Part 21

1.3K 120 6
                                    

Syafa melepaskan pegangan tangan Alex saat mereka sampai di parkiran. Tadi ia menurut saja saat Alex mengandeng tangannya karena ada Revan. Namun dalam hati, Syafa merasa tidak nyaman. Entah kenapa ia masih kurang nyaman bersentuhan dengan pria selain keluarganya sendiri.

"Maaf, Fa. Tadi aku spontan aja. Aku nggak maksud aneh-aneh kok." Alex tempak rikuh saat Syafa melepaskan genggaman tangannya. Wanita itu tampak gugup, entah karena apa.

"Nggak apa-apa kok Lex. Aku cuma, eeeh, maksud aku, aku belum terbiasa aja berdekatan sama pria selain keluarga aku sendiri."

"Its oke. Nggak masalah. Jangan terlalu di perpanjang masalah yang nggak penting. Ayo masuk, aku antar kamu ke rumah sakit."

Syafa mengangguk, kemudian masuk ke dalam mobil milik Alex. Sepanjang perjalanan, pria itu tampak mengakrabkan diri dengannya. Dan karena tidak enak hati, Syafa mau tidak mau pura-pura nyaman dengan kebersamaan mereka.

Padahal dalam hati, ia sebenarnya kurang nyaman. Jika bukan karena desakan mamanya untuk membuka hati pada Alex, Syafa sebenarnya belum memikirkan seputar pasangan hidup. Ia masih belum siap menikah karena keadaan dan traumanya.

Sesampainya di rumah sakit, Syafa keluar dari mobil Alex setelah mengucapkan terima kasih terlebih dahulu. Syafa berjalan menuju ruangannya, ia bisa istirahat sebentar karena nanti malam ia ada giliran jaga malam.

Di lorong rumah sakit, ia berpapasan dengan papanya. Pria itu terlihat kelelahan, sepertinya baru saja melakukan tindakan operasi.

"Pa, capek banget kelihatannya?"

"Papa habis operasi. Kamu dari mana?"

"Eeehm, makan siang Pa."

"Sama siapa?"

Syafa terlihat ragu untuk menjawab, membuat papanya tersenyum tipis. Putrinya sudah dewasa, mungkin Erika benar, sudah saatnya putrinya membina rumah tangga. Ia tidak bisa terus posesif seperti ini selamanya.

"Sama Alex, Pa."

"Oooh, sama Alex."

"Papa nggak marah kan?" Syafa terlihat bingung, pasalnya selama ini papanya selalu menunjukkan wajah yang kurang bersahabat saat ada pria yang mendekatinya.

"Nggak. Kamu udah dewasa, butuh pendamping hidup. Nggak selamanya papa bisa melindungi kamu. Maafkan papa yang selama ini terlalu berlebihan."

"Pa, papa nggak berlebihan. Aku paham kenapa papa jadi begitu. Hanya saja, aku nggak nyangka malah bikin mama salah paham sampai seperti itu." Syafa tempak bersedih. Sang papa langsung merangkul pundaknya, memberi semangat pada putri satu-satunya itu.

"Kemarin papa janji sama mama, kalau kamu menyukai seseorang, papa akan berhenti overprotektif. Sudah saatnya kamu mencari pasangan hidup. Mama benar, jika papa terus seperti ini, takutnya kamu jadi perawan tua."

"Pa, ya nggak sampai gitulah!"

Keduanya tertawa bersamaan. Syafa kemudian bercerita seputar makan siangnya dengan Alex. Tentu saja ia tidak mengatakan jika sebenarnya ia kurang nyaman. Jika sampai papanya tahu, takutnya malah mama dan papanya kembali bertengkar.

Lagi pula tidak ada salahnya mencoba pendekatan dengan Alex. Pria itu cukup sopan, tidak neko-neko dan sangat menghormatinya. Untuk ukuran wanita yang tidak trauma, Alex adalah lelaki yang sangat sempurna dari segi apapun. Tentu saja ia harus rela mendapatkan kemarahan Zelin jika ketahuan makan siang bersama pujaan hati gadis kecil itu.

"Ya udah, papa istirahat dulu. Malam ini kamu tugas jaga kan?"

"Iya Pa."

"Kalau gitu papa pulang duluan nanti. Nanti takutnya mama kamu uring-uringan nuduh papa selingkuh lagi."

Keduanya tergelak, kemudian kembali ke ruangannya masing-masing. Syafa langsung masuk ke ruangannya lalu membanting tasnya. Ia duduk dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Entah kenapa ia sangat lelah jika harus bertemu orang selain keluarganya. Syafa memencet tombol agar AC ruangannya semakin dingin. Suasana panas beberapa hari ini membuat AC harus bekerja extra keras.

Beberapa saat ia memejamkan matanya, suara deringan ponsel membuat mata Syafa terbuka seketika. Ia bangkit dari duduknya sambil memegangi pinggangnya karena pegal tertidur di kursi.

Syafa mencari tasnya. Ketika menemukannya di sofa, Syafa segera meraihnya dan mengambil ponselnya dari dalam tas. Terlihat di sana mamanya melakukan panggilan. Pasti menanyakan perihal makan siangnya dengan Alex tadi. Syafa langsung mengusap tombol hijau agar bunyi deringan itu terhenti.

"Iya Ma. Ada apa?"

"Fa, ini mama sama nenek penasaran banget. Nggak tahan nunggu kamu pulang. Gimana tadi makan siangnya sama Alex, lancar kan?"

"Lancar Ma. Masak nelpon sampai ponsel aku kayak kesurupan cuma nanyain itu doang."

"Ya iyalah. Kami takut kamu berubah kayak papa kamu. Kaku dan nyebelin. Nanti bisa-bisa nggak ada yang mau sama kamu. Alex itu di mata kami semua udah pas banget. Orangnya ganteng, dari keluarga yang bibit bebet bobotnya jelas. Plus, dia kelihatan suka banget sama kamu. Percaya deh, dia pasti bisa bahagiain kamu. Ya, meskipun mama nggak jamin sih. Nggak ada yang seratus persen bisa di percaya di dunia ini."

"Udah deh Rika. Nggak usah mulai lagi. Salman nggak ada, siapa yang mau kamu sindir."

Suara neneknya terdengar di sebelah mamanya. Rupanya keduanya benar-benar tidak sabar menunggu kepulangannya hanya untuk menanyakan makan siang yang sebenarnya biasa-biasa saja bagi Syafa.

"Fa, pokoknya nanti sampai rumah kamu harus cerita sedetail-detailnya. Mamanya Alex tadi udah telpon, katanya Alex senyum terus setelah pulang nganterin kamu. Mama harap, kamu juga gitu. Sebenarnya bukan maksud mama jodoh-jodohin kamu. Tapi, untuk mendapatkan pria seperti Alex, itu kesempatan langka. Ya itu menurut mama sih. Mama juga nggak berani jamin. Takut sama papa kamu."

"Lo, bukannya mama bilang sekarang papa bakal ngabulin semua keinginan mama?"

"Tetep ada kecualinya."

"Kecuali, maksudnya?"

"Kecuali masalah keinginan kamu dan Ega. Mama nggak boleh maksa-maksa."

"Itu doang."

"Iya. Mama juga nggak berani. Takut papamu kambuh lagi."

"Kambuh? Emang papa kenapa Ma?"

"Ya kambuh kayak sepuluh tahun ini. Jadi aneh gitu. Sekarang dia kan nggak aneh lagi sama mama. Jadi mama takut dia balik kambuh lagi. Udah. Kamu cepetan pulang aja setelah piket besok."

"Oke Ma. Bye Mama."

Syafa menutup panggilannya. Ia tersenyum sekilas, bahagia karena Mama dan papanya sudah baikan dan tidak ada kesalahpahaman lagi. Untuk masalah hubungannya dengan Alex, Syafa ingin seperti air yang mengalir saja. Terserah bagaimana Tuhan nanti yang menentukan.

Syafa hendak berbalik dan memeriksa laporan kesehatan pasien-pasiennya. Namun, tiba-tiba pintu ruangannya di buka dengan kasar oleh seseorang. Syafa menoleh, matanya yang tadi melotot terkejut seketika berubah datar saat melihat siapa yang menyelonong masuk ke dalam ruangannya. Benar-benar tidak sopan sama sekali.

Revan Adrian Baskara

Mau apa lagi pria itu kemari?

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang