Part 16

1.7K 121 7
                                    

Revan meraba tempat tidur disebelahnya. Ia mengernyit dengan mata yang masih mengantuk. Membuka matanya, Revan menatap ranjang di sebelahnya sudah kosong. Ia langsung terduduk dan meraih selimut, menutupkan kain itu ke pinggangnya.

Menyadari Syafa sudah tidak ada di sampingnya, Revan melihat jam. Ternyata sudah jam 7 pagi. Ia terbangun kesiangan. Revan menyingkap selimutnya kemudian segera meraih celana pendek lalu mengenakannya. Ia terduduk di pinggir ranjang, menyugar rambutnya kasar dan meraih ponsel. Revan menghubungi sekretarisnya dan mengabari jika ia akan terlambat berangkat ke kantor.

Revan menatap dimana Syafa menjemur pakaiannya kemarin. Sudah tidak ada. Wanita itu benar-benar sudah pergi. Sialan. Revan kecolongan. Mereka berdua harus bicara setelah apa yang terjadi semalam. Revan tidak mau dikira bajingan yang tidak bertanggung jawab.

Beranjak dari ranjang, Revan menuju kamar mandi untuk membilas tubuhnya. Air dingin dari shower benar-benar tidak bisa meredakan gairahnya. Sialan Syafa. Bagaimana setelah ini Revan menjalani hari-harinya jika setiap mengingat kejadian semalam ia selalu bergairah.

Revan keluar dari kamar mandi, ia mengusap tubuhnya dengan handuk kemudian memakai pakaian yang semalam ia pakai. Masa bodoh jika ia jadi buah bibir karena dari kemarin tidak ganti baju. Dan hal lainnya yang tak kalah penting, ia harus menghubungi papanya, mengatakan jika ia terjebak macet dan semalam tidak bisa pulang. Karena sibuk lembur, ia sampai lupa mengabari papanya.

Revan check-out dari hotel. Ia menuju basement lalu memasuki mobilnya. Melajukan mobilnya, Revan benar-benar tidak bisa tenang menyetir. Kegilaannya dan Syafa semalam benar-benar menyiksanya. Bagaimana mungkin mereka kembali tidur bersama sedangkan hubungan mereka belum membaik. Bukan cuma belum membaik, bahkan hubungan mereka bisa di katakan buruk.

Sesampainya di kantor, setumpuk pekerjaan menyambutnya. Reza, asistennya bahkan sudah membacakan jadwal rapat yang teramat padat. Namun Revan sedikit lega, setidaknya seabrek kegiatannya ini mampu meredam gairah dan emosi yang datang bersamaan menumpuk di dadanya.

Dalam hati, Revan bersumpah kali ini tidak akan membiarkan Syafa lari lagi darinya. Mereka berdua harus bicara empat mata mengenai banyak hal. Terutama tentang semalam. Melihat bagaimana wanita itu meresponnya, Revan yakin perasaan di antara mereka belum berakhir sama sekali.

**

Syafa menatap dirinya sendiri di depan cermin. Dengan masih memakai bathrobe, ia sedikit kebingungan karena harus menutupi tanda kismark yang di tinggalkan Revan di lehernya. Jika sampai orang rumah melihat ini, pasti semuanya akan heboh.

Untung saja saat pulang tadi, orang-orang rumahnya masih tertidur. Hanya para pelayan yang sudah bangun. Jadi tidak ada yang menanyainya atau melihatnya minum pil pencegah kehamilan darurat. Lagi pula Papanya pasti sudah mengomeli mamanya semalam, jadi semua orang sudah pasti tahu alasannya tidak bisa pulang. Mungkin setelah ini Syafa harus meminta maaf pada mamanya karena menyebabkan mamanya sering diomeli.

Syafa mulai mengaplikasikan foundation ke lehernya. Bagian-bagian yang tampak oleh tanda sialan itu harus ditutupi. Agak sulit dan Syafa harus telaten agar tanda itu benar-benar tidak terlihat.

Setelah selesai, ia segera memakai kemeja dan roknya. Mungkin semua orang sudah menunggunya dimeja makan. Dan ia juga harus segera ke rumah sakit karena jadwalnya hari ini lumayan padat.

Syafa menuruni tangga, ia langsung tersenyum kala menyadari semua orang memang sudah berada di sana. Syafa mempercepat langkahnya dan mencium pipi papa dan mamanya begitu tiba di meja makan. Aura mamanya terlihat dingin, sudah dipastikan semalam terkena omel.

"Pagi semuanya." Sapa Syafa setelah dirinya duduk di kursi.

"Pagi Kak. Jam berapa kakak pulang? Aku nggak lihat." Ega menyindir, sepertinya adiknya itu sedikit kesal mamanya kembali kena omel karena dirinya.

"Jam 6. Semua masih tidur."

"Kamu semalam bikin kami semua cemas. Lain kali jangan di ulangi." Ucap kakeknya yang sedari tadi duduk di meja, menunggu neneknya mengambilkan nasi dan lauk. Makanan berat di pagi hari.

"Maaf kek. Tadi malam ada pasien mendadak. Tadinya aku ingin segera ke sana. Eeeh, malah kejebak macet."

"Fa, lain kali jangan gitu lagi. Mama pusing kalau papa kamu uring-uringan. Mama sampai kurang tidur."

"Maaf, Ma. Bukan maksudku bikin mama di omeli. Tapi keadaan semalam emang darurat banget. Tiba-tiba hujan deras, pohon tumbang, jalan longsor. Jadi kejebak di tengah-tengah."

"Syukurnya kamu dapet penginapan kan Fa?"

"Dapet Nek. Setelah aku pada kehabisan. Mereka banyak yang tidur di lobi hotel karena kejebak."

"Papa nggak mau kamu gitu lagi. Lain kali, kemana-mana sama sopir. Jadi kamu nggak kebingungan sendiri."

"Maaf Pa. Semalam nggak terduga. Aku juga nggak nyangka hujan bakal sederas itu."

"Ya udah, sekarang kita makan. Syafa sudah pulang dalam keadaan baik tanpa kekurangan apapun. Jadi jangan dibahas lagi masalah itu." Sarah akhirnya menengahi, jika terus membahas kejadian semalam, mereka semua tidak kunjung sarapan.

Akhirnya mereka semua sarapan dengan tenang. Setelahnya, Syafa berangkat ke rumah sakit dengan papanya. Salman tampak seperti biasanya, datar tanpa ekspresi. Setelah sepuluh tahun yang lalu, papanya memang berubah drastis. Mereka berdua berada di dalam mobil dengan suasana hening.

"Pa."

"Iya sayang."

"Tadi malam, Papa marah sama Mama?"

"Sedikit. Mama teledor jaga kamu."

"Pa, Mama nggak teledor. Aku yang pengen ke rumah sakit sendiri."

"Jangan diulangi lagi. Papa sangat cemas. Lain kali kalau nggak minat ke pesta, nggak usah ikut. Mereka semua nggak akan ada yang berani maksa kamu."

"Iya Pa."

Syafa malas berdebat. Sifat overprotektif papanya sedikit keterlaluan. Namun apa daya, rasa trauma yang mendalam membuat papanya jadi berubah seperti itu. Ini seratus persen kesalahannya. Jadi, Syafa memilih diam saja dengan perubahan sikap papanya. Terkadang Syafa kasihan pada mamanya dan Ega yang kaget dan susah beradaptasi dengan perubahan sikap baru papanya, meskipun hal itu sudah berlangsung sepuluh tahun lamanya.

Keduanya tiba di rumah sakit setengah jam kemudian. Syafa turun dan berpamitan pada papanya menuju ruangannya. Pasien-pasiennya sudah menunggu untuk di periksa.

Syafa masuk ke dalam ruangannya, dan seperti biasa, rutinitasnya memeriksa pasien di mulai. Satu persatu dari yang keluhannya biasa hingga serius. Beberapa orang ia rujuk ke spesialis karena kondisinya buruk. Pasiennya hari ini lumayan banyak dan membuat Syafa cukup kelelahan.

Dan pasien terakhir kembali membuat mata Syafa melotot. Pria itu, yang tadi malam tidur satu ranjang dengannya, kini kembali berdiri angkuh di hadapannya. Menatap Syafa dengan tatapan intimidasi seperti biasanya.

Mau apa lagi pria itu kemari? Jangan bilang pria itu bukan periksa dan hanya membahas kejadian semalam. Sungguh jika hanya seperti itu, Syafa benar-benar malas dan tidak ingin membahasnya sekarang.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang