Part 10

2.4K 155 11
                                    

"Pak Revan, anda di sini?" Tanya Alex kemudian, memecah keheningan yang terjadi diantara mereka bertiga.

"Saya kontrol." Jawab Revan singkat, menahan rasa muak melihat Alex ada di tempat ini.

"Kontrol?"

"Beberapa hari yang lalu saya kecelakaan. Kening saya di jahit. Hari ini saya kontrol."

"Ooooh, begitu."

"Pak Alex sendiri, ada perlu apa kemari?" Tanya Revan kemudian, sedikit berbasa-basi. Tadi ia sudah sedikit mendengar jika Alex kemari untuk mengantar papanya periksa.

"Saya mengantarkan papa check-up tadi. Sekarang papa sudah pulang dengan sopir. Saya ada urusan dengan dokter Syafa. Makanya menunggu sedari tadi."

Syafa berdiri kaku diantara keduanya. Sebenarnya ia sangat malas berhadapan dengan kedua pria itu. Tapi, mau bagaimana lagi, dua pria itu ada di hadapannya saat ini. Tidak mungkin juga ia menendang keduanya dari tempat ini.

"Baiklah, karena sudah selesai, saya pulang dulu. Terimakasih dokter." Revan pergi dengan muka masamnya setelah mengangguk singkat pada Alex. Ia berlalu dengan perasaan kesal membuncah di dadanya.

Sementara Syafa, ia akhirnya menyuruh Alex masuk ke dalam ruangannya karena tidak mungkin membiarkan pria berdiri di depan pintu. Setelah mempersilahkan Alex duduk, Syafa juga duduk di seberang pria itu. Tidak enak juga jika membiarkan. Kesannya tidak menghargai niat baik orang lain.

"Waaaah, ruanganmu lumayan luas." Ucap Alex mengawali pembicaraan. Syafa sangat pendiam, jadi ia berinisiatif membuka percakapan.

"Ayahku pemilik rumah sakit. Mungkin ini sedikit bentuk nepotisme." Alex tergelak, sementara Syafa tersenyum kecil, dan menurut Alex itu sangat manis.

"Apa aku mengganggumu?"

"Tidak. Aku sudah selesai memeriksa pasien."

"Apa kau akan menolak jika aku mengajakmu makan siang."

"Aku___,"

"Jangan menolak. Aku sudah jauh-jauh kemari, bahkan rela di tinggal oleh papa. Aku akan mentraktirmu. Kalau kau keberatan, kau bisa mentraktirku."

Syafa tampak berpikir sejenak. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Kenapa menerima ajakan makan siang saja sulit sekali. Padahal ia sangat bersemangat. Pun keluarganya tak kalah mendukung saat ia mengatakan tertarik pada cucu Rudi Hartono.

"Baiklah." Akhirnya perempuan itu mengangguk, Alex tersenyum senang. Syafa kemudian berdiri, melepaskan jas putihnya. Ia mengambil ponsel dan tasnya di meja lalu menghampiri Alex yang masih duduk di sofa.

"Ayo."

Alex berdiri, kemudian mereka berdua keluar dari ruangan Syafa. Keduanya berbincang ringan dengan Alex yang mendominasi. Syafa hanya menjawab sesekali dan mengangguk bila perlu. Dalam hati, ia berharap Zelin tidak melihat hal ini. Jika gadis kecil itu sampai tahu, melihat wataknya, Syafa yakin Zelin akan mengamuk dan mendiaminya seumur hidup.

Tidak jauh dari keduanya, Revan yang sedari tadi ternyata belum pulang menatap kesal pada mereka. Tenyata selama ini Syafa dekat dengan laki-laki lain. Revan benar-benar tidak tahu informasi itu. Hatinya bahkan lelah oleh rasa bersalah, ternyata Syafa sudah melupakan hal itu. Wanita itu sudah kembali dekat dengan laki-laki lain dan terlihat sudah nyaman dibalik wajah dinginnya. Jika seperti ini, untuk apa Revan capek-capek merasa bersalah, buang-buang waktu saja.

Dengan wajah muram bukan main, Revan berjalan menuju parkiran rumah sakit. Ia memasuki mobilnya dan mengemudikannya menuju kantor dengan hati kesal bukan main. Dasar sialan Syafa. Ternyata wanita itu benar-benar sudah melupakannya. Tidak ada gunanya sama sekali rasa bersalah yang bercokol di hatinya. Lagi pula, hubungan tidak jelas mereka sudah sepuluh tahun yang lalu. Sudah kadaluarsa. Namun anehnya, melihat Syafa dan Alex, kenapa ia tidak terima. Bukankah hubungan mereka hanya masa lalu?

**

"Suamimu belum pulang?" Tanya Revan ketika sore hari ia ke rumah kakaknya. Di rumah sepi. Zafran keluar bersama teman-temannya. Zelin les matematika dan Rafael belum pulang. Praktis Friska hanya sendirian di rumah. Bersama para pelayan tentu saja.

"Mungkin mereka pulang waktu jam makan malam. Kalau Zelin mungkin sebentar lagi. Jam 5 biasanya dia sudah pulang. Tumben kau sudah pulang kantor jam segini?" Tanya Friska sambil menyirami tanamannya di tepi kolam, sedangkan Revan duduk di tepian kolam, sesekali tangannya bermain-main dengan air agar tidak jenuh.

"Lagi nggak banyak kerjaan. Rapat pentingnya besok. Jadi aku pulang awal."

"Pentasan sempat mampir. Oh ya, luka kamu kemarin gimana? Nggak ada yang serius kan? Udah kontrol?"

"Udah. Kata dokter nggak apa-apa. Cuma lecet-lecet aja."

"Syukurlah. Kamu periksa dimana?"

"Di rumah sakit dokter Salman. Dokternya Syafa."

"Oooh."

Friska terlihat selesai menyirami tanamannya. Perempuan itu mengambil satu toples kue nastar di atas meja dapur. Friska membawanya ke tepi kolam. Ia duduk di hadapan Revan dengan satu toples nastar di tangannya.

Marcell meraih toples dari tangan Friska. Ia membukanya dan memakan satu butir. Friskapun mengikuti, mereka makan dalam diam hingga menghabiskan beberapa butir nastar.

"Kak."

"Hmm."

"Kemarin aku lihat Alex, anaknya Pak Hendarto nunggu Syafa di rumah sakit. Emangnya mereka ada hubungan apa? Kok kayaknya dekat banget."

"Oh itu. Mereka sih belum lama saling kenal. Setahu kakak gitu. Kemarin katanya Rafael Alex ke rumah papa di suruh Pak Hendarto buat diskusi bisnis."

"Kenapa nggak di kantor aja?"

"Ya mana kakak tahu."

"Mereka kelihatan akrab banget." Revan mulai ngawur karena ingin mencari informasi. Padahal ia lihat sendiri, Alex yang mati-matian mendekati Syafa. Sedangkan Syafa sendiri terlihat biasa saja. Ekspresi datar wanita itu membuatnya sulit ditebak.

"Yang kakak denger sih papa suka sama Alex. Selain bibit bebet dan bobotnya jelas, Alex juga sangat kompeten dalam berbisnis. Jadi, papa mungkin usaha gitu supaya mereka deket. Itu katanya Rafael lo. Kakak cuma menantu, nggak mau terlalu ikut campur."

"Hmmm. Alex memang kompeten. Aku sering kerjasama bareng dia. Hampir semuanya berjalan baik dan menguntungkan."

"Mungkin itu yang membuat papa setengah mati ingin menjodohkan mereka. Lagi pula siapa yang bisa menolak Syafa. Dia cantik, latar belakang keluarganya jelas. Papanya punya rumah sakit. Cuma cowok nggak ada otak yang nolak gadis secantik dan sebaik Syafa. Nggak heran kalau Alex tampak begitu bersemangat mendekatinya."

Revan termenung sesaat. Ia menyantap satu butir nastar sambil pikirannya melayang tak tentu arah saat Friska bercerita ke sana kemari. Memikirkan Syafa dan masa lalu mereka. Entah kenapa Revan seperti orang gila sampai harus mengorek informasi dari kakaknya.

Suara cempreng dari ruang tamu mengalihkan perhatian mereka. Zelin tengah berlari ke arah mereka dengan wajah gembira. Dan yang membuat Revan membelalakkan matanya, ternyata Syafa tampak ada di belakang keponakannya itu, menatapnya datar namun juga terlihat sama terkejutnya seperti dirinya.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang