Part 1

2.8K 179 12
                                    

PDF tinggal nulis Extra Part, doakan lancar ya supaya pdf nya bisa cepat ready 😁

Happy reading 🥰

__**__

Seorang pria pertengahan empat puluhan berlarian masuk ke dalam bandara. Pikirannya yang kacau membuatnya berkali-kali nyaris menabrak orang yang berlalu-lalang di bandara. Ia kemudian duduk dan menunggu dengan gelisah. Satu jam terasa seperti satu tahun. Untung saja ada tiket ke London untuk sore ini, jadi ia tidak perlu menunggu seperti orang gila di rumah.

Pria itu seperti orang kalap saat panggilan untuk naik ke pesawat terdengar. Ia segera menuju pesawat dan duduk sambil berdoa sebisanya, berharap semua baik-baik saja dan tidak ada berita buruk saat ia sampai di London nanti. Perjalanan terasa begitu lama namun sedikitpun ia tak bisa memejamkan matanya.

Hingga tiba di London, pria itu segera memesan taksi dan menyebutkan alamat rumah sakit yang ia tuju. Pria itu berlari seperti orang gila, kemudian bertanya pada salah satu petugas rumah sakit. Ia segera menuju ruang perawatan di mana putri kesayangannya yang mengalami pendarahan di rawat.

Bi Ida, wanita yang ia tugaskan menjaga putrinya tampak duduk sambil menangis tersedu-sedu di depan ruang rawat putrinya. Tangis wanita setengah baya itu semakin menjadi-jadi saat melihatnya. Menarik napas panjang, pria itu masuk ke dalam ruang rawat inap putrinya.

Dengan membuka pintu pelan, pria itu menatap sang putri yang kini tengah duduk di atas ranjang rumah sakit dengan tatapan kosong ke arah jendela. Putrinya yang cantik dan belia, kini tampak kurus dan pucat. Baru dua bulan berada di London, dan putri mengalami perubahan yang sangat drastis. Terakhir ia menjenguk, gadis itu masih cubby dan tersenyum cantik padanya.

Pria itu berjalan pelan menuju sang putri yang belum menyadari kehadirannya. Air matanya menetes tiba-tiba, tidak menyangka anak kesayangannya akan mengalami nasib setragis ini. Katakan salahnya yang lalai sebagai orang tua. Salahnya hingga putrinya menjadi seperti ini.

Menyadari kehadirannya, sang putri menoleh padanya. Gadis itu langsung meneteskan air mata saat melihatnya. Mereka berpandangan sesaat, kemudian pria itu segera memeluk erat sang putri yang kini menangis tersedu-sedu di pelukannya.

"Papa." Ucap gadis itu lirih sambil mengeratkan pelukannya. Sang papa mencium puncak kepala putrinya, ikut menangis meski tanpa suara.

"Papa di sini. Jangan khawatir, sekarang ada papa. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu lagi."

Seumur hidupnya, ia tidak pernah membiarkan putrinya menangis. Memberikan yang terbaik agar putrinya selalu merasa bahagia. Tidak menyangka, putrinya justru mendapatkan musibah sebesar ini tanpa diketahui oleh keluarganya.

Keduanya terus berpelukan sambil menangis. Meluapkan segala rasa sakit di hati masing-masing. Sang papa terus memeluk putrinya tanpa mengatakan apapun, memberi kenyamanan terbaik agar bidadari kecilnya itu segera sembuh dan pulih seperti sediakala.

**

10 tahun kemudian

"Kau yakin sudah siap? Jika belum siap, tidak usah kembali sekarang. Nikmati kariermu di sana, papa dan mama tidak pernah menuntutmu untuk melakukan hal yang tidak kau sukai."

Syafa menoleh, menatap sambil tersenyum ke arah papanya yang kini berada di kursi kemudi. Wajah pria setengah baya berkacamata itu tampak tegang, seolah hendak memulai perang. Syafa sendiri sudah lebih santai. Ia sudah mempersiapkan hal ini selama sepuluh tahun, jadi ia memang sudah menata hatinya. Meskipun tidak ia pungkiri, rasa sakit itu masih ada.

"Aku udah siap kok, Pa. Itu sudah puluhan tahun, papa jangan tegang gitu. Bikin aku takut aja."

Salman mengusap lembut rambut putrinya, lalu tersenyum hangat. Trauma masih membekas di hatinya tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu. Tentang putrinya yang mengalami kesedihan dan kehilangan yang teramat dalam. Butuh beberapa bulan hingga putrinya itu benar-benar pulih. Dan tidak ada satu keluarganyapun yang tahu, terutama istrinya. Ia yakin semua akan runyam jika tahu yang terjadi pada Syafa. Dan lagi, ia berjanji pada putrinya untuk merahasiakan hal itu seumur hidupnya.

"Kalau begitu ayo kita turun. Semua sudah menunggumu."

Syafa mengangguk, ia memang sangat merindukan semua keluarganya. Sepuluh tahun ia tinggal di London dan hanya beberapa kali pulang. Namun begitu, seluruh keluarganya rutin mengunjunginya. Mamanya dan Ega, kakek dan neneknya, juga keluarga pamannya. Semua rutin mengunjunginya. Dan Syafa berusaha terlihat baik-baik saja agar semua tetap bahagia. Itu hanya masa lalu, dan Syafa sudah menghapus semua kenangan buruk itu.

Syafa turun saat papanya membuka pintu mobil. Mereka menatap rumah kakek dan neneknya yang tidak berubah. Rumah mewah itu bertambah mewah dengan beberapa perubahan. Mama dan papanya memutuskan tinggal dengan kakek dan neneknya karena Om dan tantenya memilih tinggal sendiri. Alasan lain, agar Ega dan mamanya tidak kesepian saat ayahnya sibuk bekerja di rumah sakit.

"Ayo, mereka sudah antusias menunggumu, terutama mamamu. Ia tidak tidur semalaman saking bahagianya kau akan kembali kesini lagi."

Syafa tersenyum hangat, kemudian keduanya berjalan beriringan menuju rumah besar itu. Beberapa kali Syafa menghembuskan napas berat, berusaha menetralisir rasa gugupnya.

"Sayaaaang, mama kangeeeen." Erika menyambut putrinya di depan pintu ruang tamu. Ia langsung memeluk anak perempuannya itu sambil meneteskan air mata. Akhirnya setelah sepuluh tahun, putrinya benar-benar pulang. Entah kenapa putrinya itu rajin sekali seperti ayahnya, akibatnya mereka jadi jarang bertemu karena putrinya terlalu fokus belajar.

"Hallo, Kak, kau makin cantik saja." Ega yang ada di sebelah Erika menyeletuk, dan mamanya langsung memukul kepalanya.

"Awww, Ma. Apa-apaan sih." Ega menatap mamanya tidak terima. Membuat Erika memelototinya.

"Peluk kakakmu, jangan cengengesan."

Dengan muka cemberut, Ega memeluk kakak perempuannya itu. Di lanjutkan dengan kakek dan neneknya yang juga terlihat sangat merindukannya.

"Nenek sangat merindukanmu. Akhirnya kau pulang juga."

"Aku juga sangat merindukan nenek."

"Kau tidak merindukanku?" Sahut Rafael yang berdiri sedari tadi menyaksikan drama peluk memeluk bersama istri dan kedua anaknya, Zafran dan Zelin.

Menyadari itu, Syafa melepaskan pelukan neneknya dan memeluk keluarga pamannya bergantian. Ia bahkan mencubiti pipi gembul Zelin yang tampak menggemaskan. Meskipun mereka semua rutin mengunjunginya di London, tetap saja, tidak bertemu setiap hari membuat Syafa selalu merindukan seluruh keluarganya.

"Ayo kita ke meja makan dulu. Bincang-bincangnya nanti saja. Kakek yakin, Syafa pasti lapar setelah perjalanan jauh."

Semuanya mengangguk, Syafa berjalan ke ruang makan sambil bercanda dengan Zelin yang menanyakan oleh-oleh titipannya dari London. Gadis kecil itu sangat bersemangat saat sepupunya itu membelikan seluruh pesanannya.

Semuanya sudah duduk di meja makan. Hidangan sudah tersaji dan perut lapar Syafa langsung keroncongan melihat semua makanan kesukaannya tersaji di meja makan. Zelin yang tidak sabaran mencomot sepotong daging yang langsung ditegur oleh mamanya karena kurang sopan.

"Ayo makan. Kakek juga sudah lapar." Mereka semua mengangguk dengan Zelin yang sangat bersemangat. Makan malam terasa sangat hangat meskipun wajah dokter Salman tetap datar seperti biasanya. Meskipun semula semua orang heran jangan perubahan sikap Salman, kini mereka sudah terbiasa dengan raut datar pria itu.

Di tengah-tengah acara makan malam, suara deringan ponsel terdengar. Friska yang tengah menyuapi Zelin, menghentikan kegiatannya saat menyadari ponselnya berdering dan cukup mengganggu.

"Siapa sayang?" Tanya Rafael sambil mengambil alih tugas menyuapi Zelin yang manja.

"Ini Revan, tadi dia bilang mau ke rumah kita ambil kameranya yang ketinggalan. Udah aku kasih tahu tempatnya, mungkin dia kebingungan."

Mendengar nama yang disebutkan oleh Friska, sontak wajah Syafa dan Salman menegang seketika. Rasa lapar yang tadi menggebu-gebu, segera sirna saat menyadari, ia harus menghadapi pria itu juga nantinya. Syafa tidak mungkin terus bersembunyi. Dan meskipun sudah menyiapkan hatinya selama bertahun-tahun, tetap saja rasa sakit itu kembali muncul hanya dengan mendengar namanya saja.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang