Revan menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Rasanya segar karena baru saja mandi air hangat. Ia hanya melilitkan handuk ke pinggangnya karena berpikir sendirian di dalam kamar hotel. Namun, ketika ia keluar dari kamar mandi, matanya melotot saat melihat Syafa duduk di pinggir ranjang.
Wanita itu tak kalah terkejutnya dengan dirinya. Syafa langsung memalingkan wajahnya, malu karena kedapatan menatap Revan yang hanya mengenakan handuk saja. Sejak kapan wanita itu masuk ke kamar ini.
"Sejak kapan kau di situ? Membuat kaget saja. Aku pikir kau tidur di lobi atau di parkiran hotel."
Syafa tidak menanggapi sindiran Revan. Ia memeluk dirinya sendiri karena kedinginan. Sedikit berbalik karena pria itu sepertinya tengah berpakaian. Memakai kaos oblong dan celana pendek dikamar yang sama dengannya. Benar-benar tidak punya malu.
"Kau punya baju ganti?" Tanya Syafa kemudian karena ia merasa kedinginan. Syafa menepikan egonya dan berniat meminjam kaos jika pria itu memilikinya lagi.
"Tidak ada. Aku hanya bawa satu stell di dalam mobil. Berjaga-jaga saja jika ada kejadian seperti ini."
Syafa mengangguk pelan. Sepertinya ia akan kedinginan malam ini karena tidak mungkin ia telanjang di balik selimut menunggu pakaiannya kering. Jika saja ia mendapatkan kamar sendiri, itu pasti lebih mudah.
"Ada bathrobe jika kau butuh. Dari pada kau kedinginan seperti itu."
Syafa menatap Revan yang menunjuk bathrobe di atas ranjang. Sedikit ragu, Syafa akhirnya meraih bathrobe itu karena tidak punya pilihan lain. Jika ia nekat tetap memakai gaun ini, bukan tidak mungkin ia malah akan masuk angin.
Syafa masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Mengabaikan petir menggelegar dan kilat-kilat yang saling menyambar. Di kamar mandi, suara menakutkan itu sedikit teredam. Syafa keluar beberapa menit kemudian setelah di rasa sudah segar.
Membuka pintu kamar mandi dengan pelan, Syafa melangkah keluar. Ia mengeratkan bathrobe yang dikenakannya. Rasanya sangat tidak nyaman satu ruangan dengan seorang pria dan hanya mengenakan bathrobe saja. Ia mengabaikan Revan yang menatapnya dari atas ranjang sambil bermain ponsel. Syafa menjemur pakaiannya di tembok yang ada jepitannya, kemudian duduk di kursi yang ada di pinggir jendela.
Suara deringan ponsel dari dalam tasnya membuat Syafa beranjak dari duduknya. Ia meraih tasnya yang ada di meja kemudian mengambil ponselnya. Panggilan dari papanya. Syafa segera mengangkatnya agar sang papa tidak terlampau cemas.
"Iya, Pa."
"Kamu dimana sayang? Kata mama kamu pergi ke rumah sakit. Papa menghubungi rumah sakit dan kamu belum tiba di sana."
"Aku terjebak di jalan Pa. Papa buka berita deh, jalan dari hotel tempat pesta ke rumah sakit ada pohon tumbang dan longsor. Banyak orang terjebak di sini, Pa. Ini aku lagi nginap di hotel nunggu jalan bisa dilewati lagi."
"Tapi kamu baik-baik aja kan? Lagi pula mama kamu itu gimana sih. Ajak-ajak, malah kamu dibiarin sendirian ke rumah sakit. Nggak tanggung jawab banget."
"Pa, ini bukan salah Mama. Emang aku yang nggak mau diantar. Jarak dari hotel ke rumah sakit nggak jauh. Eeeh, siapa sangka malah ada tragedi pohon tumbang."
"Tapi kamu dapet penginapan kan?"
"Dapet Pa. Ini Syafa udah dikamar. Syafa tidur dulu ya pa. Ngantuk sedari tadi nunggu hujan reda."
"Ya sudah. Hati-hati. Kunci pintunya yang rapat. Papa matikan panggilannya."
Syafa meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Kemudian ia kembali duduk di dekat jendela sambil mengeratkan bathrobe yang ia kenakan. Suasana sepi, tidak ada yang bicara di tengah hujan yang seolah menjelma menjadi air terjun, sementara kilat dan petir terus bersahutan.
Hingga tiba-tiba, suara petir yang sangat keras terdengar. Syafa yang ketakutan reflek berlari menuju Revan. Ia naik ke atas ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut dan kedua tangannya menutupi telinganya. Revanpun sontak meletakkan ponselnya, takut juga jika tiba-tiba tersambar petir karena bermain ponsel.
Hujan terdengar semakin deras. Petir masih terdengar meskipun tidak sekeras tadi. Syafa membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Ia menatap Revan di sampingnya yang menatapnya datar, mungkin menertawakan ketakutannya pada petir tadi.
Revan menghembuskan napas berat, berusaha menahan sesuatu yang bangun dari tubuhnya melihat bathrobe yang dikenakan Syafa sedikit melonggar. Belahan dada wanita itu mengintip dibalik bathrobe yang dikenakannya. Untunglah wanita itu segera berbalik memunggunginya.
Revan segera merebahkan tubuhnya dan menutup mata, mengabaikan Syafa yang kini tidur memunggunginya. Sepertinya wanita itu sama tidak nyamannya seperti dirinya. Harus bersusah payah membenarkan bathrobe agar bagian pribadinya tidak kelihatan dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, Revan yakin hal itu cukup mengganggu pernapasan.
Setengah jam kemudian, Revan sama sekali tidak bisa tidur meski matanya terpejam. Ia melihat Syafa yang ada di sampingnya tampak gelisah, sepertinya juga tidak bisa tidur. Jika terus seperti ini, kemungkinan mereka berdua tidak akan tidur sampai pagi.
"Kau belum tidur?" Tanya Revan membuka percakapan. Mungkin lebih nyaman berbicara dari pada saling diam seperti ini.
Syafa menggeliat di balik seluruh tubuhnya yang tertutupi selimut, namun kini bagian kepalanya dibuka, mungkin sesak. Wanita itu menolehkan kepalanya, menatap penuh curiga pada Revan, membuat Revan kesal setengah mati.
"Kenapa menatapku seperti itu, aku bukan setan."
"Aku, aku takut padamu."
"Takut? Apa aku seperti monster?"
"Lebih dari itu. Kau menakutkan. Terutama jika keadaannya seperti sekarang."
"Kau takut aku akan memakanmu?"
"Seperti itu, bisakah kita tidak usah bicara saja."
"Tidak bisa. Aku tidak bisa tidur dan aku ingin mengobrol."
"Kau bisa ke lobi. Di sana banyak orang."
"Kau mengusirku? Tidak bisa, aku yang memesan kamar ini."
Syafa tidak menyahut lagi. Ia berusaha memejamkan matanya kembali meskipun tidak bisa tidur. Tubuhnya bergerak-gerak gelisah, membenarkan bathrobe-nya yang sangat tidak nyaman.
"Kau masih marah padaku, mengenai dulu yang aku lakukan padamu?" Syafa tidak menjawab, namun Revan tahu perempuan itu belum tidur.
"Maafkan aku. Dulu otak remajaku tidak berpikir kalau hal seperti itu akan jadi penyesalan. Aku hanya memikirkan dendam. Katakan padaku, bagaimana agar kau memaafkanku?"
Syafa masih tidak menjawab, membuat Revan kesal sendiri. Dengan pikiran yang kalut, Revan membalikkan tubuh wanita itu agar menghadapnya, membuat Syafa ketakutan.
"Ap, apa, apa yang kau lakukan?" Tanya Syafa ketakutan, ia mendorong dada Revan yang akan menghimpit tubuhnya.
"Setidaknya jawab aku, jangan mengabaikan aku seperti itu. Kau tahu, itu membuatku kesal setengah mati. Aku bukan orang yang sabar."
"Hentikan. Aku tidak peduli kau sabar atau tidak. Itu bukan urusanku. Dan masa lalu kita, lupakan saja. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal."
"Bagaimana jika aku tidak bisa? Bagaimana jika aku terus memikirkan rasa bersalahku. Aku nyaris gila dan kau menyuruhku melupakannya begitu saja."
"Bukankah itu dulu yang kau inginkan, kenapa sekarang kau kebingungan sendiri. Seharusnya kau senang aku tidak meminta pertanggungjawabanmu."
Revan geram mendengar perkataan Syafa. Rahangnya mengetat dan matanya memerah. Bisa-bisanya perempuan itu bicara seperti itu. Tidak bisa, jika ia belum bisa melupakan syafa, wanita itu juga tidak boleh melupakannya. Katakan ia egois, namun itulah yang Revan rasakan.
"Lepaskan." Syafa berusaha melepaskan diri dari Revan. Namun, bukannya melepaskannya, Revan justru mengeratkan pegangan tangannya pada tubuh Syafa dan tiba-tiba bibir pria itu menubruk bibirnya kembali, membuat Syafa melotot seketika.
![](https://img.wattpad.com/cover/352867096-288-k779230.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Frozen Flower (On Going)
RomansaSyafa Armita Radjasa, wanita yang semasa gadisnya sangat ceria itu kini berubah 180 derajat setelah dewasa. Keadaan dan trauma membuat psikis dan mental sedikit terganggu, dan hal tersebut itu hanya di ketahui oleh ayahnya saja. Profesinya sebagai d...