Selepas kepergian Kamga, Gwenda tidak langsung pulang kerumah, melainkan ke dermaga. Tempat yang pernah menjadi saksi atas kata cinta yang pernah Kamga ucapkan padanya.
Sedih? Sudah jelas, tapi bagaimana nantinya ia bisa menikmati rindu itu? Sedangkan yang dirindu sudah jauh darinya?
Gwenda duduk diatas motornya, menatap hampa gulungan ombak. Memorinya seketika itu kembali memutar saat bersama dengan Kamga, saat menghabiskan waktu bersama dengan sejuta rasa saat itu.
Flashback...
"Gwen, ayo dong, jangan manyun aja, sini duduk!" Kamga memanggil dari ujung dermaga, mengajak Gwenda untuk duduk disana.
"Males gue," sahutnya ketus.
"Disini enak tahu, seru, bisa lebih dekat sama air," seru Kamga lagi, belum berhenti memaksa gadisnya itu.
"Udah bosan idup Lo?" Gwenda memutar bola matanya, melihat Kamga dengan kesal.
"Ayo, nggak usah banyak ngeles Lo." Kamga kemudian berdiri dari duduknya, lalu berjalan kearah Gwenda, menarik tangannya.
"Lepasin, gue teriakin begal Lo." Gwenda mengancam dengan satu jari telunjuk mengacung tepat di wajah Kamga. Kamga hanya menyeringai sekilas.
"Lo kira gue takut?" Balas Kamga pula, lelaki itu makin mempererat tarikannya, hingga tubuh Gwenda terpaksa mengikut.
"Duduk disini tuh enak tahu, bisa lihat ombak dari dekat, malah kadang-kadang juga ada ikan yang suka lewat." Cerita Kamga, sambil sesekali melirik wajah Gwenda yang saat itu sedang dipenuhi oleh rambut, karna terpaan angin.
"Berisik Lo," sungutnya.
"Eh, Lo kok dingin banget sih, jadi cewek?"
"Terus, Lo mau gue agresif gitu? Eh Kamga, Lo nggak usah ngatur-ngatur gue, mentang-mentang guru, jangan seenaknya sendiri ngatur, ini bukan lagi kawasan sekolah." Gwenda mendikte Kamga, seolah-olah dirinya lah yang menjabat sebagai guru. Sedangkan Kamga? Ia hanya menyeringai kuda, lalu membenarkan rambut yang menutupi wajah cantik gadis itu.
"Nggak usah modus!" sergah Gwenda, tangannya menepis keras tangan Kamga, dan Kamga pun hanya mengangguk pelan dan kembali tersenyum.
"Modus dari mana coba?" elaknya. Padahal memang iya, jika dirinya memanfaatkan situasi saat itu.
"Lo sengaja kan? Ngajak gue kesini karna angin lebih kenceng disini? Biar bisa megang-megang muka gue? Ngaku Lo?"
"Kalo iya, Lo mau apa?"
"Mau gue cemplungin ke laut."
"Setelah itu, surat kematian langsung keluar dari rumah sakit. Kamga Angelo, meninggal jam sekian dimenit sekian, pada hari sekian dan tanggal sekian!" Kamga mengoceh persis seperti mak-mak yang lagi minta diskon ke akang bakso. Gwenda melirik sekilas, merasa aneh dengan pria yang sedang bersamanya itu.
"Sekian Lo banyak banget." Protes gadis itu, lalu menoyor kepala Kamga seenaknya sendiri.
"Ha kan, Lo emang niat banget kayaknya, buat bunuh gue!" Lagi, Kamga seolah bersikap santai dengan ucapannya. Tapi itu cukup menyita indera pendengaran Gwenda.
"Lo tuh kenapa sih? Suka banget maksa?" Kali ini Gwenda menatap lekat wajah Kamga, menunggu jawaban yang akan Kamga berikan untuknya.
"Karna gue suka sama Lo!"
"Gue masih bocil!"
"Keren ya, ada bocil yang baru putus dari pacarnya?"
Apa? Putus? Gwenda mendelik kan matanya, darimana si guru itu tahu jika dirinya baru saja putus dari Vano beberapa waktu yang lalu? Dan bagaimana Kamga bisa tahu? Apa gosip dirinya putus dengan Vano sudah menyeruak ke seluruh telinga warga sekolah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gwend || Ending
Teen Fiction"Manusia itu bukan Matematika yang didalamnya lebih dari satu rumus, yang bisa dengan gampang dijelaskan dengan logika." Gwenda Aquella Sachi. "Bahkan matematika pun tidak serumit cinta." Kamga Angelo.