Part 7

1.7K 127 12
                                    

Syafa menutup pintu kamarnya, ia berbalik dan sedikit terkejut melihat Zelin sudah duduk di pinggir ranjangnya. Anak itu menatapnya tajam sambil bersedekap. Pipinya yang gembul membuatnya bertambah lucu ketika merajuk. Dan Syafa setengah mati menahan tawa agar Zelin tidak bertambah marah.

"Ada apa Zelin? Kau belum mengantuk?" Tanya Syafa basa-basi. Ia tidak tahu harus berkata apa karena takut Zelin bertambah marah.

"Kakak, aku menyukai Om Alex. Jadi, sebaiknya kakak menjauhi Om Alex karena Zelin cinta sama Om Alex. Cinta pada pandangan pertama."

Rasanya Syafa ingin kencing di celana saat mendengar omongan ngawur Zelin. Namun, karena Zelin terlihat sangat serius, Syafa akhirnya mati-matian menahan tawanya. Ia kemudian duduk di samping Zelin, dan mengelus rambut adik sepupunya itu.

"Jadi, kau menyukai Om Alex? Bukankah kau kemarin baru putus dari pacarmu?" Tanya Syafa kemudian. Berusaha sebaik mungkin agar nyambung dengan omongan Zelin, meskipun dalam hati, ia tertawa sambil menahan kencing.

"Iya. Dia membuatku ilfil. Laki-laki harusnya cerdas, tidak minta bantuan perempuan. Tapi, dia minta contekan dariku. Dan setelah ulangan selesai, aku langsung memutuskannya." Ucap Zelin jumawa, sangat bangga karena di sekolah banyak yang menyukainya. Selain pintar, Zelin juga sangat cantik dan menggemaskan. Itu menurut pendapat Zelin.

"Lalu, kenapa kau sangat menyukai Om Alex? Bukankah ia terlalu tua untukmu." Zelin kembali merengut mendengar perkataan Syafa. Alex tidak tua. Itu hanya masalah umur dan akan sangat serasi jika Zelin sudah dewasa nanti.

"Om Alex tidak tua. Umur hanyalah angka. Aku yakin jika kami bersama, akan jadi sangat serasi. Jadi, aku harap kak Syafa tidak mendekati dan menggodanya. Om Alex milikku."

Meskipun menahan tawa, Syafa mengangguk. Ia membenarkan bando Zelin yang sedikit miring, kemudian menata anting Zelin. Syafa juga tidak mengatakan bahwa sandal pink yang dipakai Zelin modelnya beda sebelah. Jika Zelin sampai tahu penampilan sempurnanya di rusak oleh sandal, anak itu pasti akan meraung-raung di hadapannya.

"Kak Syafa mengerti kan?" Tanya Zelin mempertegas. Ia benar-benar tidak ingin Om Alex-nya di rebut oleh sepupunya sendiri. Jadi mulai dari sekarang, ia akan protektif pada calon kekasihnya itu.

Syafa mengangguk sambil tersenyum, menahan tawa sedari tadi. Andai Alex tahu ada seorang anak kecil yang bucin parah padanya, pria itu pasti akan pingsan saking kagetnya.

"Ya sudah. Aku mau mengerjakan PR matematika dulu. Besok aku ada ulangan. Da Kak Syafa."

Syafa kembali mengangguk, ia memperhatikan Zelin yang keluar dari kamarnya. Setelahnya, Syafa tertawa sendiri. Hiburan tersendiri bisa berbicara dengan Zelin seperti tadi. Dulu, ia juga periang seperti Zelin. Cinta setengah mati pada seorang pria. Sama seperti Zelin sekarang.

Namun, ia malah berakhir terpuruk dan sakit hati. Sifat ceria dan periangnya hilang seketika, berganti dengan sikap datar dan dingin karena rasa sakit yang masih terasa meskipun sudah bertahun-tahun. Syafa harap suatu saat nanti, rasa sakit ini akan hilang dan ia mendapatkan kebahagiaan. Hal semestinya yang bisa ia dapatkan andai saja ia tidak jatuh cinta pada orang yang tidak tepat saat umurnya bahkan belum dewasa.

**

Revan menatap cermin yang memperlihatkan keningnya yang masih di tutupi perban. Ia menatap tangannya yang meninggalkan luka lecet-lecet meskipun tidak parah. Revan tidak menyangka, tubuhnya saat ini di obati oleh Syafa. Meskipun sudah bertemu sebelumnya, tetap saja ia terkejut saat berhadapan langsung dengan wanita itu.

Syafa Armita Radjasa, gadis centil yang dulu mengejarnya setengah mati, kini tampak sangat acuh padanya. Saat itu, sepuluh tahun yang lalu, mereka berpisah dalam keadaan Syafa sangat membencinya. Revan memanfaatkan wanita itu untuk balas dendam. Dan itu adalah kesalahan terbesar yang pernah di buatnya.

Revan tidak menyangka, Syafa adalah putri dari dokter Salman, pria yang sangat berjasa dalam hidupnya. Dokter Salman sudah menyelamatkan nyawanya, nyawa Friska dan juga Zafran. Ibarat air susu dibalas air tuba, Revan malah membalas kebaikan dokter Salman dengan menyakiti putrinya. Jiwa remajanya saat itu tidak berpikir panjang, dan berujung penyesalan seumur hidup seperti sekarang.

Sebenarnya Revan ingin sekali meminta maaf pada Syafa, mengatakan pada wanita itu bahwa ia sangat menyesal. Namun, jiwa gengsinya terus menahannya sampai sekarang. Ia khawatir Syafa tidak mau memaafkannya dan malah mengejek permintaan maafnya. Dari pada seperti itu, Revan memilih diam hingga sekarang. Ia tidak sudi membayangkan permintaan maafnya yang tulus jadi bahan hinaan.

Suara deringan ponsel membuat perhatiannya teralih. Revan melihat pesan dari sekretarisnya. Sebuah undangan pesta peringatan ulang tahu perusahaan dari rekan bisnisnya. Revan hanya melihatnya sekilas kemudian mengabaikannya.

Sebenarnya ia malas datang ke acara-acara seperti itu. Namun, terkadang ayahnya mendesak. Dalam dunia bisnis, terkadang basa-basi sedikit diperlukan. Karena keuntungan terkadang bisa di dapatkan dari kesempatan-kesempatan seperti itu.

**

Syafa selesai menjahit luka dari seorang anak kecil yang terjatuh. Ia melepaskan masker dan sarung tangannya. Sudah pukul lima sore dan sudah waktunya pulang. Ia tidak ada piket hari ini.

Berjalan di lorong rumah sakit, ia hanya mengangguk pada beberapa dokter dan suster yang lewat. Mungkin banyak yang asing dengan keberadaannya. Meskipun ia putri pemilik rumah sakit, namun ia bukan sosok yang ramah. Syafa hanya bicara seperlunya. Beberapa orang mungkin menilainya angkuh karena tidak pernah berbasa-basi dengan seniornya. Ia hanya bicara seperlunya dan memang itulah karakternya.

Syafa masuk ke dalam ruangannya. Terduduk sebentar, ia membuka laptopnya. Sebentar lagi ia akan mengambil spesialis. Perjalanan pendidikannya masing panjang. Dan alasan lain ia memutuskan untuk kuliah di dalam negeri cukup sederhana, ia bosan diluar negeri sendirian.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Syafa beranjak. Ia harus pulang naik taksi karena ayahnya ada pasien operasi. Melepaskan jas putihnya, ia kemudian berjalan keluar dari ruangannya. Beberapa perawat kembali menyapanya dan Syafa hanya mengangguk singkat. Jika saja ia bukan putri pemilik rumah sakit, ia yakin akan di tendang oleh para seniornya kerena sikap dinginnya.

Sampai di luar rumah sakit, Syafa sedikit terkejut saat seseorang melambaikan tangan padanya. Ia mengernyit heran, menatap Alex yang berlari kecil ke arahnya sambil tersenyum hangat. Pria itu tampak tampan dengan stelan jas warna hitam dan kemeja merah maroon dengan dasi warna senada.

"Hai, kita ketemu lagi." Alex tersenyum ramah, sementara Syafa hanya menatapnya datar.

"Kamu kok ada di rumah sakit?" Tanyanya kemudian setelah mereka sama-sama saling terdiam.

"Tadi aku ada rapat di gedung sebelah rumah sakit ini. Pas aku lewat sini, eeeh lihat kamu dari jauh. Aku nepi sekalian. Kamu bawa mobil?"

"Nggak. Tadi sama papa."

"Oke. Aku anter."

"Tapi ___"

"Pumpung aku lewat. Please jangan nolak."

Dan Syafapun akhirnya berjalan mengikuti Alex meskipun ogah-ogahan. Mereka baru kenal dan Syafa tidak suka berurusan dengan orang asing. Namun karena tidak enak menolak, akhirnya Syafapun naik ke mobil pria itu.

Ia tidak tahu, dari kejauhan ada yang memperhatikan lekat padanya. Tangannya mengepal dan urat-urat lehernya menonjol. Matanya memerah karena menahan rasa kesal yang entah kenapa tiba-tiba membuncah di dadanya.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang