Part 23

2K 160 6
                                    

Syafa yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil menggosok-gosok rambutnya sedikit terkejut melihat Revan tengah meminum kopi sambil berdiri menghadap jendela kaca besar di ruangannya. Pria itu sudah mandi segar dan kembali memakai  pakaiannya tadi, tanpa dasi dan jas tentu saja. Hanya kemeja putih bersih yang membuatnya tampak semakin tampan. Tapi, kenapa pria itu belum pergi juga dari ruangannya, padahal sedari tadi Syafa sudah mengusirnya.

"Kenapa kau belum pergi? Sudah ku bilang dari tadi, cepat pergi dari sini." Ucap Syafa ketus sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk. Ia berjalan ke lemari pakaian untuk mengambil pakaian gantinya.

"Aku belum ingin pergi. Masih sore, tanggung, malam sekalian." Jawab Revan santai sambil menyeruput kopi hangatnya. Ia tidak menghiraukan Syafa yang terlihat risih dengan keberadaannya.

Syafa masuk ke dalam ruang ganti, lalu memakai pakaian yang memang ia siapkan jika jam piket seperti ini. Syafa menghembuskan napas berat, ia harus segera mengusir Revan sebelum ada staf yang curiga dan melapor pada papanya. Jika papanya sampai tahu, tamatlah riwayatnya.

Keluar dari ruang ganti, Syafa melihat Revan yang masih berdiri santai menikmati kopinya. Menahan geram, ia berjalan menuju pria itu dan berdiri di sampingnya. Revan yang menyadari kehadirannya segera berbalik, menatap Syafa yang terlihat kesal di hadapannya.

"Pergilah!! Kau sudah tidak ada kepentingan lagi di sini. Pergi sekarang juga!!"

"Tidak mau. Sudah ku katakan aku masih ingin berada di sini."

"Van, kau sudah mendapatkan apa yang kau mau. Apalagi sekarang, tolong jangan menggangguku lagi." Syafa tampak putus asa mengusir Revan. Ia takut papanya tiba-tiba kemari seperti kemarin. Syafa tidak mau mengecewakan papanya lagi.

"Aku belum mendapatkan apa yang aku inginkan." Jawab Revan sambil kembali meminum kopinya santai, membuat Syafa bertambah geram melihatnya.

"Apalagi maumu? Cepat katakan dan kumohon segeralah pergi dari sini."

Dengan tenang, Revan meletakkan kopinya di atas meja. Ia kemudian menghampiri Syafa dan memegang kedua lengan wanita itu. Mereka saling bertatapan dengan Syafa yang tampak putus asa, sedangkan Revan tersenyum hangat, untuk pertama kalinya menurut Syafa.

"Aku mau kau."

Hening sejenak. Keduanya terdiam menatap satu sama lain. Syafa belum mengerti apa yang ia dengar. Apa maksud Revan? Jangan bilang pria itu menginginkannya lagi, Syafa tidak sudi.

"Apa maksudmu? Hentikan omong kosongmu dan keluar dari sini!!"

"Tidak. Aku mengatakan sekali lagi, aku mau dirimu. Aku mencintaimu.  Dan aku memintamu memberiku kesempatan untuk menebus semua kesalahanku di masa lalu. Maafkan aku Syafa. Tolong maafkan aku."

Syafa yang masih syok dengan pernyataan cinta Revan, tidak menyadari saat pria itu mulai mendekatkan tubuh mereka dan mencium bibirnya lembut. Syafa terpaku, ia ingin menampar Revan karena sudah kurang ajar, namun tidak mampu melakukannya karena seluruh tubuhnya lemas saat bibir pria itu terus melumat bibirnya.

Revan menghimpit tubuh Syafa ke dinding kaca kemudian menyingkap rok wanita itu. Revan merobek celana dalam Syafa dan membuka resleting celananya. Ia mengangkat kedua tungkai wanita itu, lalu kembali memasukkan miliknya ke dalam milik Syafa hingga wanita itu mendesah penuh kenikmatan dan mendadak lupa jika dari tadi ia ingin sekali mengusir Revan dari ruangannya.

**

Beberapa hari setelah peristiwa itu, Syafa tidak pernah lagi melihat Revan. Pria itu tidak datang ke rumah sakit. Dan pernyataan cinta itu, mungkin hanya bualan belaka. Tante Friska malah kemarin sempat bercerita jika adiknya sedang pendekatan dengan seorang selebgram.

Syafa mengutuk pemikirannya yang kembali percaya pada ucapan manis Revan. Apa Syafa lupa jika sepuluh tahun yang lalu Revan juga sudah memperdayainya, membuatnya terluka dan trauma hingga sekarang. Syafa menghela napas berat, kenapa juga ia tetap saja bodoh seperti dulu.

Ketika Syafa hendak berbaring karena sudah malam, suara ketukan di pintu kamarnya membuat Syafa mengurungkan niatnya. Ia terduduk, menatap papanya yang kini masuk ke dalam kamarnya.

Salman duduk di tepi ranjang putrinya. Ia tersenyum lalu mengelus rambut anak perempuannya itu dengan penuh kasih sayang. Syafa tersenyum manis ketika sang papa mencubit hidungnya.

"Papa dengar kamu akan ikut team untuk kegiatan sosial di Sukabumi. Kenapa ikut? Bukankah kamu tidak di tugaskan?"

"Aku pengen aja Pa. Kata teman-teman di sana masih ada pedesaan yang asri pemandangannya. Penduduknya juga masih kekurangan tenaga medis. Entah kenapa aku pengen banget ke sana. Boleh ya Pa?"

"Sebenarnya papa setuju-setuju aja. Temannya juga banyak. Papa nggak khawatir. Tapi, masyarakat di sana itu masih kurang berpendidikan. Masih banyak yang percaya pada dukun. Nanti kamu kaget di sana."

"Nggak kok Pa. Sekalian cari pengalaman sebelum meneruskan ke spesialis."

"Kamu sudah memutuskan ke spesialis apa?"

"Iya Pa. Aku ke spesialis anak aja. Untuk obgyn masih banyak yang aku pikirkan. Mungkin aku belum siap meskipun sangat berminat."

"Papa ngerti. Apapun itu, yang penting nyaman buat kamu. Papa nggak pernah mempermasalahkan jurusan apa yang akan kamu ambil."

"Makasih Pa. Maaf selama ini udah ngerepotin Papa. Udah bikin Papa sedih, bahkan sampai berantem sama Mama. Sejauh ini, aku merasa belum bisa membuat Papa dan Mama bangga."

"Kamu ini bicara apa? Kamu putri papa, amanah dari Tuhan untuk papa dan mama. Tugas kami menjagamu dan kami tidak pernah menuntutmu untuk jadi yang terbaik. Yang penting kamu nyaman dan bahagia. Itu saja."

Syafa memeluk papanya, dalam hati ia merasa sangat bersalah pada sang papa. Bagaimana jika papanya tahu ia sudah tidur dengan Revan. Bagaimana jika Revan buka mulut tentang kebersamaan mereka. Papanya pasti akan sangat kecewa padanya.

"Fa."

"Iya Pa."

"Gimana hubungan kamu sama Alex? Papa lihat, kamu kayak diam di tempat gitu. Padahal Mama sama nenek kamu udah semangat 45. Kakek kamu juga antusias banget. Kamunya kok biasa saja."

Syafa melepaskan diri dari pelukan papanya. Ia menghela napas panjang. Mamanya memang sangat menyukai Alex. Syafa juga tidak bisa memungkiri, Alex benar-benar pria yang baik dan sempurna. Hanya saja, Syafa tidak mencintainya. Itu yang membuat Syafa bingung sampai sekarang.

"Kalau tidak ada rasa, jangan diteruskan. Carilah yang membuatmu nyaman. Papa lihat, Alex pemuda yang baik. Mungkin saja dia bisa membahagiakan kamu."

"Tapi Pa, Alex nggak tahu masa lalu aku. Aku takut dia kecewa jika sampai tahu. Aku takut tidak ada yang mau menerimaku Pa." Syafa menunduk sedih, membuat Salman menghela napas berat.

"Jika kamu sudah mantab menerimanya, katakan yang sejujurnya. Jika dia benar-benar mencintai kamu, papa yakin dia mau menerima kamu apa adanya. Jika tidak, berarti ya belum jodoh."

"Papa benar. Tapi untuk sekarang, sejujurnya Syafa belum siap. Syafa masih trauma."

"Kalau begitu katakan yang sejujurnya jika kamu belum siap. Jangan memberikan harapan palsu padanya. Ingat, sepertinya dia berharap banyak sama kamu. Jangan sampai dia kecewa karena kamu menarik ulur hubungan kalian."

"Iya pa, Syafa ngerti."

"Ya udah. Papa keluar sekarang. Tidur yang nyenyak." Syafa mengangguk, Salman mencium kening putrinya kemudian beranjak keluar dari kamar.

Sepeninggal papanya, Syafa segera merebahkan tubuhnya. Semakin malam, ia semakin sulit memejamkan mata. Bayangan bagaimana hubungannya dengan Revan membuat Syafa kebingungan sendiri.

Syafa memukul-mukul kepalanya pelan, mengutuk kebodohannya yang kembali jatuh ke pelukan Revan. Dan sekarang, sepertinya pria itu mengulangi lagi perbuatannya. Meninggalkan Syafa setelah mendapatkan segala yang diinginkannya. Dan bodohnya, di hati Syafa yang paling dalam, tetap saja ada tempat khusus untuk pria itu yang tidak bisa di gantikan oleh siapapun.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang