Part 13

1.4K 110 7
                                    

Revan geram melihat Syafa yang tidak menggubris perintahnya untuk masuk ke dalam mobilnya. Perempuan itu tidak menatapnya dan sibuk melihat ponsel, sepertinya menunggu taksi pesanannya. Revan akan keluar untuk menyeret wanita itu agar masuk, namun sebelum itu terjadi, hujan deras tiba-tiba turun. Revan tersenyum miring saat mendengar pintu mobilnya dibuka.

"Kemana?" Tanya Revan tanpa menoleh.

"Rumah sakit." Jawab Syafa singkat.

Syafa duduk di kursi penumpang dengan wajah masam. Perempuan itu terlihat terpaksa masuk ke dalam mobil Revan karena sebagian bajunya sudah basah. Tanpa mengatakan apapun lagi, Revan melajukan mobilnya menuju rumah sakit di tengah hujan deras yang mengguyur. Ia menyalakan radio agar suasana tidak senyap.

Saat tiba di depan sebuah jembatan besar, Revan menghentikan mobilnya. Tampak di depan orang-orang bergerombol mengenakan mantel, keberadaan-kendaraan macet dan orang-orang terlihat panik. Revan membuka sedikit kaca mobilnya dan menghentikan seorang polisi yang lewat.

"Maaf, pak, ada masalah apa ya di depan? Kenapa macet sekali?"

"Ada pohon besar tumbang mas. Jadi nggak bisa lewat. Mau di evakuasi malam ini susah mas, keadaan hujan lebat."

"Putar balik bisa ya pak?"

"Dua kilometer pas jembatan ada longsor mas, jalan di tutup. Jadi yang lewat jalan ini nggak bisa kemana-mana. Kayaknya besok pohonnya baru bisa di evakuasi."

"Ya udah pak. Makasih ya."

"Oke mas."

Revan kembali menutup kaca mobilnya. Ia menatap Syafa yang duduk tegang di sebelahnya. Tanpa mengatakan apapun, Revan kembali melajukan mobilnya, mencari penginapan terdekat karena ia tidak mau tidur di mobil. Kalau Syafa terserah. Mau tidur di mobil atau di emperan toko, ia tidak peduli.

Setelah parkir di basement sebuah hotel, Revan hendak keluar tanpa menoleh ke arah Syafa. Ia sengaja akan meninggalkan wanita dingin itu. Sudah berbaik hati ia mengantarkan, jadi Revan tidak mau mengemis perhatian. Syafa sudah dewasa. Sudah bisa menjaga diri.

Saat Revan membuka pintu mobilnya, tangan Syafa memegang lengannya. Ia menoleh, menatap datar pada wanita itu.

"Kita dimana? Kenapa malah kemari, aku mau pulang." Revan mendengus, menatap penuh ejekan pada Syafa.

"Kau tuli? Apa kau tidak dengar kata polisi tadi? Di depan ada pohon besar tumbang yang entah kapan bisa di evakuasi. Kita berbalik, ada longsor. Jadi kau pikir aku harus menerjang longsor atau berlagak seperti Dominic Toretto, melayangkan mobil melewati pohon tumbang. Maaf, aku tidak mau."

"Lalu bagaimana sekarang?" Syafa terlihat sangat cemas, ia menggigiti bibirnya, seperti ketakutan.

"Terserah. Aku mau menginap di sini. Dan kau, terserah padamu. Kau boleh tidur di mobil ini, atau dipinggiran hotel. Itu hakmu."

"Apa kau sudah gila!!"

"Lalu aku harus bagaimana? Memintamu menginap denganku, aku tidak mau terdengar brengsek dengan memanfaatkan kesempatan."

"Jadi kau menelantarkan aku?"

"Kau sudah dewasa. Bukan anak kecil yang butuh tuntunan."

Revan keluar dari mobilnya, meninggalkan Syafa yang melongo di kursi penumpang. Setelah menyadari kondisinya, Syafa segera keluar, berlari mengikuti Revan memasuki lobi hotel.

Suasana hotel sangat ramai karena sepertinya banyak orang yang terjebak di daerah ini. Syafa berdiri dibelakang Revan yang tengah mengantri kamar. Sesekali ia menepuk-nepuk lengannya karena kedinginan.

Sekilas tatapan Syafa terfokus pada bayi laki-laki yang ada di stroller. Ibunya duduk di sampingnya, mungkin sang ayah adalah salah satu pengantri. Melihat bagaimana sang ibu menimang bayinya, dan bayi itu tertawa bahagia, air mata Syafa menetes dengan sendirinya.

Entahlah. Setiap melihat bayi, perasaannya jadi melankolis. Apalagi ketika bayi itu tertawa bersama ibunya, hati Syafa terasa seperti di sayat-sayat. Beberapa menit seperti itu, hingga Revan heran menatapnya.

"Kau baik-baik saja?" Syafa menoleh, menatap Revan yang keheranan melihatnya. Ia menggeleng pelan, tidak menjawab pertanyaan Revan. Pria kembali berbicara dengan resepsionis, tampak serius dan akhirnya Syafa mendekat untuk mendengarkan.

"Saya mau dua kamar. Berapapun harganya akan saya bayar." Revan terdengar sangat kesal. Mungkin masalah kamar. Syafa mendengarkan lebih lanjut.

"Maaf Pak. Tapi bapak lihat sendiri kan, hotel hari ini sangat ramai karena kemacetan. Dan yang tersisa hanya satu kamar itu. Jika bapak tidak mau, masih banyak yang antri dibelakang bapak. Kasihan mereka."

Revan menyugar rambutnya kasar, kemudian menatap datar pada Syafa. Ia kemudian mengangguk pada resepsionis dan beberapa saat kemudian mendapatkan kunci. Syafa heran, pasalnya beberapa tamu tampak kehabisan kamar setelahnya.

"Ayo." Syafa dengan patuh mengikuti Revan meskipun masih kebingungan. Ia hanya ikut tanpa bertanya saat Revan berjalan menyusuri lorong dan berjalan menuju kamar yang sudah dipesan oleh pria itu.

Tapi tunggu.

Mana kunci untuknya. Jangan bilang Revan hanya memesan untuk satu kamar saja. Jangan bilang pria itu mencari kesempatan dalam kesempitan. Saat Revan hendak membuka pintu kamar, Syafa langsung menahannya.

"Tunggu dulu. Mana kunci untukku? Kenapa kuncinya hanya satu. Jangan bilang kau tidak memesankan kamar untukku." Revan kembali mendengus kesal, menatap datar pada Syafa yang terlihat kebingungan.

"Kau tidak dengar tadi, kamar hanya tinggal satu ini. Jika aku tidak mengambilnya, akan diberikan pada yang lain. Yang mengantri dan tidak dapat kamar masih banyak. Tentu saja aku tidak mau berbuat konyol tidur di mobil atau di jalanan. Aku akan tidur di sini. Kau, terserah padamu. Ikut masuk kemari atau tidur di mobil atau dimanapun itu. Terserah padamu karena kau sudah dewasa."

Revan memasuki kamar tanpa mengunci pintunya. Syafa yang kebingungan hanya termenung di depan pintu kamar hotel. Ia bingung harus bagaimana. Menyuruh sopir kakeknya untuk menjemputpun percuma saja. Daerah ini terjebak, tidak akan ada yang bisa kemari.

Syafa akhirnya berjalan menuju lobi yang sudah agak sepi. Ada beberapa orang pria yang tidur di sana, meskipun dilarang petugas hotel, tampaknya sia-sia karena mungkin mereka tidak tahu lagi harus tidur dimana. Syafa memeluk dirinya sendiri karena pakaiannya sedikit basah. Ia mencoba bicara dengan resepsionis, siapa tahu ada kamar yang tersisa.

"Maaf nona, kamar kami benar-benar habis. Anda lihat sendiri kan, banyak yang tidak dapat dan akhirnya tidur dilobi. Meskipun kami larang, percuma saja karena mereka naik motor dan tidak tahu harus berteduh dimana."

Syafa menghembuskan napas berat, kemudian duduk di kursi lobi. Badannya mulai kedinginan karena bajunya basah. Suara petir terdengar menggelegar, dan hujan terdengar semakin deras. Syafa ketakutan. Ia benar-benar takut petir.

Tanpa berpikir panjang, Syafa berdiri dan melajukan kakinya, berjalan menyusuri lorong hotel. Di depan sebuah pintu kamar, ia menghembuskan napas berat. Dan dengan segenap keberaniannya, ia membuka pintu kamar hotel itu dan akhirnya masuk ke dalamnya.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang