PDF ready. Harga promo 50rb sampai besok saja. Lusa harga normal 55rb.
Yang minat cus hubungi saya karena promo hanya berlaku untuk yang beli langsung ke saya. Di karya karsa tidak ada promo.
082216211114.
Happy reading
__**__
"Kak, jangaaaan." Suara rengekan seorang gadis belia terdengar di sebuah kamar. Tubuh gadis mungil itu di tindih oleh remaja laki-laki yang sudah bertelanjang dada.
"Kenapa? Kau takut." Remaja laki-laki itu mendongak, melepaskan ciumannya dari leher gadis belia itu.
Keduanya saling bertatapan intens dengan mata si gadis berkaca-kaca. Meskipun ia sangat mencintai si pria, namun usia mereka belum pantas melakukan kegiatan dewasa seperti sekarang.
"Aku, aku tidak mau. Aku takut papa dan mama kecewa padaku." Ucapnya sambil terisak. Namun, pemuda itu seolah tidak peduli. Ia malah kembali membungkam mulut gadis itu dengan bibirnya.
"Kau mencintaiku bukan? Sekarang buktikan. Kita sudah sama-sama dewasa, apa yang kau takutkan sebenarnya? Jika kau tutup mulut, kedua orang tuamu tidak akan tahu." Ucap si pria sambil mulai melucuti pakaian gadis belia itu.
"Kak, jangaaaan. Aku, aku, aku sangat takut."
Pemuda itu menghentikan kegiatannya setelah kancing kemeja gadis itu nyaris terlepas semuanya. Pemuda itu menatap marah pada gadis sok centil yang kini terbaring di bawahnya itu.
"Kau bilang kau mencintaiku, lalu apa yang kau takutkan? Jika kau terus seperti ini, pergi saja. Jangan pernah menemuiku lagi. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Ucapan cintamu hanya di mulut, nyatanya cintamu tidak sebesar itu."
"Bukan begitu, Kak. Percayalah, aku sangat mencintaimu."
Pemuda itu geram mendengar rengekan tidak berguna gadis dungu itu. Ia melepaskan pakaiannya sendiri, kemudian memaksa gadis yang ada di bawahnya itu membuka pakaiannya.
"Kalau kau terus merengek, pergi saja. Jangan pernah menemuiku lagi." Pemuda itu membuka paksa seluruh pakaian gadis belia itu hingga si gadis kebingungan menutupi tubuh telanjangnya. Ia terisak-isak sambil berusaha menutupi area atas dan bawahnya yang kini sudah tidak tertutupi lagi.
"Dengar, aku sudah sangat menginginkanmu. Aku tidak bisa berhenti sekarang. Jika kau memaksa berhenti, jangan pernah lagi menenemuiku lagi seumur hidupmu. Tapi jika kau diam, itu akan memudahkan kita berdua. Kau mengerti?"
Gadis itu mengangguk takut. Ia memejamkan matanya saat pria itu mulai menciumi tubuhnya. Ia terkesiap saat pemuda itu melumat bibirnya dan bagian bawah tubuh pria itu berusaha memasuki miliknya.
Gadis itu memekik saat si pria kesusahan memasuki miliknya. Ia menangis, kesakitan dan ketakutan saat si pria yang berada di atasnya, masih berusaha memasukinya. Hingga di hentakan ketiga, pria itu berhasil sepenuhnya merobek keperawanannya.
**
Revan terbangun dengan keringat membasahi tubuhnya. Ia segera terduduk dan meremas rambutnya, merenungi mimpi-mimpi yang kerap menghantuinya. Mimpi itu, baru seperti kemarin. Namun nyatanya, sudah sepuluh tahun lamanya.
Ia terbangun dan membuka gorden, rupanya sudah malam. Weekend hari ini ia tidak kemana-mana, pekerjaannya di kantor menumpuk jadi ia memilih istirahat ketika libur. Alhasil, ia hanya makan dan tidur saja seharian ini.
Revan berjalan menuju kamar mandi, ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin, meredakan gairahnya setiap mimpi itu hadir lagi menghantui tidurnya. Ia keluar dari kamar mandi setengah jam kemudian dan mendapati papanya sudah menunggunya di meja makan untuk makan malam.
"Baru bangun, papa pikir kau akan tidur terus sampai besok pagi." Revan duduk, menunggu Bi Siti menyiapkan makan malam mereka.
"Cepak juga terus tidur, Pa. Tapi lumayan, besok bisa bekerja dengan lebih fresh lagi."
"Gimana proyek kita dengan PT. Amifood, lancar?"
"Lancar, Pa. Pembangunan vila diarea puncak juga berjalan dengan baik. Aku suka design yang diajukan mereka."
"Mana desainnya, papa mau lihat."
"Waduuuh, kameranya ketinggalan di rumah Kak Friska. Kemarin aku mampir ke sana, di pinjam sama Zelin dan Zafran buat foto-foto. Malah jadinya ketinggalan."
"Di ponsel nggak ada?"
"Nggak ada Pa. Kemarin aku foto pake kamera yang aku beli di Singapura. Hasilnya bagus banget."
"Ngomong-ngomong, kamu sering banget mampir rumah Friska, udah akur kamu sama Rafael?" Rendi mulai menyendok nasinya sambil berbincang, ia sudah kelaparan. Tidak baik orang tua sepertinya menahan lapar sedari tadi.
"Nggak juga. Biasa aja. Tapi aku sering kesana pas Rafael ada di kantor, biar nggak ketemu." Revan ikut mengambil daging bumbu lada hitam kesukaannya. Makan malam kali ini terlihat enak sekali, iapun segera menyantapnya dengan lahap.
"Sudah. Nggak usah dendam lagi. Kakak kamu sudah bahagia sama keluarganya. Sekarang giliran kamu. Kapan kamu bahagia kayak Friska dan Rafael, lalu ngasih papa cucu."
"Papa aja duluan. Papa juga belum tua. Nggak pengen cari pendamping lagi?" Revan menggoda papanya untuk yang kesekian kalinya. Meskipun sudah tahu jawabannya, tetap saja ia melakukannya karena itu cara ampuh agar papanya tidak mendesaknya untuk menikah.
"Nggak. Papa trauma." Jawab Rendi singkat, membuat Revan tergelak. Rupanya masa lalu benar-benar memberikan pelajaran berharga untuk papanya, hingga di usianya yang terbilang belum terlalu tua, papanya enggan menikah lagi.
"Pa, aku ke rumah kak Friska dulu, ngambil kamera." Ucap Revan setelah ia selesai makan malam.
"Pulang jam berapa nanti?"
"Nggak tahu, Pa. Mungkin secepatnya karena malam ini aku mau lembur di rumah untuk proyek besok."
"Hati-hati. Jangan kemalaman."
"Oke, Pa. Bye."
Rendi mengembuskan napas berat setelah putranya itu pergi. Sebenarnya ia cukup khawatir dengan kondisi putranya. Sudah umur 28 tahun dan banyak dari anak rekan bisnisnya yang mendekati. Tapi, putranya itu seolah membentengi hatinya dari para wanita. Jika terus seperti itu, lalu kapan rumah ini akan ramai dengan suara cucu-cucunya.
**
Friska permisi dari meja makan untuk karena mendapatkan panggilan dari adiknya. Suasana kembali riuh dengan perbicangan Rafael dan Erika, serta Ega yang berdebat tidak penting dengan Zafran mengenai game terbaru milik mereka. Hanya Salman dan Syafa yang sedikit bersuara. Tidak mengatakan apapun jika tidak benar-benar penting.
Friska kembali sepuluh menit kemudian. Ia duduk di samping Rafael dan kembali melayani Zelin yang kelewat manja ketika sedang makan. Sesekali Zafran menganggunya dan anak kecil itu akan rewel seperti biasanya. Suasana ramai itu membuat Syafa tersenyum, setidaknya kini ia tidak kesepian lagi.
Beberapa saat kemudian, suara bel pintu membuat semua orang menoleh. Mereka bertanya-tanya siapa yang bertamu di jam seperti ini. Jam makan malam dan seharusnya bukan jam yang tepat untuk bertamu.
"Maaf, mungkin itu Revan. Tadi kameranya terbawa oleh Zafran. Karena ada gambar untuk proyek di dalamnya yang harus ia kerjakan malam ini, jadi aku menyuruhnya mengambilnya kemari."
"Oooh, adik kamu. Papa pikir siapa. Sekalian ajak dia makan malam bersama kita. Menyambut kepulangan Syafa. Kamu ajak ke sini Fris."
"Oh, nggak usah repot-repot, Pa. Paling Revan juga keburu-buru. Zafran, ambil kameranya di kamar."
"Oke, Ma."
"Nggak apa-apa Friska. Sana temuin adik kamu, lalu ajak kemari." Sarah memberi isyarat yang tidak bisa dibantah menantunya.
Friska akhirnya menemui Revan di ruang tamu, memberi tahu undangan makan malam dari keluarga mertuanya. Mereka semua tidak menyadari, dua orang yang duduk di ujung kursi, menatap kaku pada meja makan, seolah ada monster yang tergeletak di atas meja itu dan keduanya ketakutan melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Frozen Flower (On Going)
Lãng mạnSyafa Armita Radjasa, wanita yang semasa gadisnya sangat ceria itu kini berubah 180 derajat setelah dewasa. Keadaan dan trauma membuat psikis dan mental sedikit terganggu, dan hal tersebut itu hanya di ketahui oleh ayahnya saja. Profesinya sebagai d...