguh menohok.

"Hahahaaa, kena azab Lo, emang enak?" Dihan menertawai Vion, yang berhasil kena skakmat oleh Yona.

"Lagian, tinggal jadian aja kok ribet amat sih?" sungut Gwenda, gadis itu mulai merasa pusing melihat kegaduhan yang teman-temannya buat.

"Lo mah enak, ditembak sama pak Kamga dengan cara sweet, lah gue? Nggak ada manis-manisnya." Yona memprotes ucapan Gwenda.

"Se sweet apa sih? Spil dong, biar jadi referensi buat si Vion, biar nggak kena geplak nanti sama Yona, hahaha!" Lagi Dihan menertawai Vion, saat ini Dihan terlihat cukup puas karna ekspresi Vion cukup menyedihkan menurutnya.

"Seneng amat lihat orang susah Lo!" cetus Vion, lalu bangkit dari duduknya dan berpindah didekat Yona.

"Cielah, kayak magic com Lo berdua. Nggak bisa dipisah sama centong nasi, hahahaa."

"Bisa diem nggak? Gua tabok tuh mulut, kalo masih ngoceh!" sarkas Yona pula.

"Santai atuh, neng geulis! Akang teh cuma bercanda," ujar Dihan, kali ini ia tampak sedikit mengalah, lebih tepatnya mencari posisi aman, karna wajah Yona saat ini sangat tegang.

"Yon, jangan ngambek yaa...." rengek Vion, sambil memasang muka melas dihadapan Yona.

"Masa bodo."

"Yona, Rayona Meichie Zehan, maafin yaaa, nanti gue janji, bakal nembak Lo dengan cara paling sweet!" Vion masih membujuk, kali ini Vion memohon sambil bertekuk lutut dihadapan Yona.

"Apaan sih, lebay. Cukup Yona. Nggak pakek nama panjang gue juga kali," sungut gadis itu, lalu mundur dua langkah.

"Maafin ya?" rengek Vion.

"Cieelah, alay amat si Vion. Nggak usah dimaafin Yon. Kalo gue jadi Lo, udah gue gampar si Vion." Dihan malah mengompori Yona. Sepertinya Dihan cukup terhibur dengan drama yang dibuat oleh Yona dan Vion.

"Diem Lo, nggak ada yang minta saran dari Lo ya, mang Juki!" ucap Yona dengan kesal.

"Ribet amat Lo berdua. Dihan, Lo ikut gue, males lihat drama mereka berdua," sungut Gwenda, lalu menarik tangan Dihan untuk turun bersama dengannya.

"Eh, drama nya belum kelar, sayang banget kalo dilewatin!"

"Dihaaaan, bisa diem nggak mulut, Lo? Gue gampar sekalian?" Gwenda menatap mata Dihan dengan tajam, langsung dengan seketika, Dihan terdiam.

***

"Sesuai planning, jangan sampai gagal, gue nggak mau tahu."

"Lo tenang aja, gue udah siapin semua secara rinci, nggak ada yang bisa nolongin dia kali ini."

"Gue nggak butuh omong doang, gue mau bukti. Kalo Lo nggak bisa kelarin masalah ini sebelum peringatan kematian nyokap bokap, gue pastiin Lo juga bakal kehilangan gue."

Rahang Althaf mengeras seketika, mendengar kalimat yang Vallery ucapkan sungguh sangat membuat dirinya tersulit emosi. Bukankah ia sudah melarang Vallery untuk mengatakan hal itu lagi? Tapi kenapa gadis itu cukup bebal?

"Lo ngomong apa? Ngomong apa Lo, dek? Gue udah bilang, jangan pernah ucapkan itu lagi, Lo lupa atau pura-pura lupa?" bentak Althaf, kali ini tangannya memegang lengan Vallery, mencengkeramnya dengan erat.

"Lepasin gue," ucap Vallery, seraya memukul Althaf dengan tangan yang satunya.

"Lo bebal, dek." Althaf melemahkan cengkeramannya.

"Sorry, gue nggak bisa mikir kalo masalah ini belum kelar." Vallery menatap Althaf dengan raut wajah memelas. Gadis itu tampak menahan kesedihannya.

"Kali ini semua bakal kelar. Kalo bukan mereka yang membusuk dipenjara, atau kita yang bakal nyusul bokap nyokap!"

Vallery memeluk Althaf dengan erat, lagi dan lagi ia menumpahkan semua kesedihannya. Althaf tidak mengeluarkan lagi sepatah kata pun. Ia hanya memeluk sambil sesekali mengelus pucuk kepala Vallery.

***

Gwend || EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang