Part 11

2.3K 158 11
                                    

"Sayang, kok bisa pulang sama Kak Syafa, apa nggak dijemput sopir?" Friska memangku tubuh Zelin yang menubruknya, ia menciumi putri kecilnya itu yang entah kenapa makin hari makin stylish. Zelin banyak membeli baju baru dan penampilannya semakin hari semakin cantik saja.

"Tadi mobil sopir mogok. Papa masih rapat dan Kak Zafran nggak bisa dihubungi. Makanya papa minta tolong Kak Syafa buat jemput aku."

Friska menatap Syafa yang berdiri kaku ditempatnya. Meskipun sudah terbiasa dengan sikap dingin Syafa, tapi tetap saja Friska merasa bingung jika Syafa tidak berekspresi seperti sekarang.

"Fa, makasih ya udah repot-repot jemput Zelin. Apalagi kamu pasti capek habis dari rumah sakit."

"Nggak apa-apa Tante. Kebetulan tadi Syafa mau pulang. Masih dijalan. Sekalian aja jemput Zelin."

"Mama, Zelin mau mandi. Mama bantuin dong. Gerah ini. Kak Syafa, aku mandi dulu, bentar kok. Kak Syafa jangan pulang dulu."

Syafa mengangguk meskipun ragu. Di sini ada Revan yang masih menatap datar padanya. Ia ingin segera pulang. Tapi kenapa Zelin harus menahannya seperti sekarang. Kalau seperti ini, Syafa tidak enak juga mau maksa pulang.

"Fa, kamu tunggu sebentar ya. Tante mau bantu Zelin mandi. Kalau mau kopi, kamu tinggal panggil pelayan saja. Van, kamu ajak Syafa ngobrol deh, biar nggak kaku gini suasananya."

Revan mengangguk, dan Friska pergi bersama Zelin untuk menemani putri manjanya itu mandi. Dasar anak manja, sudah sembilan tahun mandi masih bersama mamanya. Sangat berbeda dengan Zafran yang mandiri karena didikannya dulu. Didikan dari Rafael memang tidak berkualitas.

Syafa yang merasa tidak nyaman ada disekitar Revan berjalan ke dapur. Ia menyeduh kopi susu kemudian meminumnya di meja makan. Menghilangkan kejenuhan, Syafa membuka ponselnya, melihat pesan dari Alex yang menanyakan keberadaannya. Alex benar-benar gencar mendekatinya.

"Kau menghindariku?" Suara bariton tidak asing dari belakangnya membuat Syafa menoleh. Ia sedikit terkejut mendapati Revan berjalan menuju dapur dan menyeduh kopi sama seperti yang di minumnya. Pria itu tampak santai, sangat kontras dengan dirinya yang terlihat tegang.

"Apa aku terlihat seperti monster hingga kau terlihat sangat takut padaku?"

Revan meletakkan kopinya di atas meja. Ia kemudian duduk di seberang Syafa, menatap penuh arti pada wanita itu.

"Kita masih kerabat. Pamanmu menikah dengan kakakku, bisakah wajahmu lebih ramah sedikit saja. Kita pernah saling mengenal sebelumnya, meskipun ada kenangan yang tidak mengenakkan, bisakah kau bersikap biasa saja."

"Tidak bisa, aku tidak suka bicara dengan orang asing." Syafa menyeruput kopinya, enggan menatap Revan yang ada di hadapannya.

"Oke."

Revan meminum kopinya sambil menatap Syafa yang saat ini terlihat tidak nyaman. Wanita itu minum kopi sambil memainkan ponselnya, namun raut tidak nyaman karena kehadiran Revan saat jelas terlihat.

Tiba-tiba Syafa berdiri, membuat Revan sedikit terkejut. Ia menatap wanita itu yang kini memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Wanita itu menatapnya datar kemudian membuka mulutnya.

"Aku pulang. Katakan pada Tante dan Zelin kalau aku ada urusan mendadak." Ucapnya kemudian beranjak meninggalkan dapur.

Namun, saat tangannya hendak membuka pintu dapur, seseorang tiba-tiba menarik lengannya dan membalik tubuhnya. Sebelum Syafa menyadari apa yang terjadi, Revan sudah menghimpitnya ke tembok dan menatapnya tajam.

"Kau tahu, beberapa hari ini aku seperti akan gila membayangkan hubunganmu dengan Alex. Sekarang katakan padaku, kau belum pernah tidur dengannya kan? Jawab!"

Syafa melotot, menatap tak percaya pada Revan. Kenapa pria itu terus mencecar seputar hubungannya dengan Alex. Memang apa urusan pria itu. Bukankah tidak ada.

"Katakan!! Jangan diam saja."

"Kau sudah gila Revan. Apa kau tidak malu pada keangkuhanmu dulu. Melihat tingkahmu sekarang, kau benar-benar sudah tidak punya malu."

"Aku tidak peduli. Jawab pertanyaanku sekarang!"

"Sudah ku bilang, itu bukan urusanmu!!"

Dan Syafa langsung melotot kala bibir pria bajingan itu melumat bibirnya dengan rakus. Otak Syafa seperti berhenti bekerja, tidak percaya dengan apa yang dilakukan Revan sekarang. Ketika pria itu semakin menekan tubuh Syafa dan lidahnya memasuki mulutnya, suara benda jatuh membuat keduanya seketika terkejut dan melepaskan ciumannya.

Di depan pintu, Zafran tampak melongo dengan gelas yang jatuh berserakan di lantai. Pemuda itu menatap sepupu dan pamannya silih berganti, tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

"Om, Kak Syafa, apa yang kalian lakukan?"

**

Revan membenturkan kepalanya ke tembok kamar mandi berulang kali. Menyesali tindakan gegabah yang tadi ia lakukan di rumah kakaknya. Bagaimana mungkin tiba-tiba ia mencium Syafa. Bahkan Zafran melihatnya. Revan berharap, Zafran tetap tutup mulut seperti biasanya.

Tadi, perempuan itu langsung pergi setelah Zafran memergoki mereka. Wajah Syafa merah padam karena malu dan marah. Mungkin setelah ini perempuan itu tidak mau melihatnya lagi.

Tapi, tiba-tiba di dalam hati Revan menyusup rasa tidak terima. Bagaimana mungkin Syafa yang dulu tergila-gila padanya kini berubah drastis. Bukan cuma mengacuhkannya, Syafa juga tampak sangat membencinya. Revan benar-benar tidak terima.

Entah ia disebut menjilat ludah sendiri atau bagaimana, Revan tidak peduli. Ia harus segera meluruskan masalahnya dengan Syafa. Meskipun permintaan maafnya tempo hari tidak digubris, ia tidak peduli. Syafa tidak boleh move on sendiri. Enak saja ia gelisah setiap malam, tapi wanita itu terlihat baik-baik

Tidak bisa. Revan tidak terima.

Revan meraih bathrobe dan mengenakannya. Ia keluar dari kamar mandi, meraih ponsel yang ada di atas nakas. Membuka pesan, ia melihat ada pesan dari Zafran yang meminta kejelasan dari kejadian tadi. Revan tidak menggubrisnya. Ia juga melihat pesan dari sang sekretaris yang mengingatkan tentang pesta besok malam.

Untung diingatkan. Revan hampir saja lupa. Meskipun acara itu membosankan, ia tetap datang demi profesionalitas. Bagaimanapun banyak pengusaha datang ke acara itu. Mereka juga sering bekerjasama. Sangat tidak sopan jika Revan tidak datang tanpa alasan.

Keesokan malamnya, Revan benar-benar datang ke acara itu. Suasana ballroom sangat mewah dan elegan. Untuk pesta ulang tahun perusahaan, ini tergolong sangat mewah. Banyak tamu-tamu penting datang ke acara ini. Sebagian dari mereka adalah para pejabat dan pengusaha.

Revan sedikit berbasa-basi dengan pemilik acara, kemudian bergabung dengan tamu-tamu yang lain. Membicarakan tentang bisnis, dan apa saja yang menurut mereka bisa mendatangkan keuntungan.

Saat Revan hendak meminum minumannya, netranya tidak sengaja menatap seseorang yang sudah tidak asing baginya. Wanita yang kemarin baru saja melakukan adegan ciuman dengannya, kini datang ke acara ini bersama kakeknya.

Syafa tampak sangat cantik dengan dress panjang berwarna hitam. Bagian atasnya kain tipis namun tidak transparan, menjuntai menyerupai lengan. Tidak begitu banyak aksesoris yang dikenakannya. Namun, pakaian yang tertutup dan elegan itu nampak membuatnya berkali-kali lebih cantik.

Syafa Radjasa. Dengan penampilan elegan dan mewah, wajah dingin, kaku dan tidak tersentuh, justru membuatnya tampak sangat menarik. Syafa terlihat seperti sekuntum bunga beku yang tak tersentuh. Cantik dan alami, namun tidak semua orang bisa menyentuhnya.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang