"Ah, Anda, silahkan duduk." Syafa yang sudah tersadar dari keterkejutannya berdehem, berusaha menetralisir rasa gugup yang mendadak menderanya. Revan datang kemari sebagai pasien, bukan untuk menemuinya. Jadi untuk apa ia gugup.
Revan yang mendengar itu segera berjalan dan duduk di hadapan Syafa. Ia meraba keningnya karena gugup. Entah kenapa otak gilanya tiba-tiba mengajaknya kemari untuk kontrol. Padahal jelas lukanya baik-baik saja dan tidak ada masalah.
"Ada masalah dengan luka Anda?" Tanya Syafa berusaha profesional. Meskipun dalam hati, rasanya ia ingin lari saja karena bingung dengan situasi ini.
"Keningku. Rasanya terkadang masih sakit. Dan lecet-lecet ini sama sekali tidak nyaman."
Syafa beranjak dari duduknya. Ia mengambil gunting lalu membuka perban di kening Revan dengan hati-hati. Setelah memeriksa sesaat, tidak ada masalah dengan jahitannya. Semuanya baik-baik saja.
"Tidak ada masalah. Lukanya mulai mengering. Dan jahitannya juga hanya terlihat samar. Untuk luka lecetnya, mungkin butuh beberapa hari lagi karena kemarin saya sudah meresepkan salep yang bagus."
Revan mengangguk, membiarkan Syafa memeriksa seluruh luka-lukanya. Setelah di rasa cukup, Syafa kembali duduk di seberang Revan.
"Saya sudah melihat semuanya. Tidak ada masalah sama sekali. Kalau ada rasa tidak nyaman, itu wajar. Namanya juga luka. Saya akan meresepkan obat tambahan setelah ini."
Revan tidak menjawab. Ia hanya memperhatikan Syafa yang tampak serius menuliskan resep untuknya. Padahal ia tidak apa-apa, hanya menuruti kata hatinya yang sialan ini untuk kemari.
"Kau, tampak sangat baik setelah pulang dari London." Revan akhirnya memulai pembicaraan. Tidak tahan dengan sikap dingin Syafa yang seolah tidak mengenalnya. Apa sakit hati membuat wanita itu berubah drastis hingga Syafa seolah enggan menatapnya.
"Iya." Jawab Syafa singkat sambil tetap menulis resep, tidak menatap Revan sama sekali.
"Ini resepnya. Anda bisa menebusnya sekarang."
Syafa menyerahkan resep pada Revan dari seberang meja. Pria itu tidak mengambilnya, hanya menatap datar Syafa yang kini enggan menatapnya.
"Kau tidak mau bicara denganku?" Tanyanya kemudian, Syafa hanya terdiam sambil menatap laptopnya.
"Tidak ada yang perlu di bicarakan. Saya sibuk. Pasien saya banyak."
"Aku juga pasienmu."
"Dan saya sudah memberikan pengobatan terbaik."
"Aku ingin bicara denganmu."
"Silahkan. Apa yang ingin anda ketahui tentang kesehatan anda?"
"Tidak ada. Aku, eeeehm___" Revan menarik napas panjang, kemudian menatap Syafa yang tampak masih enggan menatapnya.
"Aku ingin meminta maaf padamu." Ucapnya kemudian. Syafa mendongak, menatapnya datar.
"Oke." Jawabnya singkat, membuat Revan kesal sendiri.
"Sepuluh tahun yang lalu, aku minta maaf. Tidak seharusnya aku melakukan hal itu padamu."
"Aku sudah lupa. Itu sudah lama sekali."
"Tapi aku belum lupa. Dan bisakah kau menatapku. Aku bukan monster." Ucap Revan sedikit geram, Syafapun akhirnya menatapnya jengah. Sepertinya wanita benar-benar ogah-ogahan bertemu dengannya.
"Sepertinya tidak ada lagi yang perlu di bahas. Saya sedang bekerja. Bisakah Anda keluar sekarang karena Anda sangat menggangu."
"Aku pasien terakhir."
"Saya ingin segera istirahat. Keluarlah."
"Tidak. Aku ingin bicara denganmu."
"Oke. Bicaralah." Akhirnya Syafa mengalah. Jika tidak begitu, Revan tidak akan mau pergi dari ruangannya.
"Kau berubah." Ucap Revan kemudian, membuat Syafa menghembuskan napas jengah.
"Sudah sepuluh tahun, semua orang pasti berubah."
"Perubahanmu sangat drastis."
"Apa anda kemari hanya ingin membicarakan seputar perubahan saya, apakah itu penting?"
"Apa hubunganmu dengan Alex? Kemarin aku melihat kalian pulang bersama."
Syafa benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Untuk apa Revan menanyakan hal yang seperti itu. Bukankah itu bukan urusannya sama sekali. Untuk apa pria itu menanyakan hubungannya dengan Alex.
"Itu bukan urusan anda. Anda orang sibuk, sebaiknya tidak mengurusi hal-hal seperti itu."
"Kenapa? Itu urusanku ingin mengurusi apapun yang aku inginkan. Aku tanya, apa hubunganmu dengan Alex."
Syafa berdiri, ia benar-benar tidak tahan mendengar semua pertanyaan arogan Revan. Syafa berjalan melewati Revan dan bersedekap di depan pintu.
"Ini pintu, anda bisa keluar sekarang juga karena sangat menggangu pekerjaan saya."
Revan berdiri. Dengan wajah datarnya, ia menghampiri Syafa yang bersedekap di depan pintu. Perempuan itu seolah muak dengan kedatangannya. Tapi, Revan tidak peduli. Ia harus tahu jawaban dari pertanyaannya agar ia bisa bekerja dengan tenang.
"Kau mengusirku?" Tanyanya ketika berdiri tepat di hadapan Syafa. Wanita itu menatapnya tajam, seolah menunjukkan kekesalannya yang tidak bisa di tahan-tahan.
"Anda menganggu pekerjaan saya. Saya dokter. Jam segini saya harus istirahat setelah memeriksa banyak orang. Saya tidak ingin membicarakan masalah yang lain dengan Anda selain masalah kesehatan."
"Aku hanya bertanya hal kecil. Kenapa susah sekali menjawabnya. Mungkin setelah mendengar hal itu, aku akan segera pergi."
Syafa benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Revan yang dulu sangat acuh tak acuh padanya, kenapa sekarang mendadak ingin tahu urusannya. Bukankah itu aneh. Untuk apa mempertanyakan hubungannya dengan Alex. Itu bukan urusan Revan sama sekali.
"Dengar, saya tidak ada waktu untuk menjelaskan hal tidak penting seperti itu. Jadi, sebaiknya anda pergi sebelum saya memanggil satpam."
Revan berdecih, ia menatap Syafa dari atas sampai bawah sambil mengusap sudut bibirnya dengan ibu jari. Tatapan yang menurut Syafa sangat melecehkan. Namun, ia tidak ingin memperpanjang urusan tidak penting dengan Revan. Jadi, ia harus mengusir pria itu sekarang juga.
"Saya mohon, pergilah."
"Kau pernah tidur dengannya?"
Plaaaak
Suara tamparan menggema keras di ruangan itu. Revan tampak memegangi pipinya yang kena tamparan Syafa. Ia menoleh, menatap Syafa yang tampak emosi. Dada wanita itu naik turun menahan amarah.
Revanpun tak kalah kesalnya. Ia menatap datar pada Syafa. Bukan salahnya yang bertanya seperti itu. Salah Syafa karena tidak mau menjawab pertanyaannya dengan jelas.
"Keluar sekarang juga!!"
Syafa yang emosi segera membuka pintu ruangannya. Ia berniat memanggil satpam yang berjaga. Namun, ketika pintu dibuka, tampak Alex duduk di ruang tunggu, dan laki-laki itu langsung tersenyum manis kala melihatnya.
Pria itu berdiri menghampiri Syafa yang masih syok di depan pintu. Dengan wajah cerah, Alex berjalan lalu berhenti tepat di hadapan Syafa, menatap kekaguman pada wanita dingin itu.
"Hai, tadi aku mengantarkan papa check-up. Dia sudah pulang dengan sopir. Kebetulan ini sudah waktumu pulang, jadi aku memutuskan menunggumu. Papa juga tidak keberatan untuk sepertinya." Jelas Alex dengan sedikit gugup. Ia tersenyum hangat sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
Keduanya terdiam sejenak. Alex tidak tahu harus berkata apa lagi karena dari tadi Syafa hanya diam. Namun, mata Alex seketika melotot saat menyadari orang yang sangat ia kenal tiba-tiba keluar dari ruangan Syafa. Orang itu menatapnya datar, dan mereka bertigapun sama-sama terdiam untuk beberapa saat, seolah waktu terhenti saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Frozen Flower (On Going)
RomansaSyafa Armita Radjasa, wanita yang semasa gadisnya sangat ceria itu kini berubah 180 derajat setelah dewasa. Keadaan dan trauma membuat psikis dan mental sedikit terganggu, dan hal tersebut itu hanya di ketahui oleh ayahnya saja. Profesinya sebagai d...