Sudah satu Minggu berlaku sejak kejadian di wahana biang lala, Gwenda masih tetap bersikap acuh pada Kamga, pun dengan Kamga, lelaki itu seolah enggan untuk menyapa gadis itu. Sebenarnya Kamga tidak lagi mempermasalahkan kejadian itu, hanya saja ia ingin membuat Gwenda menyadari kesalahannya dan berinisiatif untuk meminta maaf padanya.
Memendam rindu bukanlah hal yang mudah bagi seorang Kamga Angelo, buktinya sampai detik ini pria itu masih saja melamunkan Gwenda. Rindu ingin menjahili dan mengusik gadis itu lagi, tapi lagi-lagi egonya kembali menahannya agar tetap bersikap acuh pada Gwenda.
Di Baris paling belakang, Gwenda menatap setiap inci tubuh Kamga, entah apa yang saat ini tengah ia pikirkan, yang jelas ada sedikit yang aneh dalam dirinya selama satu Minggu ini.
"Semua sudah mengerti?" tanya Kamga pada semua murid kelas itu.
"Sudah, pak." sahut mereka secara bersamaan.
"Arinda, ada yang ingin ditanyakan lagi?" mata Kamga menuju pada gadis yang duduk di bangku paling depan.
Arinda mengangkat sedikit kepalanya. "Tidak ada, pak!" sahutnya dengan iringan senyum mengembang.
"Kalau ada yang ingin ditanyakan, langsung saja, atau bisa jumpai saya di ruangan guru!" Lagi, Kamga menawarkan pada Arinda Azzalea, salah satu siswi yang berprestasi disekolah itu.
"Waaah, kode nih, kayaknya ada aroma mengangumi," oceh Dihan, murid paling somplak dikelas itu.
"Jangan lupa pajak, pak!" lanjut Vion yang tak kalah heboh dari Dihan.
"Cih," desis Gwenda yang nyaris didengar oleh Lona.
"Kenapa, Gwend?" Lona melirik Gwenda sesaat, lalu kembali fokus pada wajah Kamga.
"Kepo, Lo." sungut Gwenda pula, lalu merebahkan kepalanya dimeja. Sementara Lona? Ia hanya menggeleng heran melihat tingkah Gwenda.
Bel istirahat sudah berbunyi, Kamga sudah meninggalkan ruangan kelas itu lima menit sebelumnya.
Gwenda masih tetap duduk di bangku dengan kepala direbahkan dimeja. Lona, gadis itu menatap heran sahabatnya, yang menurutnya Gwenda saat ini bukan lah Gwenda yang selama ini ia kenal. Gwenda yang tidak pendiam.
"Lo ada masalah?" Lona membuka suara, setelah beberapa saat diam memperhatikan Gwenda.
"Enggak," jawabnya singkat.
"Nggak kayak biasanya."
"Masa bodo, gue mau ke toilet," ujar Gwenda, lalu berdiri dan diikuti oleh Lona.
Gwenda sudah berada di toilet, langkahnya tercekat saat sebuah tangan menariknya. Gwenda memutar bola matanya dengan malas, gadis itu benar-benar enggan hanya untuk melihat wajah orang tersebut.
"Mau apa lagi sih, Lo?" sungut Gwenda dengan malas.
"Gue mau kita balikan, Gwend." Vano menatap wajah Gwenda dengan penuh penekanan. Tapi dibalas malas oleh Gwenda.
"Neg gue, lihat muka Lo yang tebel," geram Gwenda, sementara tangannya terus berusaha lepas dari cengkraman Vano.
"Gwend, gue nggak mau putus dari Lo, kita lupain semuanya, kita ulang dari awal lagi, oke?" tuntut Vano lagi, sepertinya dirumahnya memang sudah tidak ada lagi kaca untuk bercermin.
Dan apa tadi katanya? Lupain dan mengulang semua dari awal? Jika menurut begitu saja, sudah sangat jelas itu bukanlah Gwenda. Mana mau gadis itu kembali bersama dengan lelaki yang sudah dengan sengaja berkhianat padanya.
"Denger baik-baik, gue nggak butuh cowok yang nggak punya otak kayak Lo, bisa-bisanya Lo bilang untuk lupain semua dan ngulang semua dari awal, helloo.... cinta itu boleh pakek hati, tapi jangan lupa logika, biar nggak bodoh!" sungut Gwenda, lalu melepas paksa tangannya, lalu pergi meninggalkan Vano yang masih berdecak kesal padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gwend || Ending
Teen Fiction"Manusia itu bukan Matematika yang didalamnya lebih dari satu rumus, yang bisa dengan gampang dijelaskan dengan logika." Gwenda Aquella Sachi. "Bahkan matematika pun tidak serumit cinta." Kamga Angelo.