Part 22

1.3K 124 4
                                    

"Ada apa lagi kau kemari? Aku benar-benar muak denganmu. Jangan bilang kau ingin kontrol, kau sudah baik-baik saja." Syafa tampak kesal menatap Revan yang tiba-tiba masuk tanpa permisi.

Pria itu berjalan mendekatinya, menatap datar pada Syafa yang baru saja menutup ponselnya. Mereka saling bertatapan sengit, membuat Syafa semakin ingin menendang Revan keluar dari ruangannya.

"Sebenarnya apa maumu datang kemari? Jika hanya iseng, sebaiknya keluar dari sini!!"

Revan menghembuskan napas berat. Tidak ada gunanya ia berusaha menahan segala perasannya selama ini. Ia menyukai Syafa, sejak dulu, sejak gadis belia itu mengejar-ngejarnya dulu. Hanya saja, dulu Revan terlalu gengsi, di tambah dendamnya pada Rafael, membuat cintanya pada Syafa tertutup kebencian.

Tapi sekarang, ia benar-benar tidak rela Syafa berdekatan dengan pria lain. Apalagi sampai bergandengan tangan dengan pria lain. Selama sepuluh tahun ini, tanpa di ketahui siapapun, ia selalu ke London, melihat keadaan Syafa dari kejauhan seperti orang gila. Dan sekarang ia tidak bisa menahan kegilaan itu lagi.

"Keluar!!"

Revan mengabaikan pengusiran Syafa. Ia meraih tubuh wanita itu, menghimpitnya ke tembok kemudian mengunci bibir wanita itu dengan bibirnya. Syafa melotot, berusaha melepaskan diri namun Revan terlalu kuat. Ia memukul-mukul dada pria itu, namun tenaga Syafa tentu saja kalah. Beberapa menit kemudian, ia lebih memilih mengalah, membiarkan pria itu melumat bibirnya hingga puas.

**

Syafa mengerang, tubuhnya berdiri sambil bersandar di tembok. Kepalanya menengah ke atas, menggigit bibirnya, menahan kenikmatan yang diberikan Revan padanya sambil meremas rambut pria itu yang kini ada di antara kedua kakinya.

Lidah pria bajingan itu memanjakan miliknya, memporak-porandakan tubuh dan hati Syafa. Janjinya untuk tidak terpengaruh pada pria itu luruh sudah. Syafa tidak bisa menolak sentuhan kenikmatan yang diberikan Revan padanya. Beberapa menit kemudian, Syafa mendesah, mendapatkan pelepasan pertamanya. Tubuhnya lemas, untungnya Revan dengan sigap menahannya.

Revan berdiri sambil mengusap bibirnya, menatap Syafa yang berantakan di hadapannya. Kemeja wanita itu sudah terbuka hingga ke perut, salah satu payudaranya menyembul dan penuh dengan tanda kemerahan yang diberikan Revan. Rambutnya berantakan dan bibirnya membengkak, tapi semua itu justru membuat Syafa tampak sangat seksi.

Syafa mendesah saat Revan kembali menciumi lehernya. Tangan pria itu membuka kemejanya dan melepaskan bra-nya. Roknya yang tersingkap kini sudah jatuh ke lantai. Dan benda segitiga yang menutupi bagian intinya sudah robek mengenaskan sedari tadi. Syafa sudah telanjang bulat sementara Revan masih berpakaian rapi, tidak adil sama sekali.

Revan melepaskan ciumannya, ia membalikkan tubuh syafa dan menekannya ke tembok. Tanpa aba-aba, pria itu memasukkan miliknya dari belakang, menghujam Syafa penuh kenikmatan. Revan mencium bibir Syafa sambil terus memasuki wanita itu, sementara tangannya meremasi kedua payudara Syafa. Di tengah gerakannya, Revan tersenyum miring, sepertinya perasaan Syafa padanya belum berubah. Buktinya, dua kali wanita itu luluh dengan sentuhannya.

Revan membalikkan tubuh Syafa, ia mengangkat kedua tungkai wanita itu kemudian kembali memasukinya. Ditengah gerakkannya, Syafa tiba-tiba memeluknya, bibirnya mendesah lirih, menikmati setiap gerakan Revan keluar masuk miliknya.

Keduanya bertatapan intens ditengah gerakan Revan keluar masuk. Sesekali Syafa menggigit bibirnya agar tidak mendesah. Sementara gerakan Revan semakin cepat, membuat Syafa merasa seperti terbang ke awang-awang.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba gerakan Revan semakin cepat. Syafa kewalahan dan ia sudah mendapatkan pelepasan untuk yang ketiga kalinya. Tubuhnya sudah lemas. Ia hanya menurut saat Revan terus memasuki tubuhnya. Hingga beberapa saat kemudian, pria itu menggerung keras, Syafa merasakan miliknya dipenuhi cairan milik Revan yang sialnya kembali di masukkan ke dalam tubuhnya. Sialan Revan, tidak bisakah pria itu mengeluarkan cairannya di luar.

Revan membawa tubuh Syafa ke atas ranjang pasien. Ia merebahkan tubuh wanita itu yang sudah lemas. Revan berdiri, kemudian membuka seluruh pakaiannya hingga ia sama telanjangnya seperti Syafa. Revan naik ke atas ranjang pasien, tubuh besarnya melingkupi tubuh mungil Syafa. Ia mencium bibir Syafa sekilas, kemudian membuka kedua kaki Syafa, meletakkan di pundaknya kemudian kembali memasuki wanita itu.

Syafa mendesah, kedua kakinya berada di atas pundak Revan. Pria itu memasukinya dengan keras dan cepat, membuat Syafa yang sudah berkali-kali orgasme semakin lemas. Suara deringan ponsel terdengar, Syafa menoleh dan mendapati ada nama Alex di ponselnya yang tergeletak di samping kepalanya.

Menyadari hal itu, Revan yang tengah bergerak di atasnya segera meraih ponsel Syafa dan membuangnya asal. Syafa hendak protes, namun tak berdaya saat Revan terus memberinya kenikmatan bertubi-tubi. Dan pada akhirnya, Syafa kembali takluk. Ia kembali menyerah pada pesona Revan dan segala arogansi pria itu yang nyatanya tidak mampu di tolaknya.

**

"Om, lagi ngapain di sini?"

Alex yang tengah sibuk menghubungi Syafa menoleh. Ia mendapati seorang gadis kecil cantik tersenyum ke arahnya. Zelin, gadis itu berjalan ke arahnya bergandengan tangan dengan mamanya.

"Hai Zelin, kau disini?" Tanya Alex kemudian. Ia mematikan panggilannya yang sedari tadi tidak di angkat. Mungkin Syafa sedang ada pasien darurat. Tidak seharusnya Alex menganggu.

"Kami baru berbelanja di mall. Karena lapar jadi kami memutuskan makan di sini." Friska tersenyum ramah. Semenjak Alex dan Syafa saling mengenal, keluarga Syafa dan keluarganya jadi dekat satu sama lain.

"Saya baru saja rapat. Ini mau menghubungi Syafa untuk menanyakan kabar. Tapi, sepertinya Syafa sibuk."

Zelin yang mendengar itu langsung memberengut. Ia tidak suka Om Alex-nya terus menerus mendekati kakak sepupunya. Zelin harus berpikir cepat agar Om Alex tidak jadi menemui kak Syafa.

"Om, ayo bergabung dengan kami. Mama akan mentraktir Om. Iya kan Ma?"

"Apa!! Eeeh___" Friska terkejut dengan tindakan spontan Zelin. Ia tidak ingin mentraktir siapapun. Kenapa harus mentraktir Alex. Bagaimana jika nanti Rafael salah paham.

"Tidak usah Zelin. Om baru saja rapat. Jadi masih kenyang." Alex menolak halus, jujur ia memang sudah kenyang.

"Om, kata Bu guru, nggak baik menolak rezeki. Jadi, anggap saja kali ini Zelin yang traktir. Ayo Om."

"Tapi ___"  belum sempat Alex menolak lebih lanjut, Zelin sudah menggandeng tangannya. Friska menatap Alex tidak enak hati, namun tidak melarang Zelin karena sama saja memicu perang di rumahnya.

Zelin sangat di manjakan oleh Rafael, gadis itu akan diam berhari-hari jika keinginannya tidak dituruti atau dipermalukan di depan umum. Jadi, Friska hanya pasrah saat Zelin menuntun Rafael dan duduk di kursi yang berdekatan dengan pria itu.

"Ma, ayo duduk. Papa nggak akan marah kok. Nanti Zelin yang cerita kalau Zelin yang traktir Om Alex. Kita makan sekarang, Zelin sudah lapar."

Friska mengangguk pasrah, Alex  menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Entah kenapa ia tidak bisa menolak keinginan Zelin. Gadis cilik ini sangat dominan, Alex bingung sendiri menghadapinya.

"Ya udah Pak Alex, silahkan pesan. Zelin yang traktir." Friska dan Alex tergelak bersamaan. Sementara Zelin sibuk memesankan makanan untuknya dan Alex, berusaha membuat pria itu betah. Yang jelas, bagaimanapun caranya, ia senang bisa menahan Om Alex bersamanya. Lain kali, ia harus lebih hati-hati agar tidak di tikung oleh kakak sepupunya itu.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang