Kini gadis itu sudah sampai dirumah. Setidaknya ia bisa merebahkan tubuh dan menenangkan sedikit pikirannya. Gwenda sudah memarkir motor nya di garasi, lalu ia masuk kedalam dengan langkah launglai.
"Gwen, kamu kenapa? Kok lemes gitu?" tanya Zeya, seraya berjalan mendekati anak gadisnya itu.
"Nggak apa-apa ma, aku mau istirahat aja," jawabnya dengan suara lirih.
"Ya sudah, kamu istirahat dikamar, nanti kalo butuh apa-apa kasih tahu mama!" seru Zeya sambil mengelus kepala Gwenda.
"Loh, kamu yang tadi kerumah kan?"
Langkah Gwenda terhenti, pendengarannya sepertinya belum bermasalah, tapi kenapa ia mendengar suara ibunya Kamga dirumahnya? Karna penasaran, gadis itu menoleh sekilas ke arah wanita tersebut.
"Eh, oh iya. Maaf ya Tante, tadi kesannya nggak sopan, maaf banget!" Gwenda sedikit tersenyum canggung, lalu melirik Zeya dengan intonasi menanyakan itu siapa?
"Oh, kenalin Gwen, ini temen mama," ujar Zeya, lalu mengajak Gwenda untuk duduk disofa.
"Halo Tante, aku Gwenda." Gadis itu sedikit menunduk, tapi wajahnya terlihat kaku.
"Ngomong-ngomong nih ya, kok kamu bisa ke rumahnya Tante Rere? Itu gimana ceritanya?" Selidik Zeya.
"Mama mau tahu banget? Nggak usah dijawab ya ma?" Gwenda memelas, bahkan wajahnya dibuat semelas mungkin.
"Kenapa gitu? Mama penasaran." Zeya sedikit memaksa, alisnya bahkan saling bertaut.
"Pacar Kamga kan?" tanya Rere sambil mengulum senyum.
Gwenda langsung mendelik mendengar pertanyaan Rere, lalu melirik Zeya dengan wajah menjebik.
"Serius? Kapan? Mama nggak tahu." Zeya terperanjat, karna sebelumnya ia masih mengira Kamga dan Gwenda masih berteman atau lagi pedekate doang.
"Maaah, udah ah," sela Gwenda sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.
"Kok kamu tahu, Re?" Zeya beralih pada Rere, mungkin di Rere ia akan menemukan jawaban.
"Aku juga baru tahu tadi, pas dia dateng kerumah sambil tergesa-gesa, panik sih lebih tepatnya, karna Kamga pergi," jelas Rere, tapi diujung kalimatnya Rere terdengar lirih, bagaimana dia tidak sedih, jika Kamga kembali ke Manila.
"Pergi? Kemana?" Zeya semakin penasaran.
"Balik kampung, aku ke kamar ya, Tante maaf ya, aku tinggal dulu," ucap Gwenda, lalu beranjak ke kamar nya.
"Kalo aku tahu pacar Kamga itu anak kamu, mana mungkin aku maksa jodohin Kamga sama yang lain!" Seru Rere dengan antusias.
"Bener juga, tapi aku masih nggak percaya, kok bisa anak kamu kepincut sama anak aku yang modelan gitu? Nggak ada manis-manisnya jadi cewek, suka balapan, suka taekwondo, suka bolos, bahkan nama dia udah masuk blacklist disekolah." Zeya bicara panjang lebar mengenai anaknya, dan sedangkan Rere begitu setia mendengar perkataan Zeya.
"Nggak usah ghibah, aku denger dari sini!" Gwenda memekik dari lantai atas, mungkin Rere dan Zeya tidak mengira jika pembicaraan mereka terdengar sampai ke kamar Gwenda.
Zeya dan Rere saling lempar tatap, lalu mereka tertawa secara bersamaan.
"Bisik-bisik aja, biar nggak denger!" Usul Rere, sepertinya wanita itu cukup tertarik mendengar tentang Gwenda.
"Oke!" Zeya mengacungkan jempol sambil mengangguk.
"Kok bisa, Gwenda suka balapan?" Lanjut Rere lagi.
"Sejak lulus SMP, karna saat itu keluarga kami sedang bermasalah, dan berimbas pada Gwenda. Dari situ dia sering kelayapan, balap liar, juga berubah jadi badgirl. Dan titik yang paling rendah saat Gwenda mengalami kecelakaan setahun yang lalu, sampai ia lumpuh beberapa bulan." Zeya mengatupkan bibirnya, matanya berkaca-kaca saat mengingat kejadian itu.
"Lumpuh?" Rere seakan tidak percaya. Tapi saat melihat raut wajah Zeya yang begitu terpukul membuat dirinya mengangguk pelan setelah itu.
"Iya, dan yang buat Gwen kecelakaan, dia tidak bertanggung jawab, malah ninggalin Gwen dijalan tanpa membawanya kerumah sakit." Lanjut Zeya, tangannya menyeka air yang mulai tumpah di pipinya.
"Oh my got, sadis banget. Kenapa nggak di bawa kejalur hukum?"
"Itu hanya akan menambah masalah, karna Gwenda juga salah, dia ikut balap liar. Kami tidak mau mengambil keputusan yang salah dengan membawa kasus ini kejalur hukum."
"Turut prihatin, Zeya. Semoga kedepannya nanti Gwenda bisa jadi lebih baik lagi, nggak balapan lagi," tutur Rere, wanita itu mendekat, lalu memeluk Zeya dengan erat.
***
"Al, kok Lo pindah sekolah sih?" tanya Dihan, kepo.
"Bosen disekolah yang lama, makanya pindah," alibinya. Padahal sudah jelas ia pindah karna Gwenda.
"Bukannya sekolah Lo yang dulu itu elit? Lebih elit malah," ujar Dihan, sambil menyeruput es teh manisnya.
"Nggak juga. Oh iya, sejak kapan Lo sama Gwenda temenan?" Althaf mulai mengorek seputar Gwenda. Dan Dihan langsung mendelik saat mendengar pertanyaan Althaf.
"Baru, palingan juga udah sebulan yang lalu, itu pun karna nggak punya malu, maksa gue, hahaha!" Dihan tertawa, mengingat bagaimana saat dirinya memohon agar Gwenda mengizinkan dirinya untuk bergabung.
"Rekomendasiin gue dong," pinta Althaf dengan serius, tapi langsung dijawab dengan gelengan kepala oleh Dihan.
"Kenapa?"
"Nggak berani, Gwenda itu killer soalnya, salah dikit, bisa kelar fungsi anggota tubuh gue!" jelas Dihan, tanpa melihat wajah Althaf, karna sedang asik menikmati makanannya.
Ngomong-ngomong soal Dihan dan Althaf bisa bertemu, itu tanpa sengaja, kebetulan setelah mengantar Yona pulang kerumahnya, Dihan meminta Vion untuk menurunkan dirinya disalah satu coffeshop. Dihan bukan tidak mengajak Vion, tapi Vion berhubung sedang ada urusan lain, jadi Dihan memilih sendiri saat itu.
Kebetulan saat itu Althaf sedang berada di coffeshop itu juga, jadi Dihan memilih untuk duduk dimeja yang sama dengan Althaf.
"Emang Gwenda sekiller itu apa? Nggak punya pacar dong?"
"Punya," Dihan menghentikan ucapannya, lalu "tapi udah putus!" Untung saja ia cepat meralat, karna takut pada Gwenda. Bisa saja apa yang Yona katakan tadi di mobil bisa kenyataan.
Ingat, jangan sampai ada yang tahu selain kalian berdua, kalo ada yang tahu, kelar idup Lo....
Ya, itu kalimat yang Yona katakan, untung saja Dihan mengingatnya, jadi rahasia itu tidak sampai terbongkar.
"Putus? Sama siapa?"
"Sama Vano, manusia paling brengsek seantero sekolah, kapten tim basket."
"Waaw, banyak yang incer dong, si Vano."
"Nah itu, syukur banget Gwenda putus sama Vano, nggak rela gue, Gwenda dikhianati secara bejat sama tuh manusia."
"Maksud Lo?"
"Dah, lupain aja, nggak usah gosip, kayak cewek! Eh, ntar deh, gue coba ngomong sama Yona, mana tahu Yona bisa sampaikan ke Gwenda!"
"Yona? Yang kemarin itu? Yang kata Lo cewek cempreng?"
"Iya, dia yang paling deket sama Gwen. Gue sama Vion mah, nggak ada apa-apa dibanding Yona!"
"Minta kontak nya Yona dong!" Althaf menyodorkan ponselnya pada Dihan. Dan langsung disambut oleh nya.
"Nih, udah. Jangan sampe Lo pacarin, punya Vion tuh," seru Dihan, memperingati Althaf.
"Udah jadian? Kalo belum ya nggak masalah dong, saing secara sehat!" imbuh Althaf, lalu memasukkan kembali ponselnya kedalam saku jacket.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/353208489-288-k526135.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gwend || Ending
Подростковая литература"Manusia itu bukan Matematika yang didalamnya lebih dari satu rumus, yang bisa dengan gampang dijelaskan dengan logika." Gwenda Aquella Sachi. "Bahkan matematika pun tidak serumit cinta." Kamga Angelo.