Part 20

1.6K 129 13
                                    

"Van, gimana jadinya jawaban kamu? Apa masih mikir lagi?" Rendi menatap putranya yang kini tengah menyantap sandwich kesukaannya. Sudah beberapa bulan ia menyarankan Revan menerima perjodohan yang ia lakukan dengan anak rekan bisnisnya. Namun jawaban mengambang Revan membuat Rendi urung meneruskannya.

"Davina, Pa."

"Iya, siapa lagi. Dia owner perusahaan kosmetik terkenal. Selebgram terkenal. Bibit bebet bobotnya jelas. Kurang apa lagi. Kamu aja yang terlalu kaku dan nggak mau kenalan lebih jauh sama dia."

"Kehidupannya terlalu banyak jadi konsumsi publik. Aku nggak suka."

"Ayolah Revan. Zaman sekarang mana ada wanita yang seperti kamu maksud. Mereka semua rata-rata suka dengan ketenaran. Udahlah, kamu coba pendekatan dulu. Siapa tahu cocok. Ingat usia kamu. Kamu itu anak papa satu-satunya. Kalau kamu nggak nikah, yang ngurus kita ketika tua nanti siapa."

Revan meminum air putih satu gelas hingga tandas, kemudian menatap datar pada papanya. Keduanya saling terdiam beberapa saat, kegiatan sarapanpun otomatis juga terhenti.

"Oke Pa. Terserah papa aja gimana baiknya. Aku nurut."

Mata Rendi seketika berbinar mendengar perkataan putranya. Akhirnya Revan yang kaku, kini mau menerima perjodohan yang ia usulkan. Sepertinya cita-cita Rendi untuk memiliki cucu akan segera terwujud.

"Oke. Nanti papa bicara sama papanya Davina. Papa harap Davina belum punya pacar dan masih mau sama kamu. Soalnya ini udah di usulkan papanya Davina dari lama lo."

"Aku terserah papa aja."

"Oke. Papa seneng kalau kamu punya minat nikah gini."

Revan mendengkus dalam hati. Ia bukannya tidak ingin menikah. Memang belum ada yang cocok di hatinya. Kenapa harus dipaksa-paksa. Menikah untuk seumur hidup, bukan mainan.

"Tapi, kalau cocok, Pa. Kalau nggak cocok, aku nggak bisa maksain perasaan aku."

"Ya. Untuk hal itu papa setuju. Yang terpenting, kamu mau pendekatan dulu."

"Ya udah Pa. Aku berangkat ke kantor dulu. Ngomong-ngomong, sampai kapan papa enak-enakan di rumah, nggak bosen?"

"Mulai jenuh juga. Nanti kalau udah pengen papa ke kantor lagi. Biarin papa pensiun sebentar lah. Kamu jangan syirik gitu."

"Oke. Terserah Papa. Aku berangkat dulu."

Rendi mengangguk, ia menatap putranya yang berjalan keluar rumah. Hatinya lega mengetahui anaknya mau menerima perjodohan. Setidaknya anaknya masih normal. Isu semakin banyaknya gay yang semakin marak di ibukota membuat Rendi resah. Ia takut Revan terlibat pergaulan yang salah hingga jadi salah jalan. Namun sekarang, Rendi benar-benar lega. Semoga saja acara perjodohan berjalan lancar dan ia bisa menimang cucu secepatnya, sesuai keinginannya sejak lama.

**

"Van, kok kamu diem aja sih. Kayak kita baru kenal aja. Masak pendekatan suasananya kaku kayak gini." Davina akhirnya mengungkapkan isi hatinya yang sedikit kesal lantaran Revan, pria yang dari dulu di sukainya tidak banyak bicara saat mereka bertemu. Sedari tadi, hanya dirinya yang mencari topik pembicaraan.

"Kan kita udah makan, bicara bisnis kamu, apalagi?"

Davina menghembus napas berat. Entah kenapa ia merasa Revan terpaksa menerima perjodohan ini. Tidak ada respon pria itu tertarik padanya. Hanya makan dan membicarakan bisnis, itupun Davina yang terus membuka percakapan. Revan hanya menyambung sesekali.

"Oke. Menurut kamu topik apa yang menarik antara kita berdua? Pekerjaan aku udah. Sekarang giliran kamu. Pekerjaan kamu maksud aku."

Revan menyantap steak-nya dengan santai lalu meminum jus jeruk. Davina sedikit kesal, kenapa pria itu tampak seperti mengacuhkannya. Padahal Davina harus berdandan ekstra sebelum mereka bertemu tadi.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang