Part 18

1.3K 104 4
                                    

"Dengar anak muda. Ku katakan sekali lagi, lebih baik kau tidak usah tahu apapun. Yang harus kau lakukan sekarang, cukup jauhi putriku. Itu saja."

"Saya tidak bisa menjanjikan apapun karena saya tidak tahu ke depannya seperti apa. Jika sesuatu itu mengharuskan saya ikut campur, saya akan melakukannya."

Salman semakin emosi mendengar bantahan Revan. Rupanya anak lelaki penurut itu berubah menjadi pemberontak semenjak berganti pemilik. Revan sekarang anak orang yang sangat berkuasa. Dan hal itu membuatnya semakin gigih ketika memiliki keinginan.

"Setidaknya, pandanglah aku sebagai orang yang dulu menyelamatkan nyawamu. Tolong, jangan dekati putriku lagi. Anggap saja itu imbalan atas semua yang aku lakukan padamu dulu. Jangan membuatku menyesal karena pernah menyelamatkan nyawamu."

Tatapan Revan seketika berubah sendu. Kenangan di otaknya langsung berputar begitu saja. Dimana dokter Salman yang bersusah payah mengoperasinya, kemudian pria itu juga yang menyembunyikan kakaknya dan dirinya dari Rafael yang kejam. Pria yang di hadapannya kini berjasa besar dalam hidupnya. Dan bisa-bisanya Revan membalasnya dengan menyakiti putrinya.

"Tolong ingat kata-kataku. Jauhi Syafa. Biarkan dia hidup normal dan melupakan semua masa lalu kalian. Itu satu-satunya permintaanku. Anggap saja sekarang aku menagih balas budimu. Dan aku yakin, jika Friska sampai tahu apa yang kau lakukan pada Syafa, ia akan dihantui rasa bersalah yang besar sepanjang hidupnya. Pikirkan itu."

Dokter Salman keluar dari ruangan, meninggalkan Revan yang mematung di tempatnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Semua yang dikatakan dokter Salman benar. Jika sampai semua orang tahu apa yang ia lakukan pada Syafa, pasti akan terjadi kehebohan. Dan yang paling sedih dari semua itu adalah kakaknya. Friska pasti akan tertekan dan ia takut rumah tangga kakaknya yang sudah bahagia akan goyah.

Mungkin Dokter Salman benar. Sebaiknya ia diam dan melupakan semuanya. Syafa sudah bisa berdamai dengan kenyataan. Mungkin Revan saja yang terlalu melankolis mengingat masa lalu mereka yang buruk. Lagi pula, seharusnya ia senang bukan Syafa yang dulu selalu mengganggunya, kini sudah berubah.

Anggap saja semuanya tidak pernah terjadi. Dan ia juga harus berhenti memikirkan masa lalu dan mulai menata masa depannya. Dan mungkin ia juga harus mempertimbangkan tawaran papanya untuk mulai memikirkan pernikahan. Mungkin dengan itu, hidupnya bisa tenang.

**

"Mama!!"

Suara jeritan anak kecil kembali terdengar. Suasana tiba-tiba memutih. Seorang perempuan berpakaian putih kebingungan mencari sumber suara. Ia berjalan kebingungan di tengah suasana yang memutih, tidak ada apapun.

Perempuan itu terus berlari, hingga rasanya sangat kelelahan, namun ia tetap berlari. Di suatu sudut, ada ranjang bayi dan terdapat seorang bayi perempuan mungil di sana. Wanita itu berjalan ke arah si bayi, menatapnya penuh kerinduan. Ia duduk di samping ranjang bayi dan mengelus rambut bayi cantik itu.

Namun, tiba-tiba telinga bayi itu mengeluarkan darah. Wanita itu terkejut, ia menangis sambil lalu menggendong bayi itu. Tapi, darah tiba-tiba muncul lagi dari hidung dan mata si bayi hingga tubuh wanita itu berlumuran darah.

Wanita itu menjerit, menggoyang-goyangkan tubuh si bayi yang ada di dalam gendongannya. Namun percuma, bayi berlumuran darah itu sudah tidak bergerak sama sekali, membuat wanita itu menangis dan menjerit histeris tanpa ada seorangpun di sisinya.

**

Syafa terbangun dengan keringat membasahi tubuhnya. Ia langsung terduduk dengan napas tersengal-sengal. Kenapa mimpi itu muncul lagi. Setelah bertahun-tahun tidak muncul, kini mimpi itu kembali lagi.

Syafa segera beranjak dari ranjang dan mengambil obat di dalam laci nakas. Ia segera meminum obat itu agar suasana hatinya membaik. Jika tidak segera minum, Syafa khawatir penyakitnya akan kambuh lagi. Pasti semua orang akan heboh jika mengetahuinya.

Melihat jam sudah jam 6 pagi, Syafa segera menuju kamar mandi. Ia segera membersihkan tubuhnya lalu memakai bathrobe. Keluar dari kamar mandi, ia mengeringkan rambutnya lalu mengoleskan pelembab ke wajahnya.

Setengah jam Syafa berjibaku dengan wajah dan tubuhnya, akhirnya ia sudah selesai. Syafa turun ke ruang makan dan mendapati mama dan neneknya sudah berada di sana. Mereka membantu pelayan menyiapkan sarapan sambil menunggu anggota keluarga yang lain.

"Pagi Ma, pagi Nek." Syafa mencium pipi keduanya, kemudian ikut membantu menata makanan.

"Pagi Sayang, bagaimana tidurmu, nyenyak?"

"Nyenyak Nek. Seperti biasa."

"Bagus. Nenek takut kamu kurang tidur karena kelelahan bekerja."

Sarah mengelus rambut Syafa, menatap penuh kasih sayang pada cucu pertamanya itu. Meskipun Syafa banyak berubah sejak kuliah di Inggris, namun gadis itu masih seperti anak kecil di matanya.

"Fa, gimana kabarnya Alex, dia nggak pernah menghubungi kamu?"

Syafa menatap mamanya seketika. Wanita itu terlihat menunggu jawabannya dengan wajah berbinar. Apa sebegitu inginnya mamanya memiliki menantu, hingga setiap ada di dekat Syafa, hanya Alex saja yang di bahas.

"Ya sesekali, Ma."

"Kamu bales wa-nya kan?"

"Iya."

"Fa, kamu kok gitu sih. Yang enak dong jawabnya. Masak tiap di tanya jawabnya cuma ya, iya, nggak. Kok kamu jadi kaku kayak papa kamu sih. Sebenarnya kalian berdua ini kenapa? Mama bingung tahu."

Syafa menghentikan gerakannya menata selai. Ia memperhatikan mamanya yang tampak frustasi. Memang dari semua kejadian di hidupnya serta perubahan sikap dirinya dan papanya, sang mamalah yang secara langsung menjadi korban. Tidak tahu apa-apa, tiba-tiba suaminya yang dulu sabar dan penyayang, menjadi dingin tak tersentuh dan overprotektif pada putrinya.

"Nenek juga jadi segan sama papamu. Sudah sepuluh tahun ini dia berubah. Eh, Erika, kamu nggak punya salah apa-apa sama dia kan?"

"Salah apa sih Ma? Wong aku juga kebingungan kenapa Mas Salman jadi gitu. Kami nggak pernah bertengkar wong dianya sibuk di rumah sakit. Tapi__"

"Tapi apa?"

"Apa jangan-jangan Mas Salman selingkuh ya. Aku baca-baca di internet kalau orang selingkuh itu jadi enek dan dingin sama istrinya."

"Ma, mama ini ngomong apa sih. Papa nggak selingkuh. Aku tiap hari sama papa."

"Iya kamu tu jangan mikir aneh-aneh deh Rika. Mama setuju sama Syafa. Nggak mungkin Salman selingkuh."

"Kan Syafa baru beberapa minggu ini sama papanya. Sebelumnya dia nggak tahu kan. Aku juga nggak pernah ngecek di rumah sakit. Jangan-jangan dia selingkuh sama sesama dokter. Kan lagi marak belakangan ini kasus selingkuh satu profesi."

"Ma. Itu nggak mungkin. Papa nggak mungkin selingkuh. Mama nggak usah mikir macem-macem deh."

"Nggak. Bisa aja. Mama akan selidiki. Jika sampai papamu selingkuh. Mama akan bakar rumah sakitnya."

"Kalau kamu bakar rumah sakit aku, pasien-pasien aku gimana? Kamu mau tanggung jawab kalau mereka mati kebakar."

Ketiga wanita yang tengah bergosip itu menoleh. Dan ketiganya syok mendapati orang yang mereka gosipkan ada belakang mereka. Orang itu berjalan menuju meja makan lalu duduk dengan santai seolah tidak mendengar apapun seputar dirinya yang tengah heboh dibicarakan.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang