"Fa, bisa nggak sih kamu nggak ikut aja ke Sukabumi. Mama jadi kesepian kalau kamu tinggal gini. Baru juga beberapa bulan kamu pulang dari luar negeri." Erika tampak lesu ketika membantu Syafa mengemasi barang-barangnya. Sebenarnya Syafa tidak di ikutkan dalam kegiatan kemanusiaan itu. Namun putrinya ingin suasana baru. Meskipun keberatan, ia tidak bisa menahan Syafa karena putrinya kini sudah dewasa.
"Nggak apa-apa kok Ma. Kata senior aku, di sana kita dapat kamar sendiri-sendiri. Jadi, tidurnya nggak ramai-ramai. Kalau nggak nyaman, ada juga losmen di sana. Aku bisa sewa meskipun mungkin fasilitasnya seadanya."
"Keamanannya gimana?"
"Ya belum tahu Ma. Rumah yang punya di sebelahnya katanya. Jadi ada satpamnya. Ya yang punya rumah itu."
Erika menghembus napas berat, ia mengangguk lesu. Syafa yang melihat itu langsung memeluk mamanya. Ia tahu mamanya sangat berat melepasnya. Sepuluh tahun mereka tidak tinggal bersama. Dan sekarang ia harus menjalani tugas lagi. Meski begitu, Syafa yakin keputusannya tidak salah. Toh, hanya dua minggu, tidak lama.
"Kamu udah ngomong sama Alex?"
"Soal apa Ma?" Syafa melepaskan pelukannya, menatap Erika penuh tanya.
"Kamu mau berangkat ke Sukabumi ini."
"Udah Ma. Kemarin dia mampir ke rumah sakit setelah rapat."
Erika tersenyum lebar, ia hendak bertanya lagi, namun suara pintu yang diketuk membuat mamanya itu tampak mengurungkan niatnya. Ega masuk dengan muka bantalnya. Sepertinya adiknya itu habis begadang semalaman karena bermain game dengan Zafran. Bahkan tadi Ega tidak ikut sarapan.
"Kak, udah di tunggu bus di depan."
"Oke. Bantuin ini Ga."
Dengan ogah-ogahan, Ega terpaksa membantu kakaknya itu menyeret koper. Ketiganya keluar dari kamar Syafa. Di lantai bawah, tampak papa, kakek dan neneknya sudah menunggunya. Mereka seperti bersiap mengantarkannya ke pelaminan saking tegangnya. Padahal Syafa hanya ke Sukabumi, bukan keluar angkasa.
"Udah datang bus-nya. Hati-hati di jalan. Jangan lupa berdoa."
"Iya Nek."
Syafa memeluk Sarah, kemudian kakek dan papanya. Yang terakhir mamanya dan seperti biasanya berakhir lebay. Mamanya menangis-nangis seolah Syafa tidak akan kembali lagi, membuat Ega yang melihatnya langsung memutar bola matanya jengah.
Setelah pamit-pamitan lebay, Syafa berjalan menuju bus yang sudah terparkir di jalan depan rumahnya. Syafa menghembuskan napas berat, kemudian memasuki bus, bergabung dengan para anggota yang lain. Ia duduk di samping kaca jendela, melambaikan tangan pada keluarganya yang ada di luar bus. Buspun melaju dan Syafa langsung memasang headset untuk mendengarkan musik.
Bus yang ia naiki lumayan longgar. Ada 4 dokter dan delapan perawat yang ikut dalam acara itu. Syafa memilih duduk menyendiri, ia kurang suka bergaul dan berbasa-basi. Dan sepertinya semua orang sudah mengetahui wataknya. Mereka semua hanya menyapanya sesekali, bentuk sopan santun saja. Selebihnya, mereka bercanda ria bersama dengan Syafa yang hanya tersenyum tipis melihatnya.
Tiga jam kemudian, rombongan para tenaga medis itu sampai di Sukabumi. Hari sudah siang, setelah basa-basi dari kepala desa selesai, mereka semua segera masuk ke rumah yang di sediakan oleh kepala desa.
Kedua belas orang itu memasuki kamar masing-masing. Dan ada dari mereka yang harus satu kamar karena kekurangan kamar. Tenaga medis yang laki-laki, tidur di kamar belakang karena para perempuan sedikit takut dengan suasana pedesaan ini.
Syafa sendiri akhirnya memilih tinggal di losmen terdekat karena tidak kebagian kamar. Ia memilih mengalah dan karena kurang nyaman satu kamar dengan orang lain, ia memilih menyewa losmen. Beruntungnya, losmen itu penuh wisatawan, tidak seram seperti penginapan yang disediakan desa tadi.
Syafa menyeret kopernya, membuka pintu kamar losmen yang ia sewa. Ia menutup pintunya kemudian berjalan menuju jendela. Syafa membuka jendela lebar-lebar. Semilir angin menerpa wajahnya, pemandangan dari losmen sangat indah. Entah apa yang ada di pikiran rekan-rekannya tadi hingga lebih memilih tinggal di rumah penginapan tua gratis dari pada losmen yang tergolong modern.
Setelah menikmati pemandangan sekitar dari jendela, Syafa berjalan menuju ranjang. Ia membuka jaketnya, melemparkannya asal kemudian membanting tubuhnya ke ranjang. Syafa menatap langit-langit kamar, dan entah kenapa, tiba-tiba bayangan Revan muncul begitu saja di otaknya. Bagaimana mereka bercinta, bagaimana pria itu memuaskannya selama berjam-jam.
Syafa tidak menyangka, ketika melakukannya untuk kesekian kalinya, akan menimbulkan efek seperti sekarang. Ia terus terbayang-bayang wajah Revan, dan gairahnya memuncak setiap mengingat sentuhan-sentuhan pria itu. Kenapa bisa seperti ini? Bahkan Syafa cukup risih jika ada laki-laki yang menyentuh tangannya. Tapi, kenapa Revan jadi pengecualian?
Suara deringan ponsel menyadarkan Syafa dari lamunannya. Ia segera meraih ponselnya dan memeriksa chat yang masuk. Ternyata dari ketua grub yang memerintahkan semua anggota berkumpul besok pagi untuk memulai acara. Syafa meletakkan kembali ponselnya. Ia sangat lelah karena perjalanan lumayan jauh. Dan benar saja, beberapa menit kemudian, ia tertidur begitu ponselnya ia matikan.
**
Hari-hari selama kegiatan sosial ternyata cukup menyenangkan. Para dokter dan suster yang diketuai dokter Dina di terima dengan baik di desa ini. Setiap hari, mereka melakukan bakti sosial dan memberikan pengarahan pada penduduk tentang cara mengobati berbagai macam penyakit. Memeriksa mereka satu persatu karena cukup banyak dari mereka yang sudah lansia.
Di desa ini, meskipun tidak terpencil, namun masyarakatnya masih tergolong kuno. Sebagian besar dari mereka masih suka berobat ke dukun. Padahal, penyakit seperti diabetes atau hipertensi harus menjalani pengobatan rutin ke dokter dan harus melalui prosedur yang pas agar tidak mengalami gagal ginjal.
Namun penduduk di sini masih banyak yang membawa pasien gawat darurat ke dukun. Sebagian dari lansia itu meninggal karena ketidaktahuannya. Dan tugas team Syafa kemari adalah mengedukasi mereka tentang pentingnya memperhatikan kesehatan dan bagaimana penanganannya.
Cukup melelahkan sehari-harinya. Namun, semuanya senang karena bisa membantu sesama. Terutama Syafa. Dibalik wajah dingin dan datarnya, ia sangat telaten merawat para lansia yang sakit. Ia juga memberikan vitamin pada beberapa orang yang terlihat lesu dan kurang bertenaga.
Setiap sore, ia harus pulang terlebih dahulu karena jarak losmen dan balai desa lumayan jauh. Lebih dari dua kilometer. Dan Syafa harus menaiki sepeda pemilik losmen yang ia sewa karena tidak membawa motor.
Setelah menghubungi mama dan papanya untuk memberi kabar, ia segera naik sepeda menuju losmen. Sepanjang perjalanan, para penduduk mengangguk padanya karena sudah hafal dan sering berinteraksi. Mereka rata-rata ramah, membuat Syafa betah di desa ini meski baru beberapa hari.
Beberapa saat ia naik sepeda, dari kejauhan ada mobil yang sangat ia kenali terparkir di halaman losmen. Mobil sport mewah berwarna merah itu sudah tidak asing baginya. Syafa mempercepat laju sepedanya. Ia berhenti tepat di halaman losmen. Di di teras losmen, ia melihat seseorang yang sudah tidak asing baginya tersenyum lebar ke arahnya. Melihatnya tiba, pria itu berdiri dan berjalan ke arahnya dengan senyum hangat dan penuh cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Frozen Flower (On Going)
RomanceSyafa Armita Radjasa, wanita yang semasa gadisnya sangat ceria itu kini berubah 180 derajat setelah dewasa. Keadaan dan trauma membuat psikis dan mental sedikit terganggu, dan hal tersebut itu hanya di ketahui oleh ayahnya saja. Profesinya sebagai d...