Part 5

2K 142 2
                                    

Frozen Flower ready di google play book ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Frozen Flower ready di google play book ya. Beda Lay out di sana. Jadi, jumlah halamannya lebih sedikit. Isinya sama kok. Yang biasa beli di sana cuz.

Happy reading 🥰

___**___

"Dokter Syafa." Syafa tersentak saat seorang perawat memanggil namanya sambil menepuk pundaknya. Ia segera tersadar dan berdehem, menutupi rasa gugupnya.

"Bawa pasien ke unit gawat darurat, kita lihat keadaannya di sana."

Syafa berlalu, meninggalkan Revan yang termenung di atas brankar. Ia kemudian didorong menuju UGD. Di sana, ia sudah melihat Syafa memakai masker dan sarung tangan. Para perawat menyiapkan alat-alat untuk menjahit lukanya.

Dengan profesional, Syafa mulai memeriksa keadaan Revan. Mulai dari kepalanya yang berdarah, kemudian tangannya yang lecet-lecet. Syafa membisikkan sesuatu pada perawat kemudian menatapnya datar.

"Luka di kening Anda perlu beberapa jahitan. Saya akan menjahitnya sekarang. Untuk tangan Anda, sepertinya hanya lecet, tidak terlalu parah."

Revan mengangguk kaku, kemudian memejamkan matanya saat Syafa mulai membersihkan dan menjahit lukanya. Beberapa saat kemudian, Revan membuka matanya, menatap Syafa yang tampak berkonsentrasi menjahit keningnya.

Sejenak Revan terpana. Meskipun mengenakan masker, benda itu tidak bisa menutupi kecantikan Syafa. Sepuluh tahun berlalu, Syafa masih sama cantiknya seperti dulu. Bedanya, sekarang menjadi lebih dewasa dan pendiam. Tidak ceria dan centil seperti dulu.

"Sudah selesai." Suara Syafa membuyarkan lamunan Revan. Ia berdehem sambil menoleh, tidak ingin ketahuan terlalu lama menatap Syafa. Beberapa perawat membersihkan bekas-bekas sampah medis di sampingnya.

"Lukanya tidak terlalu dalam, tapi masih membutuhkan perawatan. Anda juga tidak perlu rawat inap. Saya akan meresepkan obat jalan saja."

Revan duduk sambil memegangi keningnya. Ia kemudian menatap Syafa yang tampak mencuci tangan setelah melepaskan sarung tangan dan maskernya. Wanita itu tampak datar tanpa ekspresi, juga tidak berbasa-basi apapun padanya.

Syafa duduk, lalu menuliskan resep dengan teliti. Revan memperhatikan wanita itu yang kini terlihat sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadirannya. Syafa benar-benar sudah berubah. Perempuan itu benar-benar mewujudkan kata-katanya dimana mereka jadi asing satu sama lain.

"Ini resepnya. Saya sudah menuliskannya di sini. Anda bisa segera menebusnya dan pulang kerumah. Keadaan Anda baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Syafa berdiri, kemudian meletakkan resep di samping Revan. Perempuan itu tidak menatapnya sama sekali dan ekspresinya datar seperti patung hidup.

"Kalau begitu saya permisi."

Syafa beranjak dan hendak membuka pintu. Namun entah kenapa, mulut sialan Revan tiba-tiba terbuka begitu saja.

"Tunggu!" Syafa menoleh, memperhatikan Revan dengan wajah dinginnya. Revan berdehem, kebingungan harus berkata apa sedangkan dirinya terlanjur menghentikan langkah Syafa.

"Aku, eeehm, aku. Apa aku perlu kontrol?" Revan merutuki pertanyaan tidak pentingnya. Tadi Syafa sudah bilang lukanya tidak parah. Kenapa dia mengajukan pertanyaan bodoh seperti itu.

"Jika ada keluhan, Anda bisa kontrol. Jika tidak, mungkin Anda cukup membeli antibiotik di apotek saja." Jawabnya datar, kemudian Syafa terlihat kembali akan keluar ruangan. Revan kelimpungan sendiri melihatnya.

"Bagaimana kabarmu?" Pertanyaan laknat itu akhirnya muncul juga dari mulutnya. Sedari tadi Revan sudah menahan untuk tidak menanyakan hal itu, tapi akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari mulutnya.

Syafa kembali menoleh, menatap datar padanya tanpa ekspresi, membuat Revan kelimpungan sendiri. Malu dengan rasa gugup yang menderanya saat ini.

"Kita, eeeehm, kita sudah lama tidak bertemu. Aku, eeeeh, aku hanya ingin menanyakan kabarmu."

Keduanya terdiam sejenak. Saling menatap satu sama lain dengan tatapan berbeda. Revan dengan tatapan gugup, sementara Syafa dengan tatapan datarnya.

"Baik." Jawab Syafa singkat, dan entah kenapa Revan kesal sendiri mendengarnya. Wanita itu bersikap datar seolah mereka tidak pernah saling mengenal.

"Jika tidak ada lagi yang Anda tanyakan, saya permisi."

Ucap Syafa datar kemudian meninggalkan ruangan itu. Revan hanya melongo, tidak menyangka gadis belia yang dulu begitu tergila-gila padanya, sekarang sangat acuh tak acuh padanya. Wanita itu seperti patung hidup yang tak tersentuh, datar dan tidak berekspresi sama sekali.

Akhirnya setelah lama melamun di ruang UGD, Revan menghubungi Doni untuk mengurus semua administrasi-nya. Masalah kecelakaan itu, biar anak buahnya yang lain yang mengurusi. Revan akhirnya keluar dari rumah sakit setelah semua urusan administrasi-nya selesai dan menunda semua rapatnya karena fisik dan otaknya sedang tidak sinkron.

**

"Bagaimana hari pertamamu bekerja, semua baik-baik saja." Tanya Salman pada putrinya saat mereka pulang bersama dari rumah sakit. Syafa menatap papanya yang saat ini menyetir di sampingnya. Pria tampan dan ramah itu kini berubah 180 derajat setelah peristiwa kelam sepuluh tahun yang lalu menimpanya. Salman hanya tersenyum pada pasiennya, selebihnya, papanya itu jarang sekali berekspresi.

"Semuanya baik, Pa. Mereka semua ramah karena tahu aku anak papa." Keduanya tergelak bersamaan, hati Syafa menghangat melihat papanya bisa kembali tersenyum lagi.

"Papa harap, kau tetap baik-baik saja dan tidak terpengaruh ketika melihatnya. Bagaimanapun juga, ia adik ipar pamanmu, mau tidak mau kita tetap harus bertemu dengannya. Papa harap, kau sudah benar-benar melupakannya."

Syafa terdiam, membuat sang papa menoleh. Ia berharap, putrinya sudah tidak mengharapkan pria itu lagi setelah kejadian sepuluh tahun yang lalu.

"Nggak, Pa. Papa nggak perlu khawatir. Itu hanya masa lalu. Hanya cinta monyet yang menjerumuskanku. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi." Syafa tersenyum, menatap hangat pada papanya yang kini tampak mencemaskannya.

"Papa harap itu benar. Karena kau tahu, papa sangat membencinya. Seumur hidup papa, papa selalu bahagia saat menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi untuk pertama kalinya, papa menyesal dulu pernah menyelamatkan nyawanya."

Keduanya kembali terdiam. Syafa menatap jendela kaca mobil yang ada di sampingnya. Sejujurnya ia merasa bersalah pada papanya karena telah berbohong. Bohong jika Syafa tidak terpengaruh sama sekali. Dan ia berusaha setengah mati menahannya agar tidak terluka lagi.

Keduanya sampai di rumah beberapa menit kemudian. Di halaman rumah kakeknya, ada mobil asing yang terparkir di sana. Keduanya belum pernah melihat mobil itu sebelumnya.  Dan ketika keduanya masuk, di ruang tamu ternyata ada tamu asing yang belum pernah mereka kenal sedang berbincang dengan Rafael dan kakeknya.

"Hai, kalian sudah pulang." Sapa Rudi ramah, tampak antusias menyambut cucu dan menantunya.

Salman dan Syafa berjalan menuju ketiga orang itu dan menyapa tamu asing itu. Seorang pemuda tampan yang umurnya seperti sedikit di atas Syafa.

"Kenalkan, ini rekan bisnis Om, namanya Alex. Anak Pak Hendarto, pemilik AMC grub."

Pemuda tampan itu berdiri, menyapa ramah pada Salman dan Syafa. Dan yang membuat Rafael dan Rudi tersenyum bersamaan, mereka melihat sendiri, bagaimana wajah pemuda itu menatap kagum pada Syafa. Alex pemuda yang cakap dan kompeten, dan jika mereka cocok, sepertinya seluruh keluarganya tidak akan ada yang keberatan.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang